Membungkam Si 'Peniup Peluit'
Pelempar bola korupsi Komisi Pemilihan Umum yang dijadikan tersangka kasus Dana Abadi Umat.
Namanya melejit saat Khairiansyah Salman, ketika itu auditor Badan Pemeriksa Keuangan, membuka borok di Komisi Pemilihan Umum. Bola panas suap belakangan terus menggelinding dan menjatuhkan para petinggi KPU lewat ketuk palu vonis di pengadilan. Khairi, begitu ia kerap disapa, melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi soal penyuapan yang dilakukan anggota KPU, Mulyana Wira Kusumah. Kepada KPK, Khairi mengaku diiming-imingi uang Rp 300 juta agar hasil audit BPK dalam pengadaan barang dan jasa KPU terlihat tidak bermasalah. Bersama KPK, Khairi menjebak Mulyana di Hotel Ibis, Slipi, Jakarta, pada 8 April lalu.
Sejak itu, roda sejarah berputar dengan cepat. Mulyana dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU Sussongko Suhardjo kemudian menelan pil pahit dengan dakwaan menyuap Khairi. Keduanya dihukum masing-masing 2 tahun 7 bulan dan 2 tahun 6 bulan, plus denda Rp 50 juta, pada 12 September lalu. Sementara proses persidangan berlangsung, teropong penyidikan atas dugaan korupsi di tubuh KPU berlanjut dengan para tersangka lain.
Todung Mulya Lubis, Ketua Transparency International Indonesia, menilai langkah Khairiansyah sebagai whistleblower atau peniup peluit mempunyai dampak sangat signifikan dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Todung menilai langkah Khairiansyah ini bisa menjadi aspirasi bagi warga negara lain untuk memberantas korupsi di lingkungan mereka. Hebatnya, apa yang dilakukan Khairiansyah ini melawan arus, bahkan di dalam institusinya sendiri hujan hujatan mampir di telinganya, termasuk dari Ketua BPK Anwar Nasution.
Dan bola yang digelindingkan Khairiansyah ini dihargai Transparency International, sebuah organisasi nirlaba yang bermarkas di Berlin, Jerman, yang menyerukan gerakan antikorupsi di dunia. Lembaga ini mengganjar Khairiansyah dengan Integrity Award 2005 pada November lalu. Selain itu, Khairiansyah menerima Bushido Award dari Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia di Jepang. Mengomentari penghargaan prestisius ini, bekas bos Khairiansyah, Ketua BPK Anwar Nasution, memandang dengan sinis. Tukang tilap kok mendapat Integrity Award, kata Anwar.
Belakangan, pada 21 Juli 2005, Khairiansyah memilih bercerai dengan BPK. Surat keputusan pemberhentian yang ditandatangani Sekretaris Jenderal BPK diterima Khairiansyah pada 8 September 2005. Mengenai alasan pengunduran dirinya, Khairiansyah mengaku merasa tidak punya kebebasan dalam menjalankan audit investigasi di BPK. Saya ingin lebih bebas berkreasi, kata bekas ketua subtim pemeriksaan investigasi dalam audit pengadaan barang di KPU ini. Selanjutnya, Khairiansyah bergabung di Satuan Antikorupsi Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias pimpinan Kuntoro Mangkusubroto.
Hanya, badai kontroversi seolah tak mau lepas dari Khairi. Kejaksaan menjadikannya tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat Departemen Agama. Salinan surat tanda terima barang bukti Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI Direktorat III yang diperoleh Tempo memperlihatkan bahwa Khairi menerima uang sebesar Rp 39.842.500. Dana itu mengalir dalam rentang waktu 22 Oktober 2002-26 April 2004 dalam bentuk uang Lebaran, uang transpor, dan uang saku. Status tersangka ini membuat Khairiansyah dengan jiwa besar mengembalikan penghargaan Integrity Award serta memilih nonaktif dari Satuan Antikorupsi Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto menyebut penetapan tersangka Khairi bisa menutup masuknya informasi tentang indikasi korupsi. Whistleblower seperti Khairi bisa bungkam karena kasus ini. Efeknya luar biasa kontraproduktif, padahal whistleblower inilah yang ditakuti koruptor, ujar Agung. Sepakat dengan itu, Todung meminta kejaksaan tidak diskriminatif dalam mengusut kasus suap Dana Abadi Umat.
Khairi sendiri berkomentar tenang. Dalam sejarah bangsa kita, tidak ada whistleblower yang sukses dalam proteksi. Baru ngomong sedikit sudah diancam pencemaran nama baik. Tapi semua ini harus saya hadapi, katanya. AGUS HIDAYAT | TEMPO NEWS ROOM
Sumber: Koran Tempo, 27 Desember 2005