Membongkar Dugaan Korupsi KPU

Penangkapan Mulyana W Kusuma oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyogok auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laksana berita duka di siang bolong. Betapa tidak, Mulyana, selain anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga dosen dan dikenal pejuang kebenaran dan pemikirannya sering dijadikan referensi media massa. Banyak kalangan yang tidak percaya, malahan ada yang menuding penangkapan itu sebagai konspirasi atau jebakan politik untuk melindungi orang besar.

Mulyana tertangkap tangan, kemudian ditahan oleh KPK ketika sedang melakukan penyuapan terhadap salah satu auditor BPK, pada Jumat (8/4) malam di suatu kamar hotel di Jakarta. KPK menetapkan Mulyana sebagai tersangka karena tertangkap tangan memberikan sesuatu kepada pegawai negeri, seperti diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Betulkah ada konspirasi atau jebakan politik dalam penangkapan Mulyana? Pertanyaan ini amat mendasar dan bisa membias dalam upaya pemberantasan korupsi bila hanya sekadar mengacu pada latar belakang Mulyana. Paling tidak ada tiga aspek yang perlu dikaji dari penangkapan itu. Pertama, pemberantasan korupsi selama ini lebih sering dipolitisasi untuk melindungi koruptor kakap agar lepas dari jeratan hukum. Memang inilah sisi negatif bila aspek politik terlibat dalam proses hukum. Tapi saya tidak risau bila koruptor dan konconya diproses hukum dengan sedikit keterlibatan politik daripada dipolitisasi untuk dilindungi.

Pemberantasan korupsi di negeri ini akan terus suram bila setiap menangkap koruptor selalu dituding ada jebakan atau konspirasi politik. Bukankah para koruptor kakap umumnya terkait dengan kekuasaan (pejabat) yang senantiasa punya kaitan dengan dunia politik, sehingga wajar saja bila sang koruptor ditangkap, kemudian ada pihak lain yang diuntungkan secara politis. Kita tidak boleh terjebak dengan soal itu, sebab boleh jadi keanehan pemberantasan korupsi akan muncul dengan versi lain dengan maksud yang sama, kendati dalam modus dan bentuk yang berbeda.

Yang perlu diwaspadai dari penangkapan Mulyana, adalah jangan sampai dikesankan pada publik bahwa ternyata keberadaan lembaga KPU tidak diperlukan lagi karena sama saja dengan lembaga lain yang juga korup.

Sasaran akhirnya dapat bermuara pada pembekuan fungsi KPU yang berujung pada pengambilalihan penyelenggaraan pemilu oleh pemerintah. Akibatnya, ada alasan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang menetapkan KPU penyelenggara pemilu, didesakkan untuk diamendemen kembali. Ini yang perlu dicegah, karena yang diduga melakukan korupsi adalah orangnya, bukan lembaganya (KPU) sehingga fungsi KPU harus tetap dijaga dan dipertahankan.

Kedua, dugaan penyuapan perlu dipersempit apakah karena kepentingan pribadi Mulyana atau kepentingan secara melembaga. Tetapi berdasarkan berita media massa, Mulyana melakukan upaya penyuapan karena diperintah, bahkan uang yang digunakan menyogok atas hasil patungan (Media Indonesia, (11/4). Bila ini yang terjadi, maka semua anggota KPU yang menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden harus diproses hukum. Tidak boleh ada pengecualian dengan menjadikan Mulyana sebagai bemper, misalnya hanya mengusut aspek penyuapannya tanpa membongkar kasus korupsi besar di balik penyuapan.

KPK tidak perlu gentar membongkar dugaan korupsi di KPU. Bukankah KPK memiliki wewenang luar biasa dibandingkan kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan? Kewenangan luar biasa itu tidak boleh disia-siakan, penangkapan dan penahanan Mulyana harus mengarah pada sasaran yang lebih besar dengan mengungkap dugaan korupsi di KPU yang selama ini kurang diberitakan media massa.

Ketiga, dugaan korupsi di KPU sebetulnya sudah dilaporkan pada KPK setelah pemilu presiden putaran pertama oleh koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas. Koalisi LSM menemukan bukti penggelembungan dana pemilu legislatif oleh anggota KPU sebesar Rp605.247 miliar. Ada lima titik yang ditemukan koalisi dalam investigasinya, yaitu pembengkakan biaya distribusi logistik yang menyebabkan kerugian negara Rp176,04 miliar, pengadaan surat suara (Rp56,468 miliar), pengadaan mobil operasional KPUD (Rp2,775 miliar), pengadaan kotak suara (Rp369,277 miliar), dan pengadaan bilik suara (Rp6,2 miliar).

***

Bukti-bukti pengadaan logistik Pemilu 2004 yang diduga digelembungkan itulah yang saat ini sedang diaudit BPK atas permintaan KPK. Bila memang ada jebakan dalam penangkapan Mulyana atas kerja sama auditor BPK dengan Tim Investigasi KPK, tidak perlu dimasalahkan. Hal tersebut merupakan hal biasa dan wajar dalam proses hukum. Untuk mengungkap kasus korupsi yang amat sulit dan berada dalam lingkaran siluman, perlu dilawan dengan cara-cara siluman pula. Yang tidak wajar dan perlu dilawan bila terjadi konspirasi politik untuk melindungi koruptor dan hasil korupsinya.

KPU selama ini memang kurang transparan dalam mengelola uang negara yang digunakan menyelenggarakan pemilu. Padahal, Pasal 3 Ayat (1) UU UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara menegaskan, keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Olehnya itu, KPK harus tampil lebih berani, tegas, tepercaya, dan profesional. Siapa pun yang terkait atas penangkapan Mulyana harus diproses, sebagai pembuktian bahwa KPK memang lembaga yang pantas dipercaya membongkar korupsi.

Publik tidak ingin hukum dan pelaksananya terus kehilangan reputasinya dengan mengalihkan inti persoalan. Saat ada kasus korupsi yang dilaporkan warga masyarakat kepada penegak hukum, siapa pun harus menghormatinya dan menjalaninya, bukan justru menghindarinya atau mengalihkan substansinya. Anggota legislatif, pejabat negara, gubernur, bupati, konglomerat, dosen, tukang becak, termasuk anggota KPU, tidak ada yang kebal di mata hukum. Tidak ada bedanya di mata hukum, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dengan anggota KPU.

KPK tidak boleh terprovokasi kepentingan politik jangka pendek dengan mengorbankan Mulyana seorang. Sebab, boleh jadi Mulyana hanya sekadar aktor yang sengaja dijadikan korban untuk melindungi orang besar. KPK jangan terkontaminasi oleh penanganan korupsi yang hangat-hangat tahi ayam. Heboh di awalnya, tetapi pada akhirnya tenggelam tak tahu rimbanya.

Penangkapan oknum pejabat yang korup tidak boleh selalu dituding mematikan karakter seseorang bila kasusnya tidak dipetieskan, apalagi sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup. Yang diperlukan saat ini bukan lagi instruksi presiden dengan segala seremonialnya, tetapi aksi konkret tanpa memandang status dan kedudukan. Rakyat akan berada di belakang KPK, asal saja proses hukum dilakukan transparan dan siapa pun yang terlibat diproses tanpa pandang status dan jabatan.(Marwan Mas, Pengajar Universitas 45, Makassar)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 13 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan