Mempersoalkan Audit Biaya Perkara
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan pemimpin Mahkamah Agung ke Markas Besar Kepolisian RI. Isu yang dipermasalahkan adalah masalah uang biaya perkara yang tidak bisa diaudit oleh BPK. BPK berpendapat seharusnya uang biaya perkara tersebut bisa diaudit dengan mengacu pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara, sementara pihak MA mengatakan bahwa biaya perkara tersebut tidak bisa diaudit karena uang pihak ketiga, uang titipan.
Polemik ini terjadi, menurut hemat kami, disebabkan oleh akuntabilitas atas pengelolaan biaya perkara yang dianggap tidak transparan oleh BPK, sehingga BPK sebagai auditor eksternal pemerintah tidak dapat memberikan penilaian atas pengelolaan uang biaya perkara ini.
Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan yang berada di bawahnya memang merupakan lembaga negara, tapi sekaligus juga sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang negara sehingga para pengelola keuangan negara di lingkungan MA tentunya harus membuat laporan pertanggungjawaban atau akuntabilitas keuangan yang menjadi tanggung jawabnya, terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang MA dan lembaga-lembaga peradilannya. Terlepas dari masalah dispute apakah uang biaya perkara tersebut merupakan uang titipan atau penerimaan negara.
Masalah administrasi keuangan negara ini perlu didalami terlebih dulu. MA sebagai pengguna anggaran negara tentunya tidak luput dari pengawasan, baik secara internal maupun pemeriksaan ekstern sebagaimana yang dilakukan oleh BPK. Uang biaya perkara ini pada dasarnya merupakan biaya yang berasal dari pemohon keadilan (pihak yang mengajukan perkara) untuk digunakan pengadilan, antara lain untuk pemanggilan saksi dan pengiriman berkas ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi, yang besarnya ditetapkan oleh ketua pengadilan tingkat pertama setempat, dan bila terdapat sisa akan dikembalikan kepada si pemohon keadilan tadi.
Memang uang tersebut bukan berasal dari APBN, melainkan dari masyarakat atau pihak ketiga. Mengacu pada Pasal 2 huruf (h) dan (i) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud keuangan negara menyangkut pula kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Maka uang biaya perkara tersebut bisa dianggap sebagai penerimaan negara yang timbul, karena adanya pelayanan publik yang diberikan oleh lembaga pengadilan. Seyogianya pengelolaan dan akuntabilitasnya juga harus transparan dan akuntabel.
Masalah akuntabilitas keuangan ini, kalau memang dianggap belum tertib atau belum transparan di setiap instansi pemerintah/lembaga negara, tidak terkecuali di MA, seharusnya aparat pengawasan internalnya ikut membenahi terlebih dulu. Dalam hal ini dapat dilakukan oleh Badan Pengawas sebagai auditor intern di lingkungan lembaga MA, atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang juga berperan sebagai auditor intern pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden. Dengan demikian, bila administrasinya tertib, akan dapat membantu BPK sebagai auditor eksternal pemerintah untuk meneliti dan memberikan penilaian atas akuntabilitas uang biaya perkara tersebut. Kalau tidak tertib, tentunya ini merupakan kewajiban dari pemimpin departemen/pemimpin lembaga selaku pengguna anggaran (atau kuasa pengguna anggaran) untuk menertibkannya sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh aparat pengawasan intern.
Kalau mekanisme ini berjalan dengan baik, tentunya tidak akan terjadi polemik seperti ini. Dari sisi pengawasan atas pengelolaan keuangan, bila mengacu pada Pasal 9 ayat (1) UU 15/2004, dalam penyelenggaraan tugas pemeriksaannya, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Dalam masalah ini, tentunya BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas MA.
Pada hakikatnya, sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu pasal 6 ayat (1), Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Walaupun kekuasaan tersebut dikuasakan kepada menteri/pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang dan diserahkan kepada gubernur/bupati/wali kota, akuntabilitas keuangan negara tersebut tetap menjadi tanggung jawab Presiden. Sehingga Presiden membutuhkan aparat pengawasan intern agar dapat berakuntabilitas dengan baik, sebelum akuntabilitas tersebut diperiksa oleh BPK sebagai auditor ekstern pemerintah.
Hal ini juga dipertegas lagi dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.
Jiwa dari undang-undang ini jelas, bahwa aparat pengawasan intern yang merupakan bagian dari sistem pengendalian intern pemerintah harus bersinergi dengan baik secara berjenjang agar akuntabilitas pengelolaan keuangan negara tersebut transparan dan akuntabel. Sehingga membantu atau memudahkan BPK untuk melakukan auditnya, dan tidak ada lagi keragu-raguan auditor eksternal untuk melakukan pengujian dan penilaian atas akuntabilitas keuangan tersebut.
Jadi masalah pemimpin MA yang dilaporkan kepada Markas Besar Kepolisian RI, menurut hemat kami, perlu diberikan kesempatan terlebih dulu kepada Badan Pengawas MA untuk menelitinya, atau bersama-sama BPKP untuk meneliti akuntabilitas pengelolaan uang biaya perkara tersebut. Apabila, berdasarkan pemeriksaan BPK atas akuntabilitas pengelolaan uang biaya perkara--setelah diteliti oleh Badan Pengawas MA ataupun BPKP--ternyata ada unsur melawan hukumnya dan merugikan keuangan negara, menjadi kewenangan BPK untuk melakukan audit investigatif dan meneruskannya kepada aparat penegak hukum. Sekali lagi, beri kesempatan dulu kepada aparat pengawasan intern pemerintah untuk menertibkan masalah akuntabilitas pengelolaan uang biaya perkara ini sebelum pihak eksternal mendalaminya.
Didi Widayadi, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 September 2007