Memelihara Eksistensi dan Gigi KPK
Pekan lalu, panitia seleksi pimpinan KPK menetapkan sepuluh nama yang disampaikan kepada presiden untuk diteruskan ke DPR agar dipilih lima nama pimpinan baru.
Ada sorotan tajam dan ketidakpuasan atas nama-nama yang dumumkan panitia seleksi tersebut. Maklum, dengan segala kritiknya, masyarakat tetap berharap agar KPK dapat eksis dengan gigi yang lebih kuat.
Mereka yang menyoroti nama-nama itu pada umumnya khawatir kinerja KPK merosot, misalnya, karena diisi orang-orang yang rekam jejaknya tidak bersih. Ada juga kekhawatiran KPK akan makin tebang pilih.
Padahal, soal tebang pilih yang diributkan selama ini dapat dipahami, meski memang tidak harus disetujui. Ia harus dipahami sebagai minus malum alias pilihan yang jelek dari yang lebih jelek, tapi sulit dihindari.
Bayangkan saja, sampai Nopember 2006, laporan dugaan korupsi yang masuk ke KPK 160.000 kasus. Di antara 160.000 kasus itu, 10 persen (16.000 kasus) dinyatakan layak untuk ditindaklanjuti karena didukung bukti-bukti awal yang cukup.
Tetapi, kapasitas KPK hanya mampu membawa 25 kasus ke pengadilan setiap tahun. Jadi, kalau kasus-kasus tersebut tidak ditebang dan dipilih sesuai dengan kapasitas KPK, itu tentu tidak mungkin.
Serangan atas KPK
Harapan agar KPK tetap eksis dengan giginya yang semakin kuat itu wajar. Sebab, seperti yang saya kemukakan di Jawa Pos (10/9), KPK telah menggiriskan banyak orang dan memberi sedikit kepuasan atas gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, bersamaan dengan itu, ada pula yang ingin melenyapkannya dengan berbagai alasan dan cara.
Karena sepak terjangnya yang menggiriskan, berkali-kali KPK mendapat serangan agar bubar atau dibubarkan. Taufiequrrahman Ruki menyebut serangan atas diri dan lembaga yang dipimpinnya itu sebagai corruptors fight back (serangan balik para koruptor).
Ruki tidak berlebihan. Sebab, sampai dengan pertengahan 2006, UU tentang KPK itu sudah digugat konstitusionalitasnya melalui permintaan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak kurang dari tujuh kali. Ada yang minta KPK dinyatakan inkonstitusional karena mengacaukan sistem ketatanegaraan, ada yang menggugat kewenangan KPK yang luar biasa sehingga menjadi superbody yang dengan seenaknya bisa melanggar HAM, menyadap pembicaraan, menjebak penyuap, dan sebagainya.
Tetapi, putusan MK selalu menegaskan bahwa keberadaan KPK dengan segala posisi ketatangeraan dan kewenangannya adalah konstitusional, sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Memang ada satu putusan MK tentang keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang merupakan pasangan KPK untuk mengadili para koruptor yang dibatalkan. Melalui putusan No 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2007, MK menyatakan, keberadaan pengadilan tipikor inkonstitusional karena dibuat berdasar pasal 53 UU KPK, padahal seharusnya dibuat (langsung) berdasar konstitusi.
Karena itu, MK memberi waktu tiga tahun agar dasar pembentukan pengadilan tipikor diperbaiki supaya lebih konstitusional. Konstitusionalitas KPK sendiri tak diragukan.
Saat ini, RUU tentang Pengadilan Tipikor hampir rampung, malah menurut pemberitaan pers (edisi 7/9), Ketua Tim Penyerasi RUU Pengadilan Tipikor Romli Atmasasmita menyebutkan adanya gagasan dimasukkannya perintah pembentukan pengadilan tipikor di tiap provinsi di dalam RUU tersebut.
Ancaman Legislative Review
Upaya menghantam KPK bukan hanya datang dari para koruptor atau terduga koruptor melalui gugatan judicial review ke MK, tetapi muncul juga dari politisi. Sejak setahun lalu, ada yang mengajak saya untuk mendukung pembubaran KPK melalui legislative review, yakni pencabutan UU KPK oleh DPR. Alasannya, kita sudah mempunyai kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan biasa yang perlu diberdayakan melalui sistem ketatanegaraan yang normal.
Tampaknya, banyak pejabat negara yang gerah terhadap KPK karena selalu didesak untuk melaporkan harta kekayaan sesuai dengan perintah UU, terutama mereka yang kekayaannya tiba-tiba melampaui akumulasi gajinya, misalnya sebagai anggota DPR.
Mungkin juga ada beberapa anggota DPR yang gerah karena lembaga itu berani mengusik pimpinan partainya yang dipanggil ke KPK karena indikasi korupsi atau gratifikasi. Tetapi, kita harus menolak keras usul pembubaran KPK itu. Sebab, saat ini, negara kita masih memerlukan lembaga yang harus menghadapi kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Bagi saya, KPK harus tetap dipertahankan, bahkan diberi tambahan amunisi agar menjadi lebih galak. Toh, lembaga itu sangat konstitusional.
Kekurangan yang selama ini ada, seperti eksesivitas dalam mewajibkan pejabat membuat laporan kekayaan dengan keharusan menandatangani surat-surat yang tidak diharuskan UU, dapat diperbaiki bersama. Pada saatnya kelak, KPK memang harus bubar. Penanganan korupsi harus diserahkan sepenuhnya kepada institusi-institusi ketatanegaraan yang normal-konvensional. Tetapi, untuk saat ini sampai 15 tahun ke depan, KPK masih sangat diperlukan.
Kejaksaan di bawah pimpinan Hendarman dan kepolisian di bawah pimpinan Sutanto memang mulai membaik dan siap untuk menangani kasus-kasus korupsi, tetapi itu barulah tahap awal yang belum bisa diandalkan. Karena penyakitnya yang kronis, mungkin kejaksaan dan kepolisian baru akan agak sembuh setelah lima belas tahun dari sekarang. Saat itulah, kita dapat membubarkan KPK dan memercayakan penggiringan korupsi ke pengadilan pada kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Kita berharap Ruki benar. Kita harus optimistis, calon pimpinan KPK yang sebentar lagi akan diseleksi DPR, setelah pekan lalu diumumkan panitia seleksi di tingkat eksekutif, dapat menghasilkan pimpinan KPK yang tak kalah galak dan prestasinya dibandingkan dengan yang telah dipersembahkan Ruki dan kawan-kawan.
Moh. Mahfud M.D., guru besar FH-UII Jogjakarta dan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 September 2007