Memikirkan Ketamakan

KORUPSI yang merisaukan Indonesia hari-hari ini mengancam tiap manusia Indonesia sebab bersangkut paut dengan ketamakan, yaitu nafsu tak kunjung habis akan pemilikan. Meski sama-sama nista, korupsi dan ketamakan berbeda hakikat. Korupsi itu tindak kriminal, bisa diusut hukum positif. Ketamakan cuma nafsu, bukan laku, tak bisa langsung dijerat hukum sebab ia sepenuhnya ”iman” dan moral pribadi yang salah satu unsurnya terpenting adalah hati nurani pribadi pula.

Juga nyatanya, ketamakan itu entitas abstrak. Ia tidak bisa berdiri sendiri. Ketamakan cuma abstraksi tentang sikap atas pemilikan pribadi akan kekayaan. Memahami ketamakan harus lewat pemahaman pemilikan pribadi.Teori-teori tentang pemilikan pribadi berlimpah. Yang terpenting bagi orang-orang kaya —ketamakan lebih mudah menyangkut orang kaya ketimbang orang miskin—  menyangkut enam wacana.

Pertama; pemilikan pribadi atas kekayaan, termasuk benda-benda alam semisal tanah, berasal dari tuntutan alam tempat manusia hidup. Demi kelestariannya, alam memiliki kebutuhan, tata aturan, dan kecenderungan sendiri. Bila tidak dipenuhi, alam akan rusak. Itulah hukum alam yang berlaku sejak purbakala sampai kini saat manusia hidup dan menyadari keberlangsungan hidupnya hanya berkat alam.

Kedua; pemilikan pribadi akan benda-benda alam —semisal tanah— adalah bikinan, tidak alamiah, tak pernah ada dengan sendirinya. Pemilikan pribadi ini baru dikenal setelah manusia hirau dan menghidupi peradaban, yakni untuk menjaga tatanan kehidupan sebab hukum alam, tertib individu, dan sosial membutuhkan hal tersebut. Pemilikan pribadi berarti tiap orang berhak menguasai dan membudidayakan alam, misalnya tanah tempatnya hidup, jika dia mampu dan tepat melakukannya.

Ketiga; tak seorang pun hanya berdasar klaim sendiri bisa mengatakan: ini tanahku. Awalnya semua benda alam tak punya pemilik pasti. Namun ketika pemilikan dan pengelolaan suatu bagian alam oleh pribadi-pribadi tertentu diperlukan maka diperlukan pula sejumlah bukti yang bisa menjadi dasar pemilikan dan pengelolaan tersebut.
Keempat; keabsahan pemilikan pribadi sebagai hak terjadi jika penguasaan dan pengurusan atas kekayaan bagian alam dilakukan dengan baik dan benar, yang salah satu tandanya adalah tidak melanggar hukum. Sebab manusia makhluk sosial maka segala hak yang ”jatuh” kepadanya tunduk pada tuntutan kesejahteraan umum yang ditentukan dalam undang-undang.

Persoalan Moral
Kelima; distribusi persebaran pemilikan bukan sama dan berlaku abadi di semua tempat, namun aturan main sepenuhnya diberikan kepada kebebasan manusia. Batas antara pemilikan pribadi dan pemilikan publik berubah dari zaman ke zaman. Peradaban makin maju membuat hal ikhwal pemilikan menjadi makin penting.
Keenam; hati-hati terhadap sikap moral yang mengatakan: pemilikan pribadi yang berlimpah memang diperlukan demi melestarikan dan memperbaiki posisi sosial kepemilikan. Dengan sikap itu, pihak terkait selalu bisa mengaku tidak mempunyai pemilikan yang berlebihan untuk menutupi ketamakannya. Sikap moral yang baik dan benar adalah kelimpah-ruahan pemilikan pribadi mengikat sang pemilik untuk membantu semua kaum miskin yang membutuhkan, setaraf apapun kemiskinan itu dan apapun kebutuhan si miskin itu.

Ikutan dari enam wacana itu mengantar kita pada dua masalah moral penting. Pertama; meski ketamakan bisa mengenai siapapun, agaknya kaum kaya akan lebih rentan di hadapan ketamakan sebab mempunyai sarana dan jalan untuk melaksanakan hal tersebut yang sama sekali tidak dimiliki kaum miskin.

Kedua; ketamakan adalah tentang bagaimana bersikap dan berbuat sehingga manusia terperosok ke babon nista sebagai biang aneka nista ”kecil” lain dalam perilakunya. Celakanya bagi tertib peradaban, umumnya ketamakan menyelubungi diri dengan ini itu yang seolah-olah mengatasnamakan keutamaan, muncul dalam 1.001 bentuk, yang tidak mudah dicegah dan ditindak oleh tatanan hukum karena keberlaksanaan wujud sospolekbud masih dalam mekanisme peradaban bertaraf rendah.

Di negara-negara berperadaban tinggi,  tatanan hukum positif dalam mengatur pemilikan pribadi bermekanisme canggih, semisal lewat landreform, pajak progresif radikal, dan sebagainya,  sehingga orang ”kapok” jadi kaya yang secara tidak langsung akan membatasi ketamakan-ketamakan yang tak terkendali. (10)
 
L Murbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban, tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan