Membersihkan Mafia Pajak
GAYUS Tambunan dalam beberapa minggu terakhir masih menjadi pusat pemberitaan dan perhatian masyarakat. Kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus itu terungkap berkat laporan Komjen Susno Duadji kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Heboh yang ditimbulkan seorang pegawai pajak sesungguhnya bukan yang pertama. Sebelumnya, Hadi Purnomo, mantan orang nomor satu di Ditjen Pajak, juga tercatat punya kekayaan luar biasa. Di antara total kekayaan senilai Rp 38 miliar, sekitar 97,6 persennya tercatat berasal dari hibah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal 2010 menahan Edi Setiadi, kepala Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Selatan dan Tenggara. Saat menjabat kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bandung, dia diduga telah menerima hadiah Rp 2,55 miliar sebagai imbalan atas pengurangan jumlah pajak Bank Jabar pada 2002. Terakhir, mantan pejabat Ditjen Pajak, Bahasyim Assifie, juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri karena memiliki rekening yang mencurigakan senilai Rp 86 miliar.
Meski tidak semua dapat digeneralisasi, fenomena Gayus dan oknum pajak itu mencoreng semua pegawai atau pejabat di lingkungan pajak di seluruh Indonesia. Iklan masyarakat soal pentingnya membayar pajak menjadi hambar ketika kasus mafia pajak terungkap ke permukaan.
Meski kementerian itu sebelumnya dipuji sebagai panutan dalam reformasi birokrasi, terungkapnya skandal mafia pajak setidaknya memberikan pelajaran bahwa kenaikan gaji (remunerasi) tanpa pengawasan yang ketat dan sanksi yang keras akan menciptakan peluang terjadinya penyimpangan dan korupsi.
Sama halnya dengan mafia hukum, mafia pajak identik dengan praktik suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang, dan merugikan negara maupun orang lain. Mereka yang berperan sebagai aktor mafia pajak adalah petugas atau pejabat di lingkungan perpajakan, konsultan pajak, hakim dan pegawai pengadilan pajak, advokat, konsultan pajak, serta wajib pajak.
***
Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch tentang korupsi di sektor perpajakan membagi korupsi pajak dalam dua jenis, yaitu internal dan eksternal. Korupsi internal terkait dengan praktik suap-menyuap untuk penempatan petugas atau pejabat pajak. Agar dapat ditempatkan ke wilayah yang ''basah'', petugas pajak harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit kepada pejabat atau personalia yang berwenang dalam penempatan pegawai.
Korupsi eksternal berkaitan dengan praktik suap-menyuap atau pemerasan antara petugas dan wajib pajak. Dalam korupsi jenis ini, setidaknya terdapat empat pola yang biasanya dilakukan mafia pajak.
Pertama, negosiasi pembayaran pajak. Karena maraknya mafia pajak, muncul kecenderungan bahwa ''sebagian wajib pajak lebih suka membayar 'pajak' kepada petugas pajak daripada kepada negara''. Dengan adanya kongkalikong, wajib pajak yang umumnya pengusaha atau perusahaan besar hanya perlu membayar kurang dari setengah dari yang semestinya dibayar kepada negara. Sementara itu, petugas pajak mendapatkan imbalan yang menggiurkan dari wajib pajak yang dibantu.
Kedua, praktik pemerasan oleh petugas pajak ke wajib pajak. Yang lazim terjadi adalah ketika petugas pajak meminta sejumlah ''uang lelah'' untuk jasa pengurusan administrasi perpajakan yang bagi orang awam sungguh rumit. Urusan pemeriksaan pajak juga bisa dipersingkat, sehingga prosedur pajak yang sering menempatkan posisi wajib pajak sebagai pihak yang lemah bisa diatasi.
Ketiga, petugas pajak menjadi ''konsultan pajak'' bayangan atau bekerja sama dengan konsultan pajak. Dengan pola model ini, petugas pajak akan menerima gaji bulanan dari wajib pajak atau konsultan pajak yang merasa dibantu pekerjaannya. Petugas pajak akan mengutak-atik laporan keuangan perusahaan wajib pajak, sehingga beban kewajiban pajak yang dibayarkan bisa ditekan seminimal mungkin.
Keempat, kolusi dengan hakim atau pejabat di lingkungan pengadilan pajak agar perkara keberatan pajaknya dimenangkan. Praktik ini memungkinkan tingginya peluang bagi wajib pajak untuk memenangkan perkara.
Meski Kementerian Keuangan juga telah mengambil tindakan cepat dengan mencopot sejumlah atasan Gayus, pemerintah perlu melakukan langkah strategis lain untuk membersihkan mafia pajak di lingkungan Ditjen Pajak. Tindakan tersebut sekaligus menaikkan kepercayaan publik dan menghindari boikot bayar pajak sebagaimana yang digagas dalam sebuah jejaring sosial.
Pertama, keharusan pelaporan harta kekayaan dan pemeriksaan surat pemberitahuan (SPT) beberapa tahun terakhir dari seluruh pejabat dan petugas pajak. Mereka yang menolak atau tidak memberikan keterangan secara jujur perlu diberi sanksi keras. Kedua, membentuk mekanisme pelaporan yang mudah dan kredibel, sehingga pelapor (whistle blower) merasa aman dan berani serta aduannya bisa ditangani secara sungguh-sungguh.
Ketiga, meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengusut transaksi para aparat pajak dan hakim pajak yang dinilai mencurigakan. Keempat, memperkuat pengawasan internal dan melakukan upaya pemecatan atau membebastugaskan pejabat serta petugas pajak yang terbukti menyimpang. Kelima, mendorong adanya penegakan hukum hingga ke pengadilan jika ada indikasi penggelapan, korupsi, dan pencucian uang. Langkah itu penting dilakukan untuk memberikan shock therapy bagi para pegawai pajak yang nakal.
Selain itu, kesadaran untuk tidak memberikan suap terhadap pegawai pajak perlu terus disosialisasikan. Yang tidak kalah penting, seluruh pihak juga harus mengawasi, bukan hanya penggunaan pajak seperti yang selama ini dikampanyekan, namun juga praktik pungutan pajak karena potensi penyimpangan yang timbul tidak kalah besar. (*)
Emerson Yuntho , wakil koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 21 April 2010