Memperbaiki Citra Institusi Pajak
SAAT ini mungkin merupakan masa-masa paling suram bagi citra dunia perpajakan di Indonesia, khususnya bagi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Wajah institusi perpajakan seolah menjadi bulan-bulanan publik terkait dengan sejumlah kasus yang membelitnya.
Belum tuntas kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai golongan IIIa yang memiliki simpanan lebih dari Rp 24 miliar, publik kembali dientakkan oleh kasus pegawai pajak lain, Bahasyim Assifie. Bahasyim ditahan Polda Metro Jaya karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dan money laundering sebesar Rp 64 miliar.
Mencuatnya dua kasus itu telah cukup untuk menggerogoti kredibilitas, bahkan legitimasi Ditjen Pajak. Kecenderungan kemerosotan legitimasi institusi pajak bisa dibaca dari munculnya facebookers yang menggalang dukungan untuk mengancam menolak membayar pajak.
Sorotan tajam publik yang bernada sisnis terhadap Ditjen Pajak pasca terkuaknya kasus Gayus maupun Bahasyim boleh dikata merupakan akumulasi kekecewaan publik selama ini. Dalam persepsi publik, pegawai kantor pajak diidentikkan dengan pegawai yang termasuk memiliki tingkat kesejahteraan hidup relatif lebih baik jika dibandingkan dengan perkerjaan lain.
Apalagi setelah penerapan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sejak 2005, perbaikan remunerasi semakin melipatgandakan penghasilan pegawai di Kementerian Keuangan. Meningkatnya penghasilan di jajaran Kemenkeu, diakui atau tidak, telah menimbulkan kecemburuan di kalangan pegawai pemerintah/swasta atau profesi lainnya.
Tingginya standar penghasilan di Kementerian Keuangan di satu sisi dan masih adanya perilaku menyimpang di kementerian itu di sisi lain semakin memupuk rasa "emosional" publik ketika mengetahui berbagai kasus di Ditjen Pajak.
Ancaman Delegitimasi
Delegitimasi atas institusi perpajakan di tanah air itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Bagaimanapun, pajak masih diharapkan menjadi andalan pendapatan nasional. Di negara-negara maju, 70-80 persen penerimaan negara ditopang dari pajak.
Di Indonesia, kontribusi pajak pada APBN cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, penerimaan dari sektor pajak menyumbang tak kurang 71 persen dari APBN, meningkat jika dibandingkan dengan APBN 2008 yang baru mencapai sekitar 68 persen. Sementara itu, pada 2010, penerimaan pajak ditargetkan memberikan pemasukan Rp 770 triliun (Rp 660 triliun di antaranya akan dihimpun Ditjen Pajak).
Perolehan pajak nasional boleh jadi tidak terlalu terpengaruh oleh berbagai kasus yang mendera Ditjen Pajak sekarang. Namun harus diingat, ada yang lebih penting dari sekadar target nominal, yakni kepercayaan publik kepada (penyelenggara) negara.
Dan, menurunnya kepercayaan publik dikhawatirkan tidak hanya melanda institusi perpajakan di tingkat pusat (Ditjen Pajak), tapi bisa pula melanda institusi perpajakan "milik" pemerintah daerah. Publik sangat mungkin nggebyah uyah seluruh institusi pajak, baik di pusat maupun di daerah, sebagai sarang KKN. Stigma itu akan merugikan dalam jangka panjang.
Karena skala ''kehebohan" publik terhadap isu penyimpangan pajak sudah demikian luas, penyelesaian atas berbagai kasus tersebut tidak bisa hanya diserahkan kepada Ditjen Pajak atau Kementerian Keuangan. Presiden SBY dinilai perlu turun tangan secara aktif untuk menuntaskan kemelut perpajakan, minimal meredam menurunnya kepercayaan publik kepada institusi perpajakan.
Langkah Konkret
Perlu langkah darurat maupun langkah lanjutan untuk memperbaiki citra institusi perpajakan. Pertama, penting bagi Kementerian Keuangan "membersihkan" institusi itu dari oknum-oknum pelaku penyimpangan.
Menteri Keuangan seyogianya tidak cuma berhenti pada penelusuran pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kasus-kasus yang sekarang muncul ke permukaan, namun perlu proaktif mengaudit internal untuk menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyimpangan yang lain.
Akan lebih efektif apabila Menkeu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga eksternal (seperti BPK, BPKP, dan PPATK) untuk memeriksa secara menyeluruh. Langkah itu strategis untuk membuktikan bahwa Kementerian Keuangan mempunyai niat serius dalam mereformasi lembaganya.
Kedua, antisipasi konkret untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang perlu dilakukan. Di antaranya, melalui pembenahan sistem yang dianggap masih memiliki celah terjadi peluang penyimpangan.
Sistem di sebuah lembaga yang mengurusi pemasukan bagi negara, seperti Ditjen Pajak, idealnya dirancang dengan meminimalkan adanya hubungan langsung (face to face) antara pegawai penyedia layanan dan pengguna layanan.
Sistem pengawasan internal juga wajib diperketat dan konsisten diterapkan. Termasuk pembenahan sistem reward and punishment sehingga tidak mengesankan reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Keuangan hanya mengedepankan masalah perbaikan remunerasi, sementara soal optimalisasi kinerja dilupakan.
Ketiga, proses di seputar perpajakan (tahap penarikan pajak, penggunaan, dan pertanggungjawaban) sudah saatnya dilakukan secara transparan. Sistem kerja tertutup dengan dalih melindungi kerahasiaan wajib pajak mestinya dibatasi untuk hal-hal yang benar-benar bersifat sangat rahasia.
Keempat, keragu-raguan publik harus dijawab seluruh institusi di jajaran Kementerian Keuangan dengan kinerja yang lebih baik. Misalnya, lebih meningkatkan kualitas pelayanan public.
Terakhir, ''paradigma" perpajakan yang selama ini sering menuntut wajib pajak untuk taat pajak perlu diimbangi dengan tuntutan kepada pegawai pajak untuk bekerja dengan baik dan benar. Intinya, mind-set sebagai abdi masyarakat sekaligus abdi negara perlu ''diluruskan" lagi agar kepercayaan publik kembali bersemi. Selamat berbenah. (*)
*) Didik G. Suharto, mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 April 2010