Memotong Nadi Korupsi

Alphonse Gabriel Capone begitu terkenal dengan Volsted Act yang digunakan pemerintahan Amerika untuk menjeratnya. Sampai-sampai Dinas Pajak negeri paman sam itu memasang poster “Only an accountant could catch Al Capone”. Poster yang mungkin bisa mengalahkan ketenaran FBI dan CIA di film produksi Holywod. Akan tetapi, tidak banyak yang membicarakan, bahwa dari kasus inilah kemudian dunia merasa perlu membuat pengaturan tentang Pencucian Uang.

Kisah Al Capone ini memang menjadi legendaris justru karena keunikannya. Betapa tidak, ia justru dijerat dengan tindak pidana pajak karena tidak membayar pajak terhadap hasil kejahatan yang telah ia lakukan selama ini. Agak dilematis jika kondisi ini kita bandingkan dengan perkembangan aturan hukum yang ada. Bagaimana mungkin sebuah hasil kejahatan kemudian dipungut pajak? Akan tetapi, dilema ini toh akhirnya menjadi pijakan penting tentang pemberantasan pencucian uang ke depan.

Saat itu, Amerika memang belum memiliki peraturan tentang pencucian uang. Tercatat kasus pencucian uang pertama yang diajukan ke persidangan barulah di tahun 1982, yaitu antara United States vs US$ 4,255,625.39 (Carl Edward, 1997/1998). Sebuah kondisi ketika Amerika sebenarnya gagal menjerat pelaku, tetapi berhasil mengejar aset hasil kejahatan tersebut.

Di Indonesia sendiri, meskipun penuh dengan raport merah, rezim kriminalisasi pencucian uang ini mulai diberlakukan pasca UU No. 15 tahun 2002 jo UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berlaku. Aturan hukum yang diundangkan 17 April 2002 ini terasa tak efektif. Ribuan temuan transaksi keuangan mencurigakan dan laporan hasil analisis yang disampaikan PPATK seperti membentur dinding. Yang menarik, para perwira kepolisian yang seharusnya berperan penting dalam pemberantasan pencucian uang justru terlilit skandal rekening gendut. Sebuah skandal yang didiamkan dan tak kunjung selesai hingga saat ini. Sementara, saat itu, monopoli penyidikan pencucian uang ada di tangan polisi.

Akan tetapi, dalam perkembangannya muncul peluang baru dalam memerangi pencucian uang. Lima penyidik tindak pidana asal (predicate crime), termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang mengusut kejahatan kerah putih ini. Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang membuka peluang tersebut, dan sebelumnya UU No. 46 tahun 2009 juga mengatur bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memproses kasus pencucian uang jika tindak pidana asalnya adalah korupsi. Artinya secara normatif, seharusnya masa depan pemberantasan kejahatan ini akan lebih cerah.

Memiskinkan Koruptor
Penggunaan regulasi anti pencucian uang ini diharapkan menjadi strategi untuk mengakumulasikan efek jera dan efektifitas pemberantasan korupsi. Karena, perang yang sesungguhnya tetaplah perang terhadap koruptor.

Kasus korupsi yang melilit mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin misalnya. Penggunaan aturan anti pencucian uang yang sejak lama disarankan pada KPK sebenarnya adalah demi memudahkan KPK dan membuka peluang untuk mengefektifkan upaya perampasan aset hasil korupsi yang selama ini nyaris menjadi wacana hampa semata. Biaya untuk melakukan pemberantasan korupsi yang sangat besar terasa belum terpenuhi ketika lembaga penegak hukum tidak mampu memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.

Dalam kasus Nazaruddin, di persidangan untuk kasus pertamanya, ia hanya dijerat dengan tuduhan menerima suap Rp. 4,6 Miliar dalam bentuk cek. Sebuah angka yang sama sekali tidak luar biasa dibanding kewenangan KPK yang cukup besar. Untunglah, berselang beberapa lama akhirnya KPK menggunakan “senjata” yang sempat nganggur sejak Oktober 2010 lalu. Nazaruddin dijerat dengan Pasal 3, 4 dan 6 UU No. 8 tahun 2010 terkait dengan pembelian saham Garuda senilai Rp. 300 Miliar. Tapi, cukupkah? Tidak.

Jika sejumlah fakta-fakta persidangan Nazaruddin dan berkas-berkas terkait kasus ini dicermati, sesungguhnya potensi menerapkan pasal pencucian uang bisa lebih luas. Meskipun menjadi tantangan terbesar dalam pembuktian, tentang siapa pemilik sesungguhnya sebuah konsorsium yang disebut KPK sebagai Group Permai. Karena, tampaknya sejumlah proyek konstruksi, pengadaan alat kesehatan dan pendidikan di sejumlah rumah sakit dan universitas di Indonesia punya modus yang mirip, yaitu adanya pengumupan fee atau komisi di kas Group Permai.

Di titik inilah, putusan kasus perdana Nazaruddin benar-benar akan menjadi sebuah batu lompatan paling penting dalam penanganan kasus ini. Jika Nazar divonis bersalah dan hakim meyakini Nazar lah penguasa sebenarnya konsorsium tersebut, meskipun namanya sudah lama tak tertulis, maka bolehlah kita sedikit menarik nafas lega. Sebaliknya, jika dibebaskan, berarti kerja KPK menjadi jauh lebih sulit.

Selain terkait dengan penguasaan Group Permai, peran sejumlah orang di perusahaan yang terafiliasi dengan group ini juga dapat menjadi target KPK soal pencucian uang. Aset yang disembunyikan di luar negeri pun tidak boleh luput dari pengusutan.

Demikian juga dengan pihak penikmat dana hasil kejahatan. Jika proses pengumpulan fee proyek, pengelolaan keuangan selayaknya “perusahaan” di group permai telah terbukti, maka menyasar penikmat dana haram adalah tugas berikutnya. Sejumlah nama sudah disebut oleh saksi-saksi di persidangan. Catatan keuangan Yulianis pun dapat menjadi alat bukti yang kuat tentang aliran dana tersebut. Dalam waktu dekat seharusnya KPK sudah masuk dalam klasifikasi ketiga ini.

Menekankan pada penikmat hasil korupsi dan menjeratnya dengan UU Pencucian Uang adalah cara paling tepat untuk menjerat apa yang tak terjangkau oleh UU Pemberantasan Korupsi semata. Jika pihak yang menerima bukan pegawai negeri atau penyelengga negara misalnya, tentu tak mungkin pasal suap atau gratifikasi di UU Tipikor diterapkan padanya. Akan tetapi, Pasal 5 UU Pencucian Uang dapat digunakan, yaitu terhadap penerima transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan hasil kejahatan. Ini dikenal dengan pencucian uang pasif.

Di titik inilah, jika benar ada aliran dana pada sejumlah petinggi partai atau bahkan untuk pemenangan calon tertentu, pasal 5 UU TPPU menjadi relevan. Lebih jauh dari itu, undang-undang ini tampaknya juga mempunyai satu pasal yang mengerikan bagi para koruptor, yaitu: kewajiban terdakwa melakukan pembuktian terbalik terhadap kekayaannya. Hal ini diharapkan bisa memberikan jawaban terhadap adanya petinggi partai atau pejabat tertentu yang memiliki kekayaan diluar kewajaran dibanding penghasilan yang sah (unexplained wealth/illicit enrichment).

Pintu untuk memiskinkan koruptor terletak dalam rangkaian argumentasi diatas. Kita dapat menemukan salah satu contoh kasusnya yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu vonis terhadap mantan pegawai pajak, Bahasyim Assifie. Ia dijerat korupsi Rp. 1 Miliar, akan tetapi hartanya yang tersisa saat itu dan tersebar di rekening anak-isteri dirampas oleh negara senilai Rp. 61,99 Miliar dan USD 681,147.33. Meskipun dakwaan dalam kasus Bahasyim ini perlu diberikan catatan karena berkibat tanah seluas 847m2 di daerah menteng luput dirampas negara.

Saat itu, jaksa menggunakan UU Pencucian Uang pada Dakwaan Kedua yang disusun secara subsidiaritas. Konsekuensinya ketika dakwaan kedua primair (Pasal 3 ayat (1) huruf a) terbukti, maka hakim tidak perlu membuktikan dakwaan kedua subsidair dan lebih subsidair. Padahal perbuatan di dakwaan lebih subsidair berbeda dengan dakwaan primair, yaitu membeli sebidang tanah dan rumah dari harta hasil kejahatan. Konsekuensinya, tanah dan bangunan tersebut dikembalikan oleh pengadilan. Kekuatan dan kekurangan di kasus Bahasyim ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi KPK.

Menjerat Korporasi
Peluang lain yang bisa dimaksimalkan oleh KPK adalah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi (legal person). Sinyal awal ketika KPK menggunakan Pasal 6 UU No. 8 tahun 2010 yang sesungguhnya adalah pasal yang mengatur jika pencucian uang dilakukan oleh korporasi adalah langkah tepat yang harus dituntaskan. Agak berbeda dengan UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang memberikan ancaman sanksi yang jauh lebih berat bagi korporasi. Pada Pasal 7 disebut, selian pidana denda maksimal Rp. 100 Miliar, sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pembekuan, pencabutan izin, dan pembubaran korporasi. Bahkan, dari perspektif asset recovery, hakim dapat memberikan sanksi perampasan aset korporasi dan pengambilalihan koporasi oleh negara.

Korporasi disini tentu bukan hanya perusahaan dalam arti formil yang seringkali dikilahkan pihak Nazaruddin akhir-akhir ini. Yaitu perusahaan yang harus berbadan hukum atau didaftarkan di kementrian hukum dan HAM. Sehingga kemudian dikatakan bahwa group permai bukanlah entitas hukum alias tidak ada. Karena ternyata, baik UU Tipikor ataupun UU Pencucian Uang mendefenisikan korporasi sebagai kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisir yang berbadan hukum ataupun tidak berbadan hukum.

Peluang KPK untuk menggabungkan pendekatan follow the money melalui penggunaan UU Pencucian Uang, dan penerapan delik korporasi untuk pertama kalinya di Indonesia tidak boleh disia-siakan. Regulasi yang seharusnya digunakan bersama-sama oleh penegak hukum ini diharapkan benar-benar bisa memotong nadi korupsi. Menjerat korupsi tepat di titik terlemahnya.

Oleh: Febri Diansyah, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Majalah Tempo, 23 April 2012

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan