Memecat Pejabat dan Politisi Busuk Ala Thailand
Teten Masduki ? Koordinator ICW
Andai di Thailand, barangkali Pak Akbar Tanjung tidak akan bisa terus menerus ?berakrobat? untuk bertahan sebagai Ketua DPR meskipun sudah ada putusan pengadilan Negeri dan Tinggi yang telah memvonisnya bersalah. Atau Jaksa Agung MA Rahman tidak mungkin bisa terus menjabat kendati KPKPN sudah melaporkannya ke polisi.
Sebab di bawah Konstitusi Thailand yang baru (1997) ada mekanisme akuntabilitas publik bagi mereka yang menduduki jabatan politik dan pejabat tinggi yang diatur secara luar biasa (extra ordinary). Selain bisa dengan mudah dicopot dari jabatannya, juga ada proses peradilan khusus (satu tahap) untuk pejabat tinggi atau politik yang korup. Pendek kata, di bawah konstitusi baru secara legal framework ada kemudahan penangan korupsi kelas kakap.
Perubahan radikal itu merupakan bagian gerakan sosial reformasi konstitusi, yang selama lima tahun sejak awal tahun 1990-an terus berjuang untuk mengakhiri sistem pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Selama 60 tahun di bawah pemerintahan otoriter, ditandai dengan korupsi yang merajalela dan sistem perencanaan terpusat yang mengabaikan partisipasi masyarakat dan kepentingan kebijakan publik. Sistem hukum dan perundang-undangan yang berlaku saat itu sudah menjadi alat kekuasaan pemerintah yang dahsyat untuk mengatur dan merepresi masyarakat. (Klein, 1998)
Petisi Rakyat dan Pengadilan Khusus
Pemecatan terhadap pejabat tinggi atau mereka yang menduduki jabatan politik bisa dilakukan bila dianggap telah menyelewengkan jabatan atau melanggar hukum, atau memiliki kekayaan yang tidak wajar (unusual wealth). Tidak hanya dicopot dari jabatannya, mereka juga dilarang menduduki jabatan politik atau pemerintahan apa pun untuk lima tahun mendatang. Mereka yang bisa dicopot dengan alasan tersebut meliputi Perdana Menteri, menteri, anggota parlemen, ketua MA, ketua Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, anggota Komisi Konstitusi, anggota KPU, BPK, Ombudsman, hakim, jaksa dan pejabat tinggi birokrasi lainnya.
Pemecatan terhadap mereka bisa diajukan sekurang-kurangnya oleh seperempat anggota DPR atau oleh 50.000 orang pemilih (voters) kepada Ketua Senat. Khusus usulan pemecatan terhadap anggota senat bisa dilakukan sedikitnya oleh seperempat anggota Senat. Di sana berlaku sistem dua kamar, yang terdiri dari 500 orang anggota DPR dan 200 orang anggota Senat. Anggota DPR dipilih 100 orang melalui sistem pemilu proporsional dan 400 orang dipilih berdasarkan sistem distrik. Anggota Senat dipilih langsung oleh rakyat.
Ketua Senat lalu meneruskan pengajuan pemecatan tersebut kepada NCCC (National Counter Corruption Commission), sebuah komisi antikorupsi independen yang dibentuk pada 25 April 1999 untuk diinvestigasi tanpa boleh ditunda. Jika NCCC menemukan bukti yang signifikan bisa mengajukan pemberhentian tertuduh dari jabatannya ke Ketua Senat. Keputusan Senat dapat diambil sedikitnya oleh tiga per lima jumlah anggota. Bila senat sedang reses, maka Ketua senat harus lapor ke Ketua MPR untuk mengajukan usulan sidang istimewa ke Raja.
Tapi secara bersamaan NCCC juga bisa melimpahkan kasus kriminalnya ke Jaksa Agung (Prosecutor General) untuk dituntut ke Justices Criminal Division di Mahkamah Agung (MA). Dalam bekerjanya NCCC dan Jaksa Agung bisa membuat komite bersama untuk menyidik kasus tersebut. Tapi NCCC juga bisa langsung menuntut ke MA atau menunjuk advokat atas nama NCCC.
Keputusan MA bersifat final, tidak bisa dibanding atau kasasi. Di sinilah kekhususan sistem penuntutan dan peradilan pidana korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan politik. Berbeda dengan kasus-kasus korupsi biasa ditangani melalui melalui pengadilan bertingkat yang memakan waktu relatif lama, seperti halnya di Indonesia.
Sistem peradilan baru itu dinilai oleh banyak kalangan LSM sangat revolusioner dan dibutuhkan oleh Thailand sebagai jalan untuk melakukan reformasi politik. Menurut Professor Dr. Amara Raksasataya dari Universitas Chulalongkorn, ketika berdiskusi dengan penulis, kekhususan sistem peradilan itu karena semata-mata didasarkan bahwa usia jabatan pejabat tinggi atau politisi itu pendek, dan mereka memiliki hak-hak istmewa mengatasnamakan publik, sehingga membutuhkan proses peradilan yang pendek dan istimewa pula supaya proses peradilan sejalan dengan mekanisme rekrutmen politik.
Laporan Kekayaan
Satu hal yang signifikan mempermudah proses pemecatan atau hukuk terhadap pejabat dan politisi busuk adalah sistem pembuktian terbalik murni dalam pemeriksaan kekayaan pejabat. Konstitusi 1997 mewajibkan kepada pejabat tinggi atau birokrat senior dan mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik untuk menyampaikan laporan kekayaan kepada NCCC. Laporan itu tidak saja menyangkut harta dirinya, juga istri dan anaknya.
Yang istimewa penuntutan NCCC bisa dilakukan semata-mata karena didasarkan pada kekayaannya yang dianggap tidak wajar. Tanpa ada kewajiban bagi NCCC untuk membuktikan di pengadilan adanya dugaan pelanggaran hukum atau suap atas asal-usul kekayaan yang tidak wajar tersebut. Kewajiban membuktikan asal usul kekayaan itu ada pada si terdakwa.
Laporan kekayaan pejabat yang dibuat NCCC boleh diakses oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi. Konstitusi mereka memang menjamin hak kebebasan masyarakat untuk mengakses dan memperoleh informasi publik.
Sekedar contoh, salah seorang politisi paling berpengaruh di Thailand, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Sekjen Partai Demokrat Mayor Jenderal Sanan Kachornprasat diajukan ke NCCC oleh sebuah LSM kecil bernama People?s Liberty Protection Group yang mencium adanya pemalsuan laporan kekayaannya. Dalam kasus ini Sanan mengakui telah menerima tiga buah perjanjian kredit sebesar 45 juta bath selama tahun 1997 dari AAS (Auto Service Co.), sebuah perusahaan penyewaan kendaraan untuk membeli tanah sebagai investasi. Dalam penyelidikannya, NCCC menemukan kredit itu tidak tercatat dalam pembukuan AAS. Walaupun NCCC tidak dapat membuktikan aliran dana tersebut ke rekening koran Sanan, mereka sepakat bahwa Sanan telah melakukan pemalsuan laporan. Oleh kalangan LSM dan oposisi Sanan dituduh kredit itu tidak pernah ada dan laporan itu dibuat semata-mata untuk mengalihkan dari harta sesungguhnya.
Akhirnya pada 10 Agustus 2000 Sanan dicopot dari seluruh kedudukan politiknya dan melarangnya untuk terjun ke dunia politik selama kurun waktu lima tahun. Yang menarik di sini, keputusan itu dikeluarkan bukan didasarkan apakah kredit itu nyata atau tidak, melainkan semata-mata menganggap dokumen yang diberikan oleh Sanan tidak mendukung kebenaran atas kredit itu. Kasus ini kini sedang bergulir ke pengadilan pidana guna menentukan apakah kredit tersebut benar-benar ada, dan bila ternyata tidak, Sanan akan dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan terancam menghadapi hukuman penjara.
Menguatkan Gerakan Sosial Antikorupsi
Reformasi Konstistusi 1997, yang dinilai kalangan ahli sebagai Konstitusi terbaik di Asia dan sering dijuluki konstitusi rakyat, menurut Profesor Pasuk Phongpaichit, dari Universitas Chulalongkorn, memberikan ruang bagi gerakan sosial antikorupsi. Kampanye antikorupsi di Kantor Menteri Kesehatan pada tahun 1998-1999 adalah contoh yang bagus begaimana gerakan sosial antikorupsi di bawah Konstitusi baru. Hasil dari kampanye ini, seorang menteri Rakkiat Sukthana dan asistennya Theerawat Siriwannsasn harus mundur dan dipenjarakan, dan 23 pegawai diberi tindakan karena dianggap melanggar kode etik.
Kasus itu bermula ketika pada Juni 1998 pejabat senior di kantor Menteri Kesehataan diduga melakukan penggelembungan anggaran untuk pengadaan obat-obatan dan sarana medis bagi masyarakat berpendapatan rendah dengan harga yang tinggi. Tapi upaya itu ditolak oleh Ketua Rural Doctor Society (RDS), semacam Puskesmas di sini, dan meminta semua rumah sakit di tingkat distrik mengembalikan uang kepada pemerintah dan melaporkan kasus ini ke komisi antikorupsi dan BPK untuk dilakukan investigasi.
Kampanye RDS didukung oleh 30 LSM dan universitas, yang menekan pemerintah untuk membongkar skandal kesehatan ini. Mereka berhasil mengumpulkan 50.000 tandatangan warga dan meminta Senat untuk melakukan investigasi terhadap Menteri Kesehatan dan asistennya. Dalam waktu bersamaan LSM juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi para dokter RDS. Dibawah tekanan media, Rakkiat akhirnya mengundurkan diri pada 15 Sepetember 1998, tetapi asisten menteri menolaknya. Tetapi akhirnya atas tekanan LSM dan RDS dan didukung oleh media akhirnya asisten menteri itu, keluar dari kantor kementrian. Tahun 1999, NCCC melakukan pemeriksaan ulang terhadap kekayaan Rakkiat dan Theerawat. Dan pada 13 Sepetember 2000, NCCC menuduh Rakkiat memiliki unusual wealth sebanyak US$ 5.2 juta dan membawa kasusnya ke Sena dan juga bersamaan ke MA, dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara dan dilarang menduduki jabatan politik untuk lima tahun ke depan.
Memang tidak semua berjalan mulus. Dalam kasus PM Thaksin, misalnya, yang diajukan NCCC, meskipun menurut Profesor Amaral tuduhan NCCC dapat dibuktikan, tetapi karena ada pertimbangan politik tertentu, akhirnya PM Thaksin masih bisa memegang jabatannya.
Menurut Pasuk dan dibenarkan oleh sejumlah aktivis LSM di sana, hambatan nyata bekerjanya kelembagaan antikorupsi baru karena belum sepenuhnya lepas dari pengaruh dan kontrol para politisi, juga diisi oleh pejabat-pejabat lama yang mantan yang dewasa dan membangun karier dalam sistem yang korup, sehinga acap terjadi konflik kepentingan. Namun karena tekanan terus menerus dari media dan LSM, dan ada aturan main yang jelas maka proses reformasi terus berlanjut dan berhasil mencapai kemajuan yang berarti.
Barangkali saat ini Indonesia yang juga tengah menghadapi fenomena korupsi politik yang luar biasa dapat menarik pelajaran dari pengalaman Thailand untuk meningkatkan resiko dan ongkos yang tinggi bagi pejabat tinggi dan politisi yang melakukan abuses of public trust for private gain. Cara-cara konvensional terbukti sudah tidak mempan lagi mengatasi hal itu. Tapi dari pengalaman Thailand menunjukan bahwa semua sistem baru itu implementasinya akan sangat ditentukan oleh sejauhmana Pemilu berhasil memilih elite-elite politik baru yang jujur baik di parlemen maupun pemerintah. Itu hanya mungkin kalau ada kesadaraan di masyarakat untuk tidak memilih partai dan politisi busuk.