Memburu Koruptor Sampai ke Seberang

Perburuan koruptor dan aset korupsi ke luar negeri telah menjadi salah satu agenda pemerintah dalam pemberantasan korupsi sebagai langkah melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Langkah pembentukan tim untuk memburu aset dan tersangka/terpidana di luar negeri merupakan tindakan represif semata-mata. Seharusnya langkah ini tidak perlu terjadi jika sejak 1998 pemimpin nasional dan petinggi hukum memahami benar bahwa kerugian negara karena korupsi telah berbuntut kemiskinan.

Ketentuan mengenai pencegahan larinya aset dan tersangka/terpidana ke luar negeri sudah lengkap dicantumkan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 7/1992 jo UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan, serta diperkuat oleh UU Nomor 15/2002 jo UU Nomor 25/2003.

Penyebab utama tersendat-sendatnya implementasi ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan larinya tersangka/terpidana dan aset hasil korupsi ke luar negeri adalah tidak ada komitmen dan kesungguhan petinggi penegak hukum dan jajarannya untuk secara serius mencegah dan memberantas korupsi, yang diperparah dengan tidak adanya kesepahaman dan koordinasi yang baik antara instansi penegak hukum dan departemen teknis yang berkaitan dengan urusan luar negeri, kehakiman. dan hak asasi manusia untuk segera menemukan solusi mengembalikan tersangka/terpidana dan aset yang berada di luar negeri.

Hal ini bukan isapan jempol karena peristiwa itu sudah terjadi sejak 1999 dan sampai saat ini belum ada hasil maksimal yang dicapai. Contoh tidak seriusnya dan sungguh-sungguhnya petinggi penegak hukum adalah kasus izin berobat ke luar negeri untuk pesakitan yang lalu melarikan diri dan tidak kembali ke Indonesia. Keadaan ini makin kontroversial ketika ada seorang Endin Wahyudin, yang sukarela menjadi saksi pelapor dengan jaminan perlindungan hukum seorang Jaksa Agung, malah menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang sama.

Berhasil-tidaknya perburuan ini sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain kerja sama dan kekompakan antara Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian (NCB-Interpol Indonesia), dan Departemen Luar Negeri. Kekompakan ini terutama membangun visi, misi, dan persepsi yang sama tentang urgensi dan relevansi kerja sama dalam konteks perburuan tersangka/terpidana dan aset hasil korupsi di luar negeri.

Faktor ini tidak boleh diabaikan karena buruknya kinerja birokrasi dalam penegakan hukum, antara lain masih adanya egoisme dan arogansi sektoral dari masing-masing institusi dengan alasan sudah ada batasan tugas dan wewenang berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi sehingga kerja sama lintas institusi oleh siapa pun dianggap sebagai intervensi.

Sedangkan arogansi sektoral muncul dalam konteks kegagalan dari hasil suatu kerja sama. Masing-masing institusi sering lempar atau lepas tanggung jawab sehingga sulit dimintai pertanggungjawabannya atau, sebaliknya, dalam hal sukses masing-masing institusi merasa menjadi pahlawan.

Kebiasaan bersikap seperti ini harus segera dihentikan jika perburuan tersebut hendak mencapai hasil yang memuaskan karena yang dihadapi bukan hanya tersangka/terpidana korupsi dan asetnya, melainkan kedaulatan negara lain dengan sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum Indonesia. Kesamaan pandangan tentang urgensi perburuan ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap hubungan kerja sama luar negeri, baik dalam ekstradisi maupun bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Peranan strategis dalam konteks perburuan ini berada pada Departemen Luar Negeri, karena esensi masalah ekstradisi dan bantuan timbal balik tersebut serta pemulihan aset hasil korupsi tidak semata-mata masalah persinggungan antara hukum nasional dan hukum internasional, tapi juga berkaitan erat dengan masalah kepentingan politik masing-masing negara.

Faktor kedua yang tidak dapat diabaikan adalah pengetahuan mengenai sistem hukum negara lain tempat tersangka/terpidana berada atau tempat aset korupsi disimpan, dilengkapi pengetahuan mengenai hukum pidana internasional. Pengalaman praktek ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam kasus Hendra Rahardja dengan pemerintah Australia dan kasus Hambali dengan pemerintah Thailand atau kasus kesaksian untuk perkara Abu Bakar Ba'asyir dengan pemerintah Malaysia dan Singapura merupakan contoh konkret tidak mudahnya implementasi perjanjian bilateral ekstradisi atau bantuan timbal balik tersebut.

Pemahaman secara komprehensif atas prinsip-prinsip hukum tentang ekstradisi dan bantuan timbal balik disertai ketangguhan diplomasi Departemen Luar Negeri dan perwakilan tetapnya di negara tujuan (custodial state/requesting state) sangat menentukan keberhasilan tim perburuan ini.

Kejelian tim perburuan untuk melihat celah-celah hukum dan memanfaatkan secara optimal ketentuan perjanjian bilateral ekstradisi atau bantuan timbal balik dengan negara tujuan merupakan prasyarat yang menentukan keberhasilan menemukan solusi strategis dalam tim perburuan ini.

Kelihaian diplomasi Departemen Luar Negeri juga diuji ketangguhannya karena permintaan ekstradisi atau bantuan timbal balik dalam hukum internasional tidak selalu harus didahului dengan suatu perjanjian, tapi dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip resiprositas.

Faktor ketiga yang turut menentukan tim perburuan ini adalah sikap proaktif Departemen Luar Negeri, khususnya Perwakilan Tetap RI, untuk membangun kesepahaman dengan pemerintah negara setempat dalam masalah pemberantasan korupsi yang sedang dihadapi Indonesia.

Faktor keempat, sebagai faktor pendukung keberhasilan, adalah persiapan-persiapan yang teliti dan komprehensif atas bahan-bahan hukum tertentu yang diperlukan dalam permohonan ekstradisi atau bantuan timbal balik tersebut serta kepiawaian para ahli dalam tim perburuan ini dalam memberikan tafsir hukum dan analisis hukum atas prinsip-prinsip hukum ekstradisi atau bantuan timbal balik atas dasar kasus per kasus.

Usaha perburuan aset hasil korupsi lebih sulit lagi jika dibandingkan dengan pelaksanaan ekstradisi atau bantuan timbal balik, terlebih lagi jika aset hasil korupsi tersebut sudah lama sekali ditempatkan di negara lain dan sudah diinvestasikan ke dalam proyek-proyek nasional negara setempat. Dalam hal ini, peranan dan bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sangat membantu kelancaran pelacakan aset hasil korupsi di negara lain.

Faktor pembiayaan juga turut menentukan karena persiapan dan pelaksanaan untuk perburuan ini memerlukan anggaran yang besar. Jika Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Anggaran, tidak proaktif membantu tim perburuan ini, mustahil amanat Inpres Nomor 5/2004 dapat dilaksanakan secara efektif.

Langkah terpenting yang harus dilaksanakan oleh pemerintah saat ini untuk mendukung keberhasilan tim perburuan ini, ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi 2003 dan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang telah ditandatangani pada 29 November 2004 oleh enam negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Singapura, harus dijadikan agenda prioritas pembahasan di DPR dan segera disahkan untuk diundang-undangkan

Selain itu, pemerintah hendaknya bekerja sama dengan pemerintah negara tetangga/sahabat dan PBB untuk turut membantu. Pengiriman menteri ke beberapa negara dalam menyelesaikan masalah daftar pengawasan karena soal tindak pidana pencucian uang seharusnya juga secara paralel dilaksanakan dengan perburuan ini.

Namun, untuk mendukung usaha perburuan ini, terutama upaya pemulihan aset negara, sejak saat ini terhadap setiap kasus korupsi harus disusun dakwaan berlapis, yaitu dakwaan melakukan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Keuntungannya, tersangka/terdakwa tidak dapat lolos dari jangkauan hukum nasional dan pemerintah memiliki landasan hukum nasional yang kuat jika bernegosiasi dengan negara lain.

Dakwaan melakukan tindak pidana pencucian uang dinilai lebih efektif keberhasilannya dalam memulihkan aset negara karena UU Nomor 15/2002 juncto UU Nomor 25/2003 sudah memenuhi standar hukum internasional, sehingga tingkat kesulitan untuk melaksanakan kerja sama relatif lebih mudah dibandingkan dengan dakwaan tindak pidana korupsi yang dinilai belum memenuhi standar Konvensi PBB 2003. Keanggotaan PPATK dalam Egmond Group saat ini sangat memiliki nilai tambah dalam pelacakan aset hasil korupsi ke luar negeri, sehingga posisi dan peranan PPATK dalam konteks perburuan ini merupakan pendukung utama keberhasilan pemerintah.(Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan