Membongkar Mafia Anggaran DPR

Kasus korupsi yang menjerat mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazarudin memiliki pola yang sama dengan kasus dugaan korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Modus yang digunakan, mafia anggaran bergerak sejak proses pembahasan anggaran di Badan Anggaran DPR RI.

Dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Jakabaring Palembang, Nazarudin berperan sebagai fasilitator antara pengusaha dengan Badan Anggaran DPR RI. Nazar menawarkan bantuan kepada sejumlah perusahaan untuk mendapatkan proyek dengan iming-iming mendapat sejumlah fee untuk dibagi bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga. Untuk memuluskan usahanya, Nazar kerap menggunakan pengaruh Partai Demokrat sebagai jaminan. "Sehingga fee untuk proyek ini bisa mencapai 12 persen, lebih tinggi dari lainnya," ungkap Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ade Irawan dalam konferensi pers di sekretariat ICW, Kamis (8/9/2011).

Selain menjadi fasilitator, Nazarudin juga memiliki sejumlah perusahaan yang kerap menggarap proyek-proyek pemerintah. Nazar, juga bergerak menjadi broker untuk membagi proyek pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan yang telah berkawan dengannya.

Praktik bagi-bagi pekerjaan ini telah dimulai bahkan sebelum proyek berjalan. Dalam beberapa kasus, kata Ade, proyek-proyek tertentu sengaja diciptakan untuk dapat dikerjakan oleh perusahaan yang telah memiliki deal khusus dengan oknum pejabat dan anggota Banggar.

Fase kedua, para politisi telah terlebih dahulu mengidentifikasi proyek-proyek besar di lahan basah untuk dikerjakan oleh perusahaan milik Nazarudiin atau perusahaan lain yang difasilitasinya.

Periode kritis terjadinya deal politik adalah saat pembahasan APBN Perubahan (APBN P). Menurut peneliti Korupsi Politik ICW Apung Widadi, singkatnya waktu untuk membahas APBN P menjadikan praktik kongkalikong antara politisi dan pengusaha dapat berjalan tanpa kontrol maksimal. Selain itu, ada ruang-ruang baru yang khusus diciptakan untuk membuat proses penyusunan anggaran berada di luar mekanisme formal.

Permainan anggaran ini, kata Apung, seakan sudah lazim dilakukan di daerah. "Istilah memancing anggaran dengan uang sudah bukan barang baru lagi," ungkap Apung.

Sementara itu, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW menitik beratkan perlunya evaluasi terhadap kewenangan Badan Anggaran DPR. Hal yang tak kalah penting disorot, adalah penguatan kapasitas Kementerian dan Lembaga untuk memetakan kebutuhan serta menyusun rencana strategis. Dari pengamatan Firdaus, selama ini lembaga-lembaga negara serta kementerian cenderung hanya mengikuti program tahunan, tanpa perencanaan matang. Akibatnya, mata anggaran berpotensi disisipi banyak kepentingan. "Bukan karena serta merta keahlian para politisi untuk menilap anggaran, tapi disebabkan juga karena ketidakmampuan kementerian dan Lembaga untuk memetakan kebutuhan dan prioritasnya," pungkas Firdaus. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan