Mempertanyakan Profesionalisme dan Kemandirian Jaksa

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan undang-undang sebelumnya, yakin Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, perhatian terhadap keberadaan dan fungsi kejaksaan semakin meningkat seiring dengan perkembangan, kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Dalam perjalanan undang-undang yang telah berusia belasan tahun, pada dewasa ini tampaknya memang perlu adanya semacam evaluasi dan atau penyegaran yang diharapkan akan membawa manfaat bagi perkembangan kejaksaan.

Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum. (Bekti, 2003)

Kedudukan dan perkembangan kejaksaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi historis kejaksaan itu sendiri. Sejak berdirinya Republik Indonesia memang secara eksplisit Undang-undang Dasar 1945, tidak menyebutkan adanya Kejaksaan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan adanya kehakiman dan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Namun demikian, diakui bahwa mengacu pada Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942, yang mengaitkan kejaksaan dengan keberadaan badan-badan peradilan, yakni sebutan kejaksaan pada pengadilan, maka sebutan itu terus berlangsung atas dasar Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan dasar hukum tersebut, maka kedudukan kejaksaan sebagai komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan hukum yang langsung berada di bawah presiden, tetap diakui. Memang di masa awalnya dan di masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kejaksaan berada di bawah naungan Kementerian Kehakiman, namun dalam perjalanan selanjutnya dan berdasarkan kebutuhan yang muncul di masyarkat dirasakan perluadanya kejaksaan yang independen sehingga setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, kududukan jaksa perlu dipertegas lagi dan diindependenkan.

Pada perkembangan kehidupan ketatanegaraan periode tahun enam puluhan, muncul Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, di mana dalam undang-undang ini mulai memisahkan antara kehakiman dan kejaksaan. Kejaksaan menjadi pelaksana kekuasaan pemerintah dan bagian dari kabinet itu sendiri, yang ditandai dengan adanya Departemen dan Jaksa Agung, dan pada perkembangan selanjutnya, terutama dengan munculnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tantang Kejaksaan, Kedudukan atau Posisi Kejaksaan memang sudah lebih baik tetapi belum dapat keluar dari kepentingan pemerintah yang terlalu besar.

Baru pada tahun 2004 muncul Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang mempertegas posisi jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Mengingat perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang ada, kedudukan kejaksaan dalam era reformasi sangat penting untuk dimandirikan dan dibebaskan dari campur tangan pemerintah yang terlalu besar, agar kejaksaan dapat mewujudkan aparatur yang profesional. Sambil mengingat bahwa posisi dan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan bukanlah tujuan karena yang penting adalah semangat dalam melakukan reformasi hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan dan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. (Hosen, 2003)

Reformasi hukum tidak bisa terlepas dari perkembangan kualitas profesi hukum secara intensif karena di dalam profesi hukum seorang pengemban pofesi hukum dituntut selain harus menguasai ilmu hukum dengan baik wajib menguasai kode etik serta melaksanakannya. Faktor utama dalam menjalankan kode etik profesi hukum dalam praktik adalah profesionalisme dan integritas moral. Jika moral rusak maka etika profesi tidak akan berjalan dan keadilan tidak tercapai. Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan terhormat.

Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.

Sepintas lalu, huru-hara yang menerpa kejaksaan belakangan, mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian (expertise), rasa tanggung jawab (responsibility) dan kinerja terpadu (corporateness) yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional. (Nitibaskara, 2001)

Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.

Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.

Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.

Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya. (Nitibaskara, 2001)

Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya inilah sampai-sampai muncul pertanyaan bahwa,

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan