Memilih Wakil Uang?

Sudah menjadi pengetahuan umum, sejak Pemilu 1999 terjadi pergeseran korupsi pemilu, dari manipulasi pemilihan yang menonjol pada masa Orde Baru ke mobilisasi pemilih lewat politik uang seiring perubahan sistem dan penyelenggaraan pemilu.

Pada masa lalu retail strategy melalui distribusi dana publik ke basis pemilih juga dilakukan guna memenangkan Golkar.

Pada Pemilu 1992 yang menonjol adalah kecurangan penghitungan suara (43,2 persen), intimidasi untuk memilih Golkar (29,9 persen), dan penyoblosan ilegal (17,7 persen) (Irwan dan Edriana, 1995 ). Pada Pemilu 2004, pembayaran uang langsung (51,3 persen), pembagian barang mewah lewat undian (14,2 persen), dan pengadaan acara bakti sosial (12,4 persen) (ICW, 2007).

”Pork barrel”
Bagaimana Pemilu 2009? Mungkin tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya karena tidak ada faktor yang berubah secara signifikan dari perilaku partai, kandidat, pemilih, dan aturan pemilu. Maka, tidak salah jika ada pengamat politik mengatakan, partai dan kandidat yang memiliki dana tebal berpeluang amat besar memenangi pemilu. Meski Jacobson (1983) menyebutkan, uang bukan satu-satunya faktor kemenangan pemilu.

Frederic Charles Schaffer (2007) mengatakan, politik uang merupakan fenomena umum dalam pemilu yang kompetitif (popular election). Untuk Indonesia, yang sebagian besar partai didirikan kaum elite, mungkin fenomena politik uang juga disebabkan reputasi diri, ideologi, atau platform program yang ditawarkan partai dan kandidat tidak cukup memadai untuk menarik simpati pemilih.

Karena itu, cara-cara mobilisasi pemilih yang lazim lewat strategi ”programatik”, seperti kebijakan alokasi (allocational policies), dalam bentuk tawaran program populis, seperti jaminan sosial bagi orang miskin dan pengangguran, atau pemotongan pajak bagi kalangan menengah atas, serta asuransi kesehatan bagi orang tua, kurang menarik bagi parpol dan kandidat guna menarik simpati pemilih.

Strategi pengayoman (clientelist) untuk mencari dukungan dana politik berdampingan dengan pembelian suara (vote buying) tampaknya menemukan tempat dalam kondisi pemilih yang sebagian besar dapat digolongkan sebagai pemilih irasional, yang preferensi politiknya lebih mengharapkan pemberian pribadi tunai atau proyek daripada kebijakan umum yang baik. Maka, tidak heran jika partai politik berideologi tertentu harus kompromi dengan realitas itu.

Menjelang Pemilu 2009, yang perlu dikhawatirkan adalah kecenderungan pengalihan program-program pemerintah untuk kepentingan kampanye atau menjaring pemilih di basis konstituen dari politisi yang sedang berkuasa (pork barrel). Akhir- akhir ini, dalam kampanye Pemilu 2009, terindikasi beberapa anggota kabinet getol mengiklankan pencapaian kinerja program- program kerja di departemennya melalui media. Bahkan, ada program dialog di televisi yang dilakukan sang menteri.

Pada APBN 2009, ada banyak alokasi belanja sosial di hampir semua departemen yang dapat dijadikan sumber dana guna memperluas basis pemilih pada Pemilu 2009. Analisis tim ICW, alokasi belanja sosial dalam APBN 2009 sebesar Rp 64,78 triliun merupakan alokasi belanja terbesar. Karena itu, perlu ada upaya agar alokasi belanja sosial itu dilaksanakan setelah Pemilu 2009 usai.

Penyelewengan dana publik ini sulit diawasi, bukan saja karena kelemahan dalam sistem audit keuangan negara, tetapi perlu juga dicatat aturan dan manajemen pengawasan sumber dana politik (partai dan kampanye) masih amat lemah. Sementara pergeseran pendanaan kampanye dari partai ke kandidat juga kian menyulitkan akuntabilitas pengelolaan keuangan kampanye karena pencatatan sumber pendanaan dan belanja kampanye menjadi sulit dikontrol. Maka, yang mendesak dilakukan adalah penyederhanaan pemilu legislatif dan eksekutif secara serentak.

Pemburu rente
Fenomena ini mungkin akan menimbulkan tekanan terhadap kebutuhan dana politik yang besar sehingga hubungan politik dan bisnis kian kuat. Ini berarti fenomena state capture, di mana berbagai kelompok kepentingan bisnis kian jauh memengaruhi kebijakan ekonomi dan keuangan pemerintah akan tetap menonjol, baik di pusat maupun daerah.

Dan ini berarti mobilisasi politik lebih digerakkan entitas pemburu rente, kepentingan oligarki elite, dan mereka yang serakah kekuasaan politik dan ekonomi, bukan oleh mereka yang punya gagasan memadai dan dedikasi untuk membangun masyarakat Indonesia yang ideal.

Celakanya dalam konotasi dunia politik yang telanjur dicap kotor ini, orang-orang yang potensial enggan memasuki dunia politik. Pendeknya, korupsi politik akan kian meluas saat dana-dana politik bersumber dari dana korupsi.

Akar persoalan ini memang tidak bisa didistorsi solusinya pada pengaturan dana politik semata. Ini refleksi dari fondasi demokrasi di negeri yang belum cukup kuat melahirkan pemimpin bangsa dan negara yang ideal. Kenyataan politik yang berkembang di Tanah Air belakangan ini, jurang antara kaya dan miskin di masyarakat kini amat tajam dan berbagai kelembagaan masyarakat tidak mandiri. Kita saksikan sistem demokrasi liberal akhirnya menjadi kendaraan para elite untuk berkuasa secara politik dan ekonomi.

Ide pengalihan kekuasaan politik kepada rakyat biasa, seperti dikampanyekan para aktivis pengikut aliran demokrasi derivatif, mungkin layak diwacanakan. Namun, jika para pemimpin politik tidak menyadari ada masalah besar mengenai representasi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi kita, dan merasa cukup menggunakan fatwa agama untuk mengharamkan golput, rasanya akan kian berlipat jumlah orang yang percaya bahwa tidur siang yang paling nikmat adalah saat pencoblosan, seperti kata penyair Acep Zamzam Noer.

Teten Masduki Aktivis Antikorupsi

Tulisan disalin dari Kompas, 23 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan