Mempersoalkan Dana Kampanye Pemilihan Gubernur
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta memasuki tahapan kampanye. Tahapan ini tetap menjadi tahapan penting bagi kedua kubu: Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto, meski keduanya telah mencoba mencuri-curi kampanye di luar tahapan semestinya.
Dalam konteks pendanaan, tahapan kampanye biasanya menjadi tahapan yang paling menguras tenaga dan kantong tim kampanye serta kandidat. Bisa dibayangkan, dalam masa kampanye ilegal saja kedua kubu telah perang terang-terangan tanpa malu-malu di media cetak dan elektronik dengan anggaran yang tidak sedikit. Apalagi sekarang, di arena legal. Arus uang, baik yang masuk ke kandidat dan tim kampanye maupun yang dibelanjakan, tentu akan lebih besar lagi.
Dokumen penting yang dapat menggambarkan besarnya penyumbang dan belanja kampanye adalah laporan rekening dan daftar penyumbang dana kampanye ke Komisi Pemilihan Umum daerah di awal dan akhir masa kampanye. Pelaporan dana kampanye ini wajib sesuai dengan ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pengaturan pasal ini, kandidat diwajibkan memiliki rekening khusus dana kampanye dan didaftarkan ke KPUD. Selain itu, pasangan calon harus menyertakan daftar penyumbang, baik perseorangan maupun badan hukum, sesuai dengan aturan batasan sumbangan dalam laporannya ke KPUD satu hari menjelang masa kampanye dan satu hari sesudah masa kampanye (ayat 6). KPUD kemudian membuka kepada masyarakat satu hari setelah menerima laporan dana kampanye dari kandidat (ayat 7).
Minimalis
Dalam laporan awal yang diserahkan kedua pasang calon satu hari sebelum kampanye, kubu Adang-Dani mengaku telah menyiapkan total kocek pemenangan Rp 31,4 miliar dan kubu Fauzi-Prijanto Rp 10,9 miliar. Dana ini dikumpulkan oleh tiap-tiap pasangan calon dari sumbangan pasangan calon, partai politik pendukung, serta sumbangan perusahaan dan perorangan. Yang menarik dari data laporan awal dana kampanye ini adalah lingkup pencatatan sumbangan yang hanya mencakup tiga minggu sebelum masa kampanye, yaitu pada 2-21 Juli 2007. Lingkup yang sangat terbatas ini menyebabkan informasi tentang sumber dana kampanye yang dikumpulkan jauh hari sebelumnya tidak ikut dilaporkan.
Padahal, menurut pengamatan penulis, kampanye sebenarnya telah dimulai dan marak sejak Maret 2007. Berbagai momen penting digunakan oleh para kandidat untuk berkampanye di media massa nasional, terutama televisi. Pada Hari Anak Nasional, ulang tahun Jakarta, Hari Pendidikan Nasional, serta momen hari besar lainnya, bahkan peristiwa banjir, pun tak luput dari incaran kandidat untuk tampil di layar kaca. Jargon-jargon kampanye yang ditampilkan pun ikut terbawa hingga masa kampanye saat ini, seperti Serahkan pada jagonya atau Ayo benahi Jakarta, meski pada saat itu hal tersebut menjadi tidak pantas, bahkan dapat dipandang menghina penderitaan rakyat Jakarta. Ini karena iklan kampanye yang ditampilkan bukannya program, melainkan gambaran berbagai persoalan, seperti kemiskinan, kemacetan, banjir, anak putus sekolah, dan wabah demam berdarah, yang kemudian disusul oleh pernyataan atau gambar para kandidat dengan wajah tersenyum seakan menikmati penderitaan yang dihadapi rakyat Jakarta.
KPUD seharusnya mewajibkan para kandidat melaporkan semua penerimaan dana kampanye setidaknya sejak Maret 2007, karena sejak saat itu sebenarnya sudah ada kandidat definitif versi partai politik, meskipun belum ada pembukaan pendaftaran dan penetapan pasangan calon oleh KPUD. Bertindak normatif tanpa melihat konteks politik yang terjadi tidak hanya dapat diartikan sebagai sebuah pembiaran dan juga menunjukkan rendahnya kapasitas KPUD dalam membuat aturan main. Hal ini dapat berbuntut pada rendahnya kualitas pemilihan kepala daerah. Dengan tidak adanya informasi pencatatan dana kampanye yang faktual, masyarakat menjadi tidak memiliki kesempatan mengetahui siapa sebenarnya yang paling berperan dalam pendanaan berbagai kampanye liar. Ini termasuk pencetakan stiker, brosur, iklan radio, kalender, dan kaus yang telah beredar dan mengudara di luar tahapan pemilihan kepala daerah. Bagi para kandidat, hal ini akan berakibat negatif bagi pembentukan citranya di mata publik. Ketakcukupan informasi menyebabkan publik membuat kesimpulan sendiri atas sumber pembiayaan kampanye liar, misalnya dengan tudingan penggunaan anggaran publik. Ini karena banyak materi kampanye yang tersirat dibiayai anggaran publik lantaran menjadi bagian yang tidak terpisah dari program lembaga-lembaga pemerintah.
Tidak transparan
Dari laporan awal dana kampanye kedua pasangan calon juga terlihat rendahnya kualitas pencatatan dan ketertutupan. Dalam laporan kedua pasangan calon tidak dijelaskan model penerimaan kas dan nomor buku pencatatan. Hal ini tidak menggambarkan apakah pemberian uang dilakukan langsung dalam bentuk uang kontan atau melalui cek dan transfer rekening. Ketiadaan informasi ini membuka peluang bendahara kampanye memecah sumbangan besar menjadi bentuk yang lebih kecil dalam pencatatan hingga menyembunyikan identitas penyumbang besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa model pencatatan dana kampanye pemilihan kepala daerah DKI jauh lebih longgar daripada ketentuan pencatatan sumbangan yang berlaku saat Pemilu 2004. Dalam laporan daftar penyumbang salah satu pasangan calon bahkan tidak disertakan alamat yang jelas para penyumbang. Hal ini sangat terkesan setengah hati karena menyulitkan publik membuktikan domisili penyumbang.
Model pencatatan yang ketat atas sumbangan pribadi juga seharusnya diberlakukan terhadap sumbangan pasangan calon. Dalam laporan yang ada, pasangan Adang-Dani menyumbang Rp 5 miliar untuk rekening dana kampanye mereka, sedangkan pasangan Fauzi-Prijanto Rp 9,9 miliar untuk rekening dana kampanye mereka. Nilai sumbangan ini sangat besar sehingga perlu dijelaskan apakah memang diberikan dari aset dan kekayaan pasangan calon saja atau ada sumbangan dari sumber lain yang masuk lewat pasangan calon. Karena jumlah batasan sumbangan pasangan calon tidak diatur dalam undang-undang, rekening pasangan calon sangat rawan dimasuki sumbangan gelap. Seharusnya ada aturan yang ketat soal ini. Bisa jadi dana dari sumber terlarang, termasuk dari hasil kejahatan, menyusup masuk karena sumbangan kandidat tidak transparan.
Ibrahim Fahmy Badoh, Koordinator Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 31 Juli 2007