Mempersoalkan Kinerja DPR

Permasalahan kehadiran (presensi) anggota DPR selalu mengundang tanda tanya bagi masyarakat. Data yang dihimpun WikiDPR menunjukkan bahwa anggota DPR sering abai terhadap kehadiran di rapat-rapat kerja. Selama masa sidang kesatu saja (2016–2017), tepatnya 16 Agustus hingga 28 Oktober 2016, rata-rata kehadiran anggota DPR hanya 41,79 persen. Itu berarti hanya 234 di antara total 560 anggota DPR yang hadir dalam setiap rapat.

Data tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, anggota DPR belum bisa memperlihatkan kinerja maksimal. Kedua, para wakil rakyat itu sering menyepelekan arti kehadiran dalam rapat kerja DPR.

Ihwal presensi DPR tersebut bukan yang pertama terjadi. Bahkan, di setiap periode ataupun masa sidang, persoalan itu selalu menjadi buah bibir masyarakat. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seharusnya lebih aktif untuk menyelidiki dan menindak oknum-oknum anggota dewan yang dianggap melanggar aturan.

Sesuai dengan pasal 124 butir a Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014, MKD berhak menindak anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat yang sudah menjadi kewajibannya. Selama ini fungsi MKD dalam menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat belum terlalu terlihat.

Peran serta ketua DPR, MKD, dan pimpinan fraksi sangat diharapkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Terutama ketua DPR, yang dalam hal ini mempunyai otoritas untuk memanggil seluruh pimpinan fraksi agar bisa mengingatkan para anggotanya supaya benar-benar memperhatikan tingkat kehadiran dalam rapat-rapat kerja.

Model kerja semacam itu tentu tidak diharapkan masyarakat. Kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat kerja setidaknya bisa menjadi tolok ukur paling dasar untuk menilai produk-produk yang telah dihasilkan. Selain itu, ketidakhadiran anggota DPR pasti akan mengganggu kerja-kerja utama dewan.

Tiga Fungsi Utama

Jika berangkat dari soal kehadiran DPR, publik tentu bisa mengaitkan isu tersebut dengan kinerja anggota DPR secara keseluruhan. Dalam setiap fungsi utama DPR saja, masih banyak yang harus dievaluasi terkait produk yang telah dihasilkan.

Amanat pasal 20 butir a UUD 1945 menyatakan bahwa DPR sebagai lembaga negara mempunyai tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tiga fungsi tersebut dinilai masih banyak kekurangan. Pertama, dari sisi pembuatan regulasi. Berdasar pengakuan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), pada 2014 dan 2015 MK telah menyidangkan 140 perkara yang berkaitan dengan pengujian materi UU.

Banyaknya pengujian materi UU yang disidangkan tersebut mengindikasikan bahwa pembuatan UU itu bermasalah, baik dari sisi formil maupun materiil. Tentu UU yang baik adalah UU yang bisa diterima secara filosofis maupun sosiologis dan selalu menjadikan konstitusi sebagai pedoman.

Target-target pembuatan legislasi dari DPR pun kerap melenceng. Data per Oktober 2016, DPR baru mengesahkan tujuh rancangan undang-undang (RUU), padahal target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2016 sebanyak 50 RUU.

Kedua, fungsi anggaran. Dalam hal ini, DPR bertugas merancang dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama pemerintah. Kenyataan yang terjadi saat ini sangat ironis. Beberapa waktu belakangan publik diberi tontonan praktik mafia anggaran yang membuat citra DPR semakin buruk. Kasus yang menimpa Dewie Yasin Limpo, anggota Komisi VII DPR, menarik untuk dicermati terkait praktik mafia anggaran.

Dewie terbukti menerima suap Rp 1,7 miliar dari kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua, dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiadi Jusuf. Suap diberikan agar Dewie selaku anggota DPR dapat mengupayakan anggaran dari pemerintah pusat untuk pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai. Perbuatan seperti itu rasanya tak layak dilakukan seseorang yang telah dititipi amanah oleh masyarakat yang sudah memilihnya.

Ketiga, fungsi pengawasan. Fungsi sebagai pengawas kerja-kerja pemerintah sering dimanfaatkan oknum anggota dewan untuk memperkuat posisi politik. Pandangan lembaga perwakilan rakyat sudah seharusnya objektif tanpa melihat peta koalisi pemerintahan.

Setidaknya, kebijakan pemerintah yang baik harus diapresiasi dan didukung penuh. Begitu juga sebaliknya. Jika kebijakan pemerintah dirasa tidak berpihak kepada rakyat, diperlukan keberanian anggota dewan untuk bersuara lantang menolak kebijakan tersebut.

Komitmen Antikorupsi

Terhitung sudah tujuh anggota DPR yang tersandung kasus korupsi. Jenis pidana korupsi yang terkena pun mayoritas adalah suap dan penerimaan gratifikasi. Itu menandakan bahwa ada mekanisme pengawasan yang salah. Tentu, jika bentuk pengawasannya lebih ketat, praktik-praktik kotor tersebut tak akan terjadi.

Setidaknya ada dua langkah penting yang bisa dilakukan DPR untuk mengembalikan citra lembaga legislatif Indonesia. Pertama, memfokuskan peran sebagai corong aspirasi masyarakat. Masalah yang sering terjadi saat ini adalah peran legislatif yang dianggap hanya mementingkan kepentingan partai. Seakan masyarakat hanya dijadikan anak tangga untuk mengantarkan ke kursi kekuasaan.

Sebagai contoh, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat dua kali upaya pelemahan KPK sepanjang 2015–2016. Hal itu dilakukan dengan cara merevisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Berbagai substansi dalam UU tersebut pun diubah. Dimulai dari upaya pembentukan dewan pengawas, penyadapan harus seizin ketua pengadilan, sampai ke upaya agar KPK dapat menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Berbagai penolakan dari masyarakat terjadi saat menanggapi revisi UU KPK. Itu menandakan bahwa peran DPR sebagai corong aspirasi masyarakat semakin dipertanyakan. Kedua, komitmen transparansi. Data yang dihimpun dari KPK per Maret 2016, baru 356 anggota DPR periode 2014–2019 yang menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di antara total 554 anggota parlemen yang wajib lapor.

Data di atas menunjukkan belum terlihatnya keseriusan anggota DPR dalam konteks transparansi. Setidaknya, dengan anggota DPR melengkapi LHKPN, publik dapat melihat apakah harta yang dimiliki sesuai dengan pendapatannya selama ini. Ke depan, langkah-langkah perbaikan harus menjadi fokus kerja DPR. Menuntaskan pekerjaan rumah yang masih terbilang banyak tak bisa dikesampingkan lagi.

Lembaga legislatif sebagai salah satu bagian dari trias politica (Montesquieu, 1748) memegang peran penting bagi keberlangsungan sebuah negara. Melalui peran-peran yang telah diberikan UU kepada DPR, bukan tidak mungkin, jika dikerjakan dengan baik, akan tercipta lembaga legislatif yang benar-benar sesuai dengan amanat konstitusi dan didambakan masyarakat negeri ini. 

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

------------------

Tulisan ini dipublikasikan dalam Harian Jawa Pos, Rabu, 23 November 2016

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan