Mempertanyakan Kredibilitas KPK [13/07/04]

JUMPA pers Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Juni lalu berhasil menjadi headline di berbagai media cetak maupun siar. Intinya, menetapkan Abdullah Puteh, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai tersangka korupsi kasus pembelian helikopter senilai Rp 12 miliar. Selain itu, Mabes Polri juga sedang memeriksa Puteh dalam kasus sejenis untuk pembelian genset senilai Rp 30 miliar. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan, mengapa ada dua lembaga berbeda yang menangani kasus sejenis pada orang yang sama.

Menko Polkam ad interim Hari Sabarno pagi-pagi sudah melakukan intervensi melalui pengiriman surat, intinya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dalam menangani kasus ini tidak mengganggu jadwal kerja Puteh selaku gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah. Hari juga mengharapkan kasus ini supaya ditangani oleh satu lembaga saja, kepolisian atau KPK. Ini juga mengesankan tidak adanya koordinasi, bahkan mungkin terjadi silang pendapat antara KPK, Mabes Polri, dan Kementerian Polkam yang notabene ketiganya adalah lembaga negara.

Sementara itu, rakyat masih trauma dengan penyelesaian yang terjadi atas dugaan korupsi Akbar Tandjung dalam kasus penyelewengan dana Bulog, yang seharusnya digunakan untuk mengatasi kemiskinan. Penantian panjang penyelesaian kasus Akbar Tandjung berujung dramatis, di mana Mahkamah Agung sebagai harapan terakhir terciptanya keadilan memutus bebas. Akibatnya pengadilan opini rakyat yang menghakimi dan menetapkan Akbar Tandjung sebagai tokoh koruptor sekaligus dijebloskan ke penjara batin masyarakat.

Akankah peristiwa-peristiwa sejenis berulang, yang akhirnya hanya menambah kegamangan masyarakat terhadap kredibilitas lembaga negara dalam menangani korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), baik oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan KPK sekalipun.

Mengikis budaya korupsi
Kasus kakap yang melibatkan pejabat tinggi negara dan dana miliaran rupiah pasti beritanya lebih bergema dibandingkan dengan kasus pemerasan pembuatan kartu tanda penduduk di tingkat kelurahan. Rumusan name makes news dalam strategi public relations sepertinya berhasil dimanfaatkan KPK melalui gebrakan pada momentum yang tepat di akhir periode kampanye pemilu presiden.

Kasus korupsi dipilih menjadi isu terhangat dalam debat capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang tentu menambah news value KPK kian melesat. Betulkah penetapan Puteh sebagai tersangka korupsi merupakan bagian murni kegiatan KPK yang secara sistematis ingin mengikis habis KKN atau sekadar gebrakan menunjukkan eksistensinya, layak dicermati.

Terlepas dari niat luhur pemerintah dalam membentuk KPK, rasa pesimistis masyarakat terhadap upaya perlawanan korupsi lebih cenderung membentuk kecurigaan daripada keyakinan. Apalagi KPK sebagai lembaga negara bentukan pemerintah, sedangkan pemerintah sendiri terkesan tidak serius dalam memberantas KKN. Korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga, bahkan dianggap sebagai budaya bangsa. Munculnya KPK yang mencanangkan visi mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi serta misi sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti- korupsi mungkin masih diragukan kemampuannya dalam merombak sistem korupsi yang sudah mengkristal, baik di tingkat lembaga tertinggi negara maupun level terendah di masyarakat. Bagaimana kemampuan KPK mengubah sikap pesimistis masyarakat menjadi dukungan merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang.

Strategi KPK yang ditetapkan dalam rencana strategis 2004-2007, antara lain, akan melakukan penggalangan keikutsertaan masyarakat dalam memberantas KKN. Kasus penetapan Puteh sebagai tersangka korupsi merupakan langkah tepat dalam membangun dukungan publik.

Penetapan status ini merupakan janji KPK kepada masyarakat sebagai kontrak sosial, yang harus segera diikuti dengan tindakan nyata untuk memberikan bukti. Bila KPK dalam waktu singkat tidak berhasil, katakan menangkap dan memenjarakan Puteh, jangan terlalu berharap dapat menggalang dan memperoleh dukungan masyarakat, bahkan citra kewibawaan KPK bisa hancur sebelum dibangun.

Membangun wibawa KPK
Mengelola citra KPK sebagai lembaga berwibawa dan disegani dalam memberantas korupsi merupakan upaya membangun positioning, yang merupakan gabungan seni dan ilmu untuk melekatkan suatu citra produk atau ide pada pemikiran masyarakat atau kelompok tertentu, yang mampu membedakan dengan posisi pesaingnya. Positioning dapat dilihat dari dua dimensi, yakni posisi saat ini (current positioning) dan posisi yang diinginkan (desire positioning). KPK telah menetapkan posisi yang diinginkan, yakni menjadi lembaga penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa Indonesia sebagai masyarakat anti- korupsi. Sementara posisi KPK kini masih dianggap mempunyai tingkat kredibilitas yang rendah, yang disetarakan dengan lembaga hukum lainnya sebagai pesaing KPK, seperti kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.

Membangun atau melakukan perubahan posisi (repositioning) sama dengan mengelola citra merek suatu produk. Produk dapat berbentuk barang, jasa, maupun ide. KPK merupakan merek produk sosial yang berupa ide yang harus dipasarkan ke masyarakat dalam mencapai goals jangka panjang dan mewujudkan visi dan misinya.

Citra yang baik, buruk, atau kacau adalah realitas yang dibangun organisasi khalayak atau masyarakat. Citra yang terbentuk dapat terjadi secara alami atau direkayasa. Scott M Davis dalam buku Brand Asset Management (2002) membagi pengelolaan citra merek dalam empat tahapan, yakni mengembangkan visi, menetapkan citra atau positioning produk, membangun strategi, dan membudayakan citra merek.

Dalam pengembangan strategi pembentukan citra merek, kendala terbesar yang dihadapi KPK saat ini adalah adanya current positioning negatif yang melekat dan berasal dari posisi pesaing sesama lembaga negara dalam melakukan penegakan hukum. Realitas yang dihadapi masyarakat sering menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara prinsip keadilan dan perilaku penegak hukum.

Apa pun yang dilakukan KPK, bagi masyarakat, tidak berbeda dengan yang dilakukan lembaga hukum lain. Maka, memberikan bukti dari janji yang sudah dilontarkan merupakan strategi terampuh untuk menanamkan desire positioning menjadi kenyataan dan berdampak dalam benak masyarakat, yang pada gilirannya menciptakan wibawa KPK.

Membudayakan hidup bersih
Sebenarnya ada dua tujuan utama KPK dalam menggerakkan dukungan masyarakat untuk ikut serta memberantas KKN, yakni membangun kredibilitas lembaga dan membudayakan antikorupsi. Apabila KPK melakukan tindakan yang konsisten, bukan sekadar hangat-hangat tahi ayam, dalam memberantas korupsi, kredibilitas akan terbangun dengan sendirinya. Justru yang perlu ditindaklanjuti adalah bagaimana membudayakan hidup bersih di masyarakat diperlukan adanya program komunikasi yang terintegrasi dan terencana dalam jangka panjang.

Memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat merupakan langkah awal dalam mengembangkan inti pesan sebagai solusi masalah hasil analisis terhadap kondisi kelompok sasaran dan lingkungannya, yang dikaitkan dengan ide yang akan ditanamkan ke masyarakat.

Selanjutnya, pesan dikemas dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret dan didukung strategi penetrasi pesan yang disesuaikan dengan media habit serta pemilihan saluran komunikasi sebagai titik kontak dengan kelompok sasaran. Biasanya program diimplementasikan dalam periode kampanye satu tahunan, yang selanjutnya dilakukan evaluasi dampak yang dihasilkan, sebagai acuan untuk mengawali program kampanye tahun berikutnya.

Tahapan-tahapan kampanye yang dirinci dalam periode tahunan seyogianya didasari pada tingkat pencapaian tahapan komunikasi berupa pemberian informasi, persuasi, dan dorongan tindakan sampai tercapainya kesesuaian dengan tujuan akhir, visi dan misi yang ditetapkan.

Untuk mengubah perilaku masyarakat dan budaya korupsi, diperlukan waktu panjang dan program yang konsisten. Jadi, dalam kurun waktu 15 sampai 20 tahun mendatang diharapkan perilaku korupsi yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia akan terkikis dan KPK berhasil membangun budaya hidup bersih sebagai way of life bangsa Indonesia.(Sunarto Prayitno Direktur Program Institute for Marketing Communications Studies (IMCS); Dosen Komunikasi Pemasaran Terpadu FISIP UI)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 13 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan