Mempersoalkan Kewenangan Komisi Yudisial; Soal Kocok Ulang Hakim Agung

Komisi Yudisial (KY) sedang mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk melakukan seleksi (kocok ulang) terhadap 49 hakim agung. Dijadwalkan, perpu itu selesai Januari ini untuk selanjutnya dilaksanakan kocok ulang berdasar perpu yang harus ditandatangani presiden sebelum berlaku.

Tujuannya, memperoleh hakim agung yang standar, bersih, dan berkualifikasi sesuai performance hakim yang harus memutuskan perkara sesuai rasa keadilan masyarakat. Kalimat sederhana makna kocok ulang tersebut, kalau ternyata di antara hakim agung itu nanti ada yang tidak memenuhi standar, mereka akan diberhentikan dari kedudukannya.

Ke depan, tentu KY juga akan mengocok ulang terhadap para hakim di seluruh sistem peradilan untuk memperoleh hakim yang standar serta dapat mengakomodasikan rasa keadilan masyarakat.

Rencana KY tersebut bakal memicu pro-kontra. Bagi para hakim, meski belum diadakan angket, pasti mereka tidak setuju terhadap kinerja KY tersebut. Selain legalitas formal yang masih diragukan, mereka umumnya menanggapi dengan sinis: memangnya KY itu siapa?

Bagaimana duduk masalah ini sebenarnya? Dalam perspektif ini, ada dua hal yang harus diluruskan sebelum dilaksanakan atau bahkan sebelum presiden menandatangani perpu. Yaitu, tentang konstruksi hukum dan dasar hukum yang menjadi substansi kebijakan KY.

Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum sangat penting dijadikan acuan untuk memperoleh kepastian apakah KY memang punya kewenangan untuk mengocok ulang para hakim agung itu atau tidak. Dalam konstitusi, MA merupakan lembaga tertinggi di bidang hukum yang secara konstruktif berposisi sebagai lembaga yudikatif.

Level kelembagaannya adalah presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif) dan DPR sebagai representasi legislatif. Konstruksi ini meletakkan posisi yang bersifat permanen, ketika person yang duduk di dalamnya telah berposisi sebagai representasi kelembagaan.

Sifat permanen kelembagaan itu mencerminkan adanya penataan sistem ketatanegaraan yang kuat, mapan, serta dinamis. Dinamis dalam arti kesinambungan kedudukan, mulai seleksi, kinerja, sampai penggantian ada mekanisme yang terpola secara permanen.

Untuk presiden, pola pemilihan, kinerja, dan pemberhentiannya terpola -serta demikian sulit dilakukan pemberhentian terhadap presiden. Apalagi, presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Untuk DPR pun demikian. Karena kedudukannya sebagai representasi rakyat, pemberhentiannya pun memiliki syarat-syarat tertentu. Hanya karena keterlaluan seseorang bisa diberhentikan dari keanggotaan DPR.

Pemberhentiannya pun bersifat personal dan tidak bisa dilakukan serentak terhadap seluruh anggota. Yang pasti, ketika seseorang sudah menduduki posisi tersebut, sebagai konsekuensi seleksi yang dinamis tadi, mereka harus melalui mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya UU.

Demikian pula dengan kedudukan anggota MA sebagai representasi lembaga yudikatif. Kedinamisan sistem yang telah dibangun, kedudukannya yang tinggi dan kuat, tidak bisa dikocok ulang oleh sebuah lembaga lain -yang meski kedudukannya sebagai perekrut awal, kewenangannya berlanjut pada pengawasan kelembagaan sampai pada seleksi ulang terhadap MA yang berkedudukan sebagai representasi penegak keadilan dalam sistem hukum kita.

Dengan mengacu pada konstruksi hukum tentang pembagian kekuasaan (distribution of power) di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan lembaga-lembaga negara itu tidak bersifat struktural, tetapi fungsional. Tidak ada suatu lembaga negara yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada lembaga negara lain.

Hal tersebut berbeda dari UUD 1945 sebelum diamandemen yang bersifat struktural dengan meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga lain sebagai lembaga tinggi negara. MPR merupakan superbodi karena keberadaannya merupakan penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat yang punya kewenangan kontrol terhadap lembaga tinggi negara lain (vide Tap No XX/MPRS/1966 jo Tap No III/MPR/2000).

Berdasar konstruksi hukum tersebut, KY tidak punya kewenangan dan tak boleh memosisikan diri selaku superordinat dan meletakkan MA -meski secara personel- sebagai subordinat. Kocok ulang yang dilakukan KY tidak sesuai konstruksi hukum ketatanegaraan di tanah air.

Masalah Dasar Hukum
Dalam UUD 1945 (vide pasal 24A ayat 3 dan pasal 24B), bisa ditelusuri siapa KY dan kewenangannya. Pasal itu memberikan kewenangan KY sebagai lembaga yang mengusulkan seseorang sebagai hakim agung kepada DPR untuk selanjutnya ditetapkan presiden (selaku kepala negara). Juga, berwenang menjaga serta menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Sementara itu, KY adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Mereka diseleksi melalui sistem terbuka, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan persetujuan DPR. Dengan demikian, mekanisme pengangkatan KY sama dengan hakim agung.

Kinerja KY didasarkan pada UU. Sama halnya dengan kinerja MA yang juga didasarkan pada UU. Dalam UU tentang MA sudah diatur mengenai cara, dalam hal apa, dan siapa yang berhak memberhentikan hakim agung. Dasar hukum ini tak bersifat multiinterpretatif.

Dengan demikian, kalau KY mempersiapkan perpu sebagai dasar hukum, itu berarti mengubah UU yang sudah ada. Masalahnya, bagaimana kalau nanti perpu yang dibuat tersebut (sangat mungkin) tidak disetujui DPR, sedangkan KY sudah menyeleksi atas dasar perpu tersebut?

Secara konstitusional, dasar hukum perpu dibuat jika keadaan berkualifikasi sebagai: dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (pasal 22 ayat 1 UUD 1945). Apakah keadaan sudah sedemikian genting, sehingga KY tidak sabar (bahkan emosional) mengusulkan perpu?

Mengapa tidak melalui mekanisme yang sudah mapan, yaitu mengubah UU tentang MA dan UU tentang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, serta Peradilan Militer yang semuanya mengatur cara mengangkat dan memberhentikan para hakim?

Pada sisi lain, kewenangan KY sebagaimana dikemukakan juga didasarkan pada UU. Melakukan kocok ulang yang bersifat einmaalig (sekali pakai) itu mendudukkan UU tentang KY berada di atas UU yang mengatur tentang kedudukan hakim agung dan para hakim lain. Padahal, kedudukan hakim agung diatur dalam UUD. Hal itu juga berarti kinerja yang akan dilakukan bertentangan dengan UUD.

Berdasar argumentasi tersebut, KY layak mengurungkan kebijakannya untuk mengajukan perpu tentang kocok ulang itu. Satu dan lain hal untuk menjaga kewibawaan, KY semestinya berkonsolidasi internal sebelum melangkah terlalu jauh.

* Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan