Memperkuat Undang-Undang KPK

Ketidakmampuan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus korupsi akbar (grand corruption), seperti kasus Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet secara adil, tuntas, serta obyektif terus menuai sinisme publik.

Apabila hal ini dibiarkan, kepercayaan publik (public trust), yang krusial bagi eksistensi dan efektivitas kinerja KPK, akan terus menurun. Tanpa tindakan yang strategis dan komprehensif, masyarakat suatu saat nanti akan memandang KPK tidak berbeda dengan institusi penegak hukum lain yang korup, tidak memiliki kredibilitas, dan tidak berdaya memberantas korupsi.

Ketidakmampuan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus korupsi akbar (grand corruption), seperti kasus Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet secara adil, tuntas, serta obyektif terus menuai sinisme publik. Apabila hal ini dibiarkan, kepercayaan publik (public trust), yang krusial bagi eksistensi dan efektivitas kinerja KPK, akan terus menurun. Tanpa tindakan yang strategis dan komprehensif, masyarakat suatu saat nanti akan memandang KPK tidak berbeda dengan institusi penegak hukum lain yang korup, tidak memiliki kredibilitas, dan tidak berdaya memberantas korupsi.

Tapi ketidakberdayaan KPK tersebut sesungguhnya (sebagian) disebabkan oleh kelemahan kebijakan (policy defects) Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Karena itu, revisi dalam arti penguatan undang-undang itu adalah suatu keniscayaan. Sebagai perbandingan, undang-undang yang mendirikan Komisi Independen Antikorupsi (Independent Commission Against Corruption atau ICAC) Hong Kong, yang menjadi model komisi antikorupsi di banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami beberapa kali perubahan. Begitu juga dengan ICAC Act 1988, yang mendirikan ICAC New South Wales (Australia).

Tulisan ini mengusulkan revisi untuk memperkuat UU KPK. Bagian pertama membahas kelemahan (Undang-Undang) KPK. Bagian terakhir mendiskusikan mekanisme akuntabilitas, penguatan fungsi pencegahan, dan penindakan KPK (preventive and investigative power).

Kelemahan
Kelemahan mendasar KPK, sebagaimana tersirat dalam diktum menimbang UU KPK, adalah sifat ad hoc dari KPK itu sendiri. KPK didirikan karena "lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi". Artinya, KPK tidak diperlukan lagi atau dibubarkan bila lembaga pemerintah itu, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, sudah berfungsi dengan efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.

Hal ini tentu saja membuka peluang bagi kekuatan korup menggalang kekuatan politik di eksekutif ataupun legislatif untuk membubarkan KPK kapan saja. Mereka bisa saja beralasan KPK tidak diperlukan lagi, karena kepolisian dan kejaksaan telah "berfungsi dengan baik", atau beralasan KPK justru telah "mengganggu berfungsinya sistem peradilan pidana dalam suatu negara hukum". Sifat ad hoc KPK juga dapat menimbulkan ketidakpastian masa depan dan ketidaktenangan pegawai KPK dalam bekerja.

Karena itu, dalam berbagai tulisan saya berdasarkan pengalaman berbagai negara yang berhasil memberantas korupsi, saya mengusulkan agar KPK ditetapkan sebagai institusi independen permanen dalam pemberantasan korupsi, meskipun kepolisian dan kejaksaan telah berfungsi dengan baik.

Bahkan, dalam tulisan saya, "(Sekali Lagi) Menyelamatkan KPK!" (Koran Tempo, 26 Agustus 2011), karena peran KPK yang sangat besar dan strategis bagi berfungsinya demokrasi dan pemerintahan, the rule of law, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan serta eksistensi bangsa dan negara, saya berpendapat KPK hendaknya ditetapkan menjadi lembaga konstitusional (constitutional body) seperti halnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dengan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi UUD antikorupsi, seperti UUD Thailand, KPK dengan fungsinya yang strategis seperti penyidikan dan penuntutan, termasuk penyadapan, hanya dapat dibubarkan dengan referendum.

Kelemahan mendasar yang lain UU KPK adalah terbukanya kemungkinan intervensi terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Dalam negara transisi demokrasi yang dipenuhi pertarungan politik antara kekuatan korup status quo dan kekuatan reformasi seperti Indonesia, KPK dengan kekuasaannya yang besar sangat rentan terhadap intervensi politik kekuatan korup untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi korupnya.

Lambat, tebang pilih, dan tidak adilnya (discriminative investigation) KPK dalam penanganan kasus grand corruption yang diduga melibatkan penguasa dan politikus, seperti kasus Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet, ada kemungkinan disebabkan oleh adanya intervensi itu. KPK, dalam tulisan saya (Tempo, edisi ke-42, 10-16 Desember 2007), bahkan dapat dijadikan instrumen politik strategis yang efektif oleh penguasa untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya.

Pasal 36 (a) UU KPK melarang pemimpin KPK mengadakan hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun. Pasal 66 (a) melarang hal yang sama bagi pegawai KPK, dengan perbedaan frasa tanpa alasan yang sah. Apabila melanggar, mereka diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun.

Kelemahan dari ketentuan tersebut adalah ia hanya mengancam pidana pihak yang membuka peluang dilakukannya intervensi, yaitu pemimpin dan pegawai KPK. Tidak ada ketentuan yang memidanakan pihak yang melakukan intervensi terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Jadi ketentuan itu hanya menghukum dari supply side, tidak mengancam sisi demand side dari suatu transaksi korup.

Kesalahan "fatal" pembuat UU KPK adalah tidak dibentuknya lembaga pengawas eksternal untuk mengawasi penggunaan kekuasaan oleh pemimpin KPK. Pasal 26 ayat 2d UU KPK hanya menentukan pembentukan bidang pengawasan internal. Ironisnya, dalam pasal 26 ayat 8 disebutkan, tugas dan wewenang pengawas internal ini ditetapkan oleh pemimpin KPK. Karena itu, selain karena keengganan, pengawas internal tentu saja tidak akan mampu menindak penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpinnya. Ia hanya akan berani menindak pegawai "rendahan" KPK.

Lalu "kejahatan" apa yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin dan staf KPK? Selain korupsi dan tindak pidana lainnya, ada beberapa bentuk penyalahgunaan wewenang oleh KPK. Pertama, laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, meskipun buktinya cukup kuat. Dengan kata lain, meskipun KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi (Pasal 40 UU KPK), potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi oleh KPK sebenarnya dapat terjadi pada awal proses penindakan.

Kedua, KPK melakukan penindakan yang tebang pilih (discriminative investigation). Tuduhan tebang pilih dalam kasus-kasus korupsi politik akbar dengan tidak menindak oknum-oknum politikus dari partai yang berkuasa, seperti kasus Bank Century, Wisma Atlet, dan calo anggaran, adalah beberapa contohnya.

Ketiga, penanganan kasus korupsi oleh KPK berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Berlarut-larut dan tidak tuntasnya penanganan kasus Bank Century, meskipun alat bukti permulaan cukup kuat, adalah salah satu contohnya.

Keempat, penanganan tindak pidana korupsi justru untuk melindungi pelaku korupsi yang sebenarnya. Dan kelima, KPK tidak mengambil alih penyidikan serta penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan Pasal 8 ayat 2 UU KPK, meskipun ada alasan kuat untuk pengambilalihan itu (Pasal 9 UU KPK).

Lalu, apabila semua bentuk penyalahgunaan wewenang ini terjadi, siapakah yang akan menindak dan memberi sanksi terhadap pemimpin KPK? Kekuatan penyeimbang (balancing force) diperlukan agar mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan KPK yang besar tidak disalahgunakan--salah satu topik yang akan dibahas pada bagian terakhir tulisan. l

Roby Arya Brata, Analis antikorupsi, hukum, dan kebijakan

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 Desember 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan