Mempersoalkan Rencana Inpres Penanganan Korupsi

Rencana dikeluarkannya Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Instansi Terkait dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi masih menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat.

Pertanyaannya, apakah dengan dikeluarkannya inpres, penanganan korupsi akan semakin mudah dan efektif, atau justru sebaliknya hanya akan menjadi tameng pejabat pusat dan daerah dalam pengusutan korupsi. Kekhawatiran kedua muncul terkait dengan pelibatan institusi pengawasan internal pemerintah yang selama ini dinilai kurang berdaya dalam pemberantasan korupsi atau memiliki hambatan akuntabilitas atas laporan hasil pemeriksaannya di bawah kekuasaan pemerintah. Apakah mungkin inpres dapat menjadi tongkat sihir bagi lembaga-lembaga ini sehingga menjadi lebih berdaya daripada sebelumnya berada di bawah kungkungan kekuasaan.

Dikeluarkannya inpres penanganan korupsi sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari sisi masyarakat, langsung terbaca bahwa inpres ini sengaja akan memperpanjang alur pemrosesan kasus-kasus korupsi. Perintah kepada pengawas internal (Badan Pengawas Daerah, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta inspektorat) untuk melakukan klarifikasi terhadap laporan masyarakat guna mendapatkan bukti awal terjadinya korupsi adalah salah satu contohnya (instruksi ke-4 rancangan inpres). Dengan keharusan klarifikasi dari pengawas internal, laporan masyarakat tidak dapat langsung diproses secara hukum, apalagi dalam penanganan korupsi versi inpres harus dilakukan dengan cara koordinasi tidak hanya oleh aparat birokrasi, melainkan jaksa dan kepolisian. Hasil klarifikasi pengawas internal akan dijadikan pembenaran awal sebagai dasar pengusutan korupsi, padahal selama ini hasil audit internal tidak bisa langsung dijadikan sebagai barang bukti. Ketidakjelasan mengenai jenis klarifikasi dan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh pengawas internal ini masih menjadi tanda tanya besar. Bisa jadi penerapan inpres akan semakin membuka kesempatan permainan antara institusi pengawas internal dan pihak yang dilaporkan.

Melemahkan partisipasi publik
Tata pemerintahan yang baik (good governance) meniscayakan adanya peran aktif masyarakat dalam setiap tahap kebijakan; sejak perencanaan hingga pengawasan. Dengan adanya inpres penanganan korupsi, dapat dikatakan proses sinergi antara masyarakat dan aparat hukum yang terjadi selama ini terancam lumpuh. Persoalannya, masyarakat yang cenderung kecewa dengan perilaku korup aparat birokrasi dan politikus tidak akan mungkin melaporkan temuan korupsi kepada institusi yang dengan mudah dapat dipengaruhi oleh kekuasaan pihak-pihak yang dilaporkan.

Suksesnya sinergi pemberantasan korupsi antara masyarakat dan institusi hukum hanya dimungkinkan jika institusi hukum yang ada dapat bertindak independen dan imparsial. Dengan adanya inpres, independensi ini seakan terancam dengan keharusan menggunakan hasil klarifikasi dari pengawas internal pemerintah sebagai bukti awal. Hasil klarifikasi pengawas internal juga mengkhawatirkan apakah dapat benar-benar menjadi rujukan yang obyektif, mengingat independensi dan profesionalitas pengawas internal yang masih dipertanyakan. Sampai sejauh mana institusi ini dapat keluar dari lingkaran kekuasaan dan menjamin tidak adanya konflik kepentingan.

Rawan manipulasi
Pertanggungjawaban publik adalah isu sentral ketika mempersoalkan pengawas internal pemerintah. Pada banyak forum, pengawas internal sering memposisikan sebagai pihak yang paling tahu soal berbagai perselingkuhan kepentingan yang terjadi di internal pemerintah. Bahkan dalam satu pertemuan yang pernah dihadiri penulis, salah seorang pembicara dari BPKP pernah mengatakan bahwa institusi ini memiliki data korupsi di pemerintah dari tanah hingga langit--yang diartikan penulis mungkin data dari semua instansi dan dari level kekuasaan atas hingga bawah. Namun, faktanya tidak ada yang muncul ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kerja institusi ini.

Persoalannya, memang selama ini pengawas internal tidak bertanggung jawab kepada publik, tapi kepada pemerintah, dalam hal ini presiden, menteri, dan kepala-kepala daerah. Hal inilah yang menyebabkan hasil-hasil temuan pengawas internal pun bersifat sangat rahasia. Jika hasil pemeriksaan pengawas internal tetap menjadi tertutup, sementara secara struktural berada di bawah kekuasaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dapat dipastikan jenis kasus dan oknum mana yang layak diperiksa akan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah. Atau dengan kata lain, hanya akan menyentuh mereka yang berseberangan dengan kekuasaan. Atau bahkan dapat menjadi alat yang cukup ampuh untuk menyingkirkan pesaing politik dan hambatan kepentingan ekonomi serta politik di birokrasi pemerintah.

Peran BPK
Sebenarnya, untuk percepatan pemberantasan korupsi, yang perlu diberdayakan adalah fungsi Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memiliki peran sentral sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang dapat melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan dan kinerja pemerintah (Pasal 4). BPK juga dapat melakukan pemeriksaan secara bebas dan mandiri, meliputi penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan (pasal 6). Meskipun dalam penentuan standar pemeriksaan BPK melakukan konsultasi dengan pemerintah, dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK lebih independen dan relatif jauh dari konflik kepentingan.

Hanya, selama ini BPK terkesan kurang memimpin dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan BPK cenderung hanya melakukan audit secara umum atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta anggaran pendapatan dan belanja negara. Soal adanya indikasi korupsi dari pemeriksaan umum tersebut, BPK jarang ikut terlibat mendorongnya hingga layak diproses secara hukum. Paling banter BPK hanya menindaklanjuti hingga pemulihan kerugian negara dalam bentuk pengembalian indikasi kerugian. Belum lagi masih terdapat temuan oknum BPK yang menerima keuntungan dari proses pemeriksaan, baik di instansi maupun BUMN. Revitalisasi peran BPK dapat dimulai dengan inisiatif melanjutkan temuan pemeriksaan umum dengan audit lanjutan yang bersifat investigatif, karena kewenangan ini sebenarnya dimiliki BPK tapi jarang digunakan.

Ibrahim Fahmy Badoh, anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 Juli 206

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan