Memerkarakan Biaya Perkara

Departemen Keuangan melansir 260 rekening liar dari berbagai departemen dan lembaga negara. Rekening itu tersebar di Mahkamah Agung 102 rekening, Departemen Hukum dan HAM 66 rekening, Departemen Dalam Negeri 36 rekening, Departemen Pertanian 32 rekening, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 21 rekening, dan Badan Pelaksana Migas 2 rekening. Departemen dan lembaga tersebut dinilai tidak transparan dan tidak dapat menjelaskan status rekening-rekening itu.

Disebut "rekening liar" karena rekening tersebut digunakan untuk menyimpan uang negara dan menampung sejumlah penerimaan negara, tetapi tidak disetor ke kas negara.

Selain itu, rekening tersebut tidak pernah dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara. Penggunaannya pun bermacam-macam. Ada yang dipakai untuk menyimpan pungutan tak resmi atau dana nonbujeter, biasanya menjadi dana taktis yang peruntukannya sering tidak sesuai dengan fungsi departemen atau lembaga negara tersebut.

Sebelumnya, Departemen Keuangan melansir temuan rekening yang tidak dilaporkan atau liar versi audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2006. Jumlahnya 2.396 rekening senilai Rp 2,7 triliun. Sedangkan total rekening liar sejak 2004, yang ditemukan 5.591 rekening senilai Rp 20 trilun.

Walaupun sudah terjadi sejak zaman Orde Baru, keberadaan rekening liar yang diduga berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan negara tersebut belum dapat ditertibkan. Kali ini Depkeu meminta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) meneliti 260 rekening liar senilai Rp 314,2 miliar dan US$ 1,1 juta.

Biaya Perkara
Dalam laporan Depkeu ke KPK, MA merupakan lembaga yang mempunyai rekening liar paling banyak, yakni mencapai 102 rekening. Data sementara, KPK menemukan bahwa rekening liar di beberapa departemen dan lembaga negara tersebut dibuka dengan nama yang bervariasi. Mulai jabatan, nama pribadi, bahkan nama proyek. Namun, di institusi MA, dari 102 rekening liar itu, justru sebagian besar atas nama pribadi.

Praktik penggunaan rekening liar tersebut jelas merupakan pelanggaran hukum. Pejabat tidak dibenarkan mengumpulkan dana tanpa menyetorkannya ke kas negara. Hal ini jelas melanggar UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa setiap penerimaan negara harus dilaporkan kepada bendahara negara dalam hal ini Menteri Keuangan.

Tak dapat dihindarkan, penyelidikan KPK di MA akhirnya menyentuh masalah biaya perkara yang sempat menjadi pemicu konflik antara MA dan BPK pada rentang 2005-2007.

Penyelidikan KPK terhadap pengelolaan biaya perkara di MA sebenarnya dimulai sejak pertengahan 2007. Bermula dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menemukan adanya biaya perkara Rp 31,1 miliar pada 2005-2007 yang tak jelas pengelolaannya. Angka sebesar itu diperoleh ICW dari penghitungan terhadap jumlah perkara yang masuk ke MA berdasarkan laporan tahunan MA 2005-2007.

Diduga kuat terjadi penyimpangan pengelolaan biaya perkara ini. Ada sejumlah uang yang sangat besar mengalir atas nama biaya perkara yang dipungut pada setiap perkara tertentu. Ribuan perkara per tahun yang masuk tersebut memiliki bilangan angka tersendiri berdasarkan jenis perkaranya yang harus dibayarkan kepada MA. Sebagaimana dijelaskan MA, jumlah biaya perkara tersebut berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 5 juta.

Indikasi korupsi semakin kuat manakala MA menolak BPK mengaudit biaya perkara. Akibatnya, setiap tahun MA selalu mendapatkan predikat disclaimer dari BPK.

Padahal, penilaian disclaimer sebetulnya sangat memalukan karena berarti MA dianggap tak sanggup mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Hasil pemeriksaan BPK itu juga mengindikasikan kemungkinan korupsi masih merajalela di lingkungan peradilan.

Karena itulah, upaya KPK patut didukung. Penegakan hukum antikorupsi harus dilaksanakan jika rekening-rekening liar tersebut terindikasi menampung dana haram. Secara ketatanegaraan, KPK lebih tepat membongkar kasus ini karena KPK merupakan lembaga independen dan tidak berada di bawah kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) mana pun.

Selain itu, KPK telah membuktikan kemampuannya dalam mengusut aliran dana "liar" di beberapa departemen, BUMN, swasta, dan pemerintah daerah. Misalnya, korupsi aliran dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan yang akhirnya menyeret mantan Menteri Rokhmin Dahuri.

Apalagi, mengingat salah satu tujuan utama mengapa KPK dibentuk adalah untuk memberantas korupsi di lembaga peradilan (judicial coruption). Jika KPK berani, tinggal menunggu waktu, korupsi biaya perkara di MA akan terkuak dan semakin memerosotkan citra lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.

Oce Madril, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi, Fakultas Hukum, UGM saat ini sedang menempuh Master Program, Law and Governance Studies di Nagoya University, Jepang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 Januari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan