Membincangkan Modal Sosial (1)

Bila kita lihat keadaan lalu lintas sehari-hari, tampak semrawut, jauh dari keteraturan! Semua pemakai jalan, apakah itu pejalan kaki, pemakai kendaraan pribadi, pengamen jalanan dan pengemis, pedagang kaki lima, pedagang asongan, penarik becak, kendaraan umum, pemakai sepeda, semuanya berperilaku mirip, semaunya sendiri. Tidak mengindahkan aturan berlalu lintas yang baik dan benar. Masing-masing memanifestasikan keegoisannya, tak mau peduli satu sama lain. Sudah dapat kita terka, kemacetan pasti terjadi!

Sumber kemacetan itu, ironisnya, bukan cuma di depan pasar tumpah, pusat perbelanjaan, mal, tetapi juga di jalan-jalan di depan gedung-gedung sekolah. Padahal, selain tempat untuk mengisi dan mengasah otak untuk menambah wawasan pengetahuan dan kemampuan analisis, lembaga pendidikan itu juga merupakan wahana yang mengajarkan dan mendidik tentang kedisiplinan. Namun yang tampak di situ malah ketidaktertiban. Para siswa, mahasiswa, guru, dan dosen atau pengajar, seenaknya sendiri dalam menggunakan jalan. Kemacetan itu berlangsung di sekolah-sekolah yang dikenal favorit, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, seolah-olah depan sekolah-sekolah favorit itu identik dengan ketidaktertiban lalu lintas. Ternyata mereka yang kita kategorikan sebagai kaum terpelajar sama saja dengan warga masyarakat lainnya, tidak mau peduli, egois, serta jauh dari menunjukkan sikap yang berdisiplin.

Sesungguhnya, ketidaktertiban itu tidak hanya tampak di jalan-jalan raya. Dalam kegiatan keseharian di instansi-instansi pemerintah pun, yang mestinya sebagai institusi publik mengelola hidup bermasyarakat dan bernegara agar tidak kacau, malah dirinya sendiri menunjukkan ketidakteraturan. Banyak di antara pegawai di waktu jam kerja yang mengobrol, membaca koran, jalan-jalan dari satu ruangan ke ruangan lain untuk mencari teman ngobrol, dan bahkan ada juga yang melamun. Di siang hari banyak aparatur dengan seragam khasnya jalan-jalan ke tempat-tempat perbelanjaan atau duduk ngobrol di cafe atau kantin, sementara warga masyarakat yang memerlukan penyelesaian perizinan bagi keperluan mengembangkan usaha, membangun rumah, melanjutkan sekolah, dan mencari pekerjaan dibiarkan menunggu.

Itulah sedikit kasus yang menunjukkan ketidaktertiban, ketidakdisiplinan, dan tidak adanya tanggung jawab dari warga masyarakat sebagai warga negara dan instansi pemerintah sebagai lembaga pelayanan publik. Menurut Kees Van Deek, ketidakteraturan di kantor-kantor pelayanan umum dan di jalanan mengakibatkan hilangnya banyak waktu dan banyak nyawa. Di kantor-kantor pemerintah waktu berharga dihabiskan dengan cara yang tidak produktif dan para pegawai menganggap keuntungan pribadi lebih penting daripada melakukan pekerjaan yang baik dan efisien. Para warga masyarakat, lebih memilih untuk mengabaikan peraturan-peraturan dan tidak memiliki nurani sedikit pun tentang melanggar peraturan-peraturan tersebut. Para pemimpin formal dan informal, yang posisi mereka cukup penting dalam masyarakat paternalistik Indonesia, ternyata juga tidak memberikan contoh yang benar.

Ketidaktertiban, tak adanya upaya penegakan hukum, dan seringnya penyelesaian masalah secara reaktif dan dengan kekerasan, meminjam sindiran Robert Hefner, adalah cermin keseharian dari bangsa Indonesia yang tak beradab. Apakah memang kita tidak memiliki keadaban, egoistis, sering bertindak represif, enggan menghargai orang lain sebagai sesama, dan tidak mau dan mampu berkoordinasi? Apakah dengan tidak adanya konsensus dan kerja sama dalam menegakkan ketertiban, berarti negara-bangsa Indonesia kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki modal sosial (social capital)?

Jaringan horisontal
Pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.

Dalam rumusan Robert D. Putnam, modal sosial menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya diperkuat oleh kemakmuran tersebut.

Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina perantauan (overseas Chinese) melalui apa yang disebut dengan network capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia, mendorong pada kemampuan kompetitif mereka dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga dagangnya. Pendirian perkumpulan satu dialek bahasa dan jaringan keluarganya, siang hwee (kamar dagang), memungkinkan mereka bisa saling membantu dan mempercayai satu sama lain dalam transaksi ekonomi modern tanpa harus melalui lembaga ekonomi formal yang birokratis.

Putnam juga mengajukan contoh mengenai kuatnya modal sosial masyarakat Italia Utara yang sejak berabad-abad lalu memiliki jaringan horisontal di antara kelompok-kelompok masyarakatnya, yang mengembangkan budaya politik yang menekankan pada otonomi, kerja sama, toleransi, dan penghormatan pada hukum, sehingga memungkinkan berkembangnya demokrasi partisipatif dan ketertiban. Sebaliknya, organisasi sosial di Italia Selatan sangat hierarkhis, dengan dominasi dan hegemoni kelompok elite, budaya politiknya berpola atasan-bawahan (clientelistic) dan otoriter, yang dilambangkan dengan penguasaan mafia yang mencolok.

Masyarakat Italia Selatan mengembangkan hubungan sosial yang vertikal, memiliki ketergantungan yang luas pada keluarga, dan kepercayaan sosial pada nonkeluarga yang rendah, karena lembaga-lembaga publik yang ada tidak dapat diandalkan untuk terciptanya rasa keamanan dan perlindungan. Juga ada kecurigaan meluas pada negara dan otoritas yang lebih tinggi. Di sini jaringan sosial vertikal mencakup hubungan-hubungan asimetri dan eksploitasi, yang mendorong pada munculnya ketimpangan sosial-ekonomi dan tindak kekerasan.

James S. Coleman melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok-kelompok perantau di berbagai daerah lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupannya itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan komoditas dan keterampilan tertentu di daerah perantauan.

Sumber modal sosial
Kiranya cukup penting untuk mengetengahkan konsep modal sosial yang diajukan Francis Fukuyama, yang tulisan-tulisannya dianggap kontroversial, tetapi populer, yang menekankan bahwa modal sosial memiliki kontribusi cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan dinamika ekonomi. Dalam konsepsi Fukuyama, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka.

Apabila anggota kelompok mengharapkan anggota-anggotanya berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya organisasi menjadi lebih efisien dan efektif. dalam konteks ini, berarti modal sosial bukan hukum atau aturan formal, tetapi norma informal yang mempromosikan perilaku konsesual dan kerja sama yang juga di dalamnya terkandung kejujuran, pemenuhan tugas dan tanggung jawab, saling mengendalikan, dan kesediaan untuk saling menolong.

Keluarga, dilihat Fukuyama, merupakan sumber penting bagi modal sosial. Sebagai contoh, betapa pun rendah opini orang tua Amerika atas anak-anak mereka yang berusia belasan tahun, jauh lebih mungkin di antara mereka saling mempercayai dan bekerja sama ketimbang dengan orang asing. Inilah alasan mengapa sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Di Cina dan Amerika Latin, keluarga sangat kuat dan kohesif, tetapi ia sangat sulit untuk memercayai orang asing, sehingga tingkat kejujuran dan kerja sama dalam kehidupan publik jauh lebih rendah dan ini mendorong pada terjadinya nepotisme dan korupsi pada lembaga-lembaga publik. Reformasi agama Protestan menjadi bermakna bukanlah karena ia mendorong kejujuran, kesediaan saling menolong, dan kepedulian di antara para wiraswastawannya, tetapi kebajikan-kebajikan itu dipraktikkan secara luas di luar keluarga, terutama pada lembaga-lembaga publik.

Dengan mengutip Coleman, Fukuyama menyebutkan, bahwa modal sosial menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial anak. Kerja sama dalam keluarga itu dimungkinkan karena adanya fakta biologis yang kodrati dan itu tidak hanya memperlancar dan memudahkan jenis-jenis aktivitas sosial lainnya, seperti menjalankan bisnis. Dalam dunia sekarang ini pun banyak perusahaan besar yang impersonal dan birokratis sebagian besar dijalankan oleh keluarga. Tapi kebergantungan berlebihan atas ikatan kekerabatan itu bisa menimbulkan konsekuensi negatif atas masyarakat luas. Dalam penglihatan Fukuyama, banyak kebudayaan, mulai dari Cina, Eropa Selatan, hingga Amerika Latin yang mempromosikan familisme, yakni peningkatan ikatan kekerabatan, tetapi itu mengakibatkan kewajiban moral atas otoritas publik dalam segala bentuknya menjadi lemah.

Tetapi Fukuyama mengakui, ada modal sosial yang diproduksi dan disosialisasikan institusi publik, yakni melalui sistem pendidikan, yang di sebagian besar negara diberikan oleh negara sebagai kekayaan publik. Sekolah-sekolah biasanya tidak hanya mengajarkan berbagai pengetahuan dan keterampilan, juga memasyarakatkan para pelajar ke dalam kebiasaan-kebiasaan budaya tertentu yang dirancang untuk membuat mereka menjadi warga negara yang baik.

Namun demikian, banyak juga, menurut Fukuyama, pemerintah yang cakap dalam menghancurkan modal sosial. Umpamanya, bagaimana negara telah gagal memberikan dan melindungi hak-hak keamanan dan kepemilikan yang stabil kepada publik, sehingga mengakibatkan para warga negara tidak percaya bukan hanya pada pemerintah tapi juga saling tidak percaya di antara mereka sendiri dan menjadi sangat sulit untuk diasosiasikan. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern di Eropa Barat, sentralisasi fungsi-fungsinya, dan turut campurnya pada hampir seluruh perjalanan kehidupan warga negaranya cenderung melemahkan sosiabilitas spontan.

Di Swedia dan Prancis misalnya, ada asosiasional privat yang penting, tapi hampir semuanya bergantung pada subsidi dan regulasi pemerintah, dan ketika intervensi negara berkurang atau tidak ada, banyak organisasi sukrela tersebut yang kemudian menjadi yang ambruk. (Bersambung)(Budi Rajab, Staf Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP Unpad)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 22 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan