Memindah Korupsi ke Daerah

AMIEN Rais, Ketua MPR sekaligus Ketua Umum DPP PAN melontarkan pendapat keras dan menggelitik untuk dikritisi. Pada peringatan Isra Mikraj di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, mengatakan, Buah reformasi hingga saat ini hanya berhasil memindahkan korupsi dari pusat ke daerah, sehingga kerugian negara dalam dua tahun terakhir nyaris sama dengan angka kerugian total selama 15 tahun di masa lalu.

Mari kita kritisi apakah pernyataan Amien itu beralasan, bisa diterima dengan akal sehat sesuai dengan tataran empirik dan akademik, apa implikasinya terhadap masa depan bangsa Indonesia serta apakah faktor penyebabnya, dan bagaimana jalan keluarnya.

Kalau kita kritisi dalam tataran empirik, kelihatannya sulit membantah, buah reformasi hanya memindahkan korupsi dari pusat ke daerah, seperti yang dilontarkan Amien Rais. Data pendukung gampang sekali kita jumpai, penyelenggara negara di daerah (bisa provinsi maupun kabupaten/kota) terutama pihak legislatif (DPRD) yang diduga sedang dalam proses pengadilan (berarti azas praduga tetap berlaku), beberapa waktu belakangan ini menjadi topik yang hangat hampir di seluruh nusantara.

Mengapa kasus ini lebih didominasi oleh DPRD? Jawabannya sederhana, pada era reformasi ini bandul lonceng berbalik arah. Pada masa sebelumnya, eksekutif lebih mendominasi legislatif (bahkan DPRD dan DPR hanya dicap sebagai tukang stempel), sedangkan pada era sekarang ini dominasi legislatif nampak menonjol.

Angin berbalik arah. Legislatif unggul karena mendapat angin. Laporan pertanggungjawaban (LPj) kepala daerah setiap tahun dan laporan akhir masa jabatan (LAMJ) kepala daerah menjadi salah satu indikator begitu kuat dominasi legislatif atas eksekutif. Gubernur/bupati/wali kota pada posisi nilai tawar yang riskan dan lemah di depan DPRD manakala kita berbicara LPj atau LAMJ.

Kalau kita cermati, berbagai media cetak dan elektronik, baik nasional, regional maupun lokal, gencar menurunkan berita tentang kinerja penyelenggara negara di daerah.

Di Padang, 40 anggota DPRD tersangka korupsi, 74 anggota DPRD Sumatera Selatan diperiksa dan diproses oleh Kejaksaan. Miliaran rupiah APBD Jabar diduga diselewengkan. Ketua DPRD Sumatera Barat diduga otak pelaku korupsi. Gaji anggota DPRD Bandar Lampung naik sebesar 525 %. DPRD Kutai Timur tetapkan dana pensiun, setiap anggota akan menerima Rp 300 juta, dsb.

Belum lagi para mahasiswa, LSM, pers dan stake holders sepanjang reformasi ini berlangsung selalu mengkritisi karena mereka menilai banyak melakukan pemborosan, kegiatan yang kurang atau tidak bermanfaat untuk kepentingan rakyat dilakukan oleh penyelenggara negara di daerah, terutama pada pihak legislatif.

Hal-hal yang selalu menjadi kontroversi adalah, gaji DPRD dinilai terlalu tinggi, fasilitas terlalu wah (perumahan, kesehatan, kesejahteraan, transportasi, operasional dan sejenisnya), dana purna bakti (pensiun) ditentukan dengan selera meraka, senang jalan-jalan ke luar negeri. Aroma semakin tak sedap manakala DPRD sedang memproses pemilihan kepala daerah.

Kajian akademik, ternyata ada variabel yang menyebabkan atau sedikit banyak mempengaruhi kinerja penyelenggara negara di daerah manakala sedang menyusun APBD, hal-hal yang menguntungkan dirinya sendiri cenderung selalu muncul.

Ambil contoh, Peraturan Pemerintah (PP) No 110 Tahun 2000. tentang Kedudukan Keuangan DPRD, ternyata dianulir oleh Mahkamah Agung, sebagaimana tertuang dalam Putusan No 04.G/HUM/2001 Tanggal 9 September 2002.

Alasan Majelis Hakim Agung, pada prinsipnya adalah dari sisi hukum dirasa sangat keliru dan tidak memiliki alasan hukum. Fakta dan kenyataan yang merupakan bukti nyata pemerintah pusat, tidak pernah merelakan pemberian atau pendelegasian kekuasaan kepala daerah.

Katakanlah PP No 110 Tahun 2000, kurang sempurna dan harus dicabut. Hal ini bertentangan dengan suatu mazhab dalam praktik pengelolaan keuangan, adalah lebih baik memiliki seperangkat peraturan keuangan yang kurang lengkap dan tidak sempurna, daripada tidak sama sekali.

Langkah yang paling tepat untuk mengantisipasi masa transisi semestinya ada aturan pengganti. Artinya, sebelum PP tersebut dicabut, seyogianya dipersiapkan terlebih dulu aturan yang setara dengan aturan yang dicabut. Kalau hal ini tidak dilakukan, apa dasar hukum yang dipakai untuk mengeluarkan uang bagi DPRD, manakala landasan hukumnya tidak ada.

Muncul pertanyaan, bolehkah keuangan daerah dikeluarkan tanpa aturan? Kajian akademik suka atau tidak suka harus mengatakan, dengan kevakuman hukum tersebut, dapat ditafsirkan MA memberi kesempatan diberlakukannya hukum rimba, di dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pertanggungjawaban keuangan dengan adanya keberadaan DPRD. Dengan demikian, jangan kesalahan secara keseluruhan ditimpakan kepada kinerja DPRD.

Peluang
Di sinilah peluang dimanfaatkan menjadi kenyataan, di satu sisi dominasi DPRD lebih kuat, di sisi lain aturan yang membatasi atau koridor yang mengawal secara hukum tidak disediakan. Klop sudah.

Variabel lain yang menjadi faktor pendorong maraknya sinyalemen Amien Rais adalah munculnya salah persepsi tentang otonomi. Otonomi seringkali dikaitkan dengan auto-money, dan bukan pada pelayanan masyarakat.

Implikasinya, konsep kewenangan lebih dikaitkan dengan keuangan, yaitu hak daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan yang dihasilkan oleh kewenangan tersebut dan bukan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Akibat dari persepsi tersebut, terjadilah konsentrasi kewenangan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi sumber daya. Atau lebih tragis mengeksploitasi masyarakat itu sendiri. Semangat inilah yang sangat mungkin berpengaruh terhadap kinerja penyelenggara negara di daerah. Mereka merasa telah menghasilkan (mencarikan) uang, dan pada gilirannya pantas kalau ikut menikmati.

Jalan keluar yang masih mungkin dilakukan adalah pemahaman bersama untuk peningkatan pemantapan otonomi daerah. Perlu peningkatan kapasitas aparat eksekutif dan legislatif daerah terutama menyangkut manajemen keuangan daerah.

Penekanan ini pada anggota DPRD sangat perlu, karena DPRD akan menilai laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal, bagaimana mereka harus menilai masalah keuangan kalau mereka sendiri tidak paham? Maka dari itu, sering terdengar LPj belum disampaikan, beberapa suara dari DPRD sudah mengatakan bahwa LPj akan ditolak.

Di sini diperlukan DPRD yang mau dan mampu memahami semangat otonomi. Diperlukan pertama, kemauan DPRD untuk memahami otonomi secara benar. Sebab dengan kemauan yang keras, kemampuan akan muncul dengan sendirinya. Tetapi kemampuan yang betapa pun tingginya, kalau tidak ada kemauan, maka kemampuan yang tinggi itu lambat laun akan hilang.

Dengan demikian otonomi daerah bisa betul-betul berhasil dengan baik dan tidak ada yang dirugikan bagi legislatif maupun eksekutif, dan pada akhirnya masyarakat luas akan memahami dengan memberi dukungan yang positif.

Karena pada prinsipnya dengan otonomi daerah, untuk ke depan bangsa Indonesia harus lebih berkualitas. Untuk itu, paling tidak ada empat koridor yang sangat perlu dijadikan pijakan manakala menjadi penyelenggara negara di daerah.

Pertama, otonomi daerah sesungguhnya harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan untuk pemerintah terhadap masyarakat;
Kedua, otonomi daerah memiliki sistem, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan otonomi daerah yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dengan jelas, dan mampu diaplikasikan sehingga benar-benar dapat menjadi pedoman yang memudakan praktik pelaksanaan di lapangan. Sejauh mungkin menghindarkan distorsi dan ekses negatif yang bersifat kontra produktif.

Ketiga, otonomi daerah dalam jangka panjang harus mampu mewujudkan ketahanan daerah dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan dalam rangka mewujudkan ketahanan nasiona.

Keempat, ketiga hal tersebut dilaksanakan dalam wadah NKRI, harus mampu memantapkan desentralisasi, demokratisasi dan good governance dalam semangat persatuan dan kesatuan nasional.

Apabila keempat koridor tersebut dihormati, ada contoh yang mampu menggambarkan konsistensi menghormati koridor di atas, khususnya yang menyangkut mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Secara substantif dapat dibaca pada Pasal 19 ayat (1) huruf G yang berbunyi, DPRD mempunyai hak menentukan anggaran belanja DPRD. Hal ini jangan ditelan mentah bahwa dewan boleh mengatur anggarannya secara parsial dan lokal menurut kepentingannya.

Sepanjang memperhatikan keempat koridor di atas, substansi pengelolaan keuangan daerah, seharusnya diatur berdasarkan prinsip universal. Artinya, diatur sesuai azas keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi, kewajaran, keadilan dan penegakan hukum.

Mudah-mudahan penyelenggara negara di daerah tidak berlomba-lomba dengan membabi buta mencari pendapatan asli daerah yang bisa berakibat membebani masyarakat dan sumber daya alam. Juga secara psikologis melegalkan ikut menikmatinya juga dengan membabi buta karena merasa yang mencari.

Apabila hal ini tidak terjadi, maka rakyat sejahtera lahir dan batin, sama sekali tidak memindahkan korupsi dari pusat ke daerah. Semoga. (18)(-Pudjo Rahayu Rizan, praktisi kehumasan di Pemprov Jawa Tengah, Mahasiswa S2 Magister Administrasi Publik Undip)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, Selasa, 21 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan