Mempertanyakan Klaim Kejaksaan

Pada perayaan Hari AntiKorupsi Internasional (9/12) di Lapangan Monas, Kejaksaan Agung menyampaikan laporan penanganan tindak pidana korupsi dan uang negara yang berhasil diselamatkan. Tercantum, di tahap penyidikan, kejaksaan telah menangani 3.143 perkara dari tahun 2004–November 2008.

 

Selain itu, Polri menangani 1.095 kasus,sementara KPK hanya 110.Jika ditambah embel-embel, KPK hanya berperan 2,53% (110 kasus) dari total kasus yang diungkap, langsung atau tidak langsung tentu hal itu akan berpotensi mendelegitimasi keberadaan KPK. Jika data itu benar, dengan pembanding yang setara, tentu publik akan berpikir,”sepertinya kita tidak butuh KPK”.

Namun, jika dicermati, mudah diduga bahwa agaknya penyusun data tidak begitu cermat,terutama karena membandingkan sesuatu secara tidak proporsional.Kejaksaan Agung punya kejaksaan tinggi di 33 provinsi Indonesia dan setiap kejaksaan tinggi pun membawahkan 4–5 kejaksaan negeri.

Bahkan sebagian kejaksaan negeri masih mempunyai anak atau cabang kejaksaan negeri dan semua unit-unit tersebut dapat mengusut kasus korupsi.Tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan KPK yang hanya punya satu unit pun di Jakarta. Agaknya tidak salah jika menilai perbandingan tersebut terlalu naif.

Selain itu,dari aspek kriminalisasi atau penanganan kasus, penilaian yang didasarkan sekadar pada jumlah adalah sebuah kesalahpahaman mendasar. Tentu harus dilihat, kualitas perkara yang ditangani seperti jumlah kerugian negara,level atau jabatan aktor pelaku, dan bahkan soal strategis atau tidaknya sektor tersebut.

Di tengah korupsi yang tinggi dan merata di Indonesia,mutlak diperlukan pembacaan dan strategi (road map).Tidak semata klaim keberhasilan dengan menggunakan kuantitas kasus. Data kedua, tentang uang negara yang berhasil diselamatkan dari tahun 2004–2008.Tercatat,kejaksaan menyelamatkan Rp8 triliun dan USD18 juta, Polri Rp859,76 miliar, dan KPK ”hanya” Rp476,46 miliar.

Klaim seperti ini tentu dapat berpotensi menjadi kebohongan publik jika tidak diklarifikasi dengan metode penghitungan dan indikator yang benar. Karakter data kedua ini mirip dengan data pertama yang ingin memunculkan keberhasilan kejaksaan. ICW mendapatkan angka berbeda. Dengan pemahaman, ”uang negara yang diselamatkan” baru dapat dihitung setelah masuk ke kas negara, maka data kejaksaan sangat patut dipertanyakan.

Berdasarkan analisis hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004-Semester I/2008, ternyata uang negara yang berhasil diselamatkan hanya Rp382,67 miliar. Lantas bagaimana dengan selisih hingga triliunan rupiah? Di titik inilah klaim kejaksaan menjadi bumerang. Pejabat yang berwenang tentu harus bertanggung jawab dengan keberadaan uang rakyat tersebut.

Melalui analisis lebih jauh terhadap dokumen LKPP dan BPK, ternyata diketahui terdapat uang pengganti yang belum disetor kejaksaan pada kas negara mencapai Rp7,72 triliun. Bagaimana kejaksaan dapat menjelaskan kekurangan yang sangat signifikan ini? Sumber dokumen resmi di atas bahkan menerangkan, per 31 Desember 2004 uang pengganti yang belum diselesaikan mencapai Rp6,67 triliun.

Jika uang tersebut disimpan oleh kejaksaan, lantas bagaimana dengan bunga atau pendapatan dari penyimpanan tunggakan itu? *** Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya dan kerja keras beberapa kalangan di Kejaksaan Agung,data dan laporan di Lapangan Monas di Hari Antikorupsi (selasa, 9/12) patut diuji ulang kebenarannya. Jika tidak, tentu data ini berpotensi menjadi kebohongan publik.Kemudian, dalam konteks menempatkan

Hari Antikorupsi Internasional sebagai otokritik, evaluasi, dan penyemangat, tentu validitas data mutlak dibutuhkan.Publik tentu saja tidak ingin uang pengembalian kasus korupsi kemudian menguap. Namun,terlepas dari persoalan di atas,penegakan hukum bukan tanpa prestasi. Peningkatan jumlah penanganan kasus patut diapresiasi.

Kejaksaan Agung, misalnya,mulai terlihat menggunakan kewenangan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan aset korupsi. KPK tentu saja sudah masuk pada sektor sensitif seperti legislatif dan perbankan meskipun peningkatan jumlah kasus dinilai tidak akan memiliki efek signifikan jika tidak diikuti strategi priotas dan road map jangka panjang.

Akan tetapi, data tersebut tentu perlu dicermati lebih mendalam.Dari aspek kriminalisasi dan penegak hukum,penting diperhatikan perincian terkait: jabatan dan asal institusi tersangka; modus kasus korupsi,nilai kerugian negara pada tiap perkara, dan perkembangan penanganan perkara.

Khusus poin terakhir, perkembangan penanganan kasus akan memberikan informasi lebih akurat, apakah dakwaan,proses pembuktian, dan tuntutan yang dilakukan efektif dilakukan jaksa. Tentu, laporan Kejaksaan Agung akan lebih dapat dipahami dan dimaknai secara fair jika poin-poin di atas diperhatikan.Dengan demikian, masyarakat dapat menilai dengan lebih objektif.Sebaliknya,kejaksaan tidak sekedar mengklaim prestasi berdasarkan angka-angka.(*)

Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW

 

Sumber: Koran Sindo, 15 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan