Membersihkan Kampung Maling
Yang tersisa adalah sumpah serapah para terdakwa, yang meskipun sudah membayar ongkos kebebasan tetap divonis bersalah oleh pengadilan.
Upaya pemberantasan tindak kejahatan lagi-lagi dicederai oleh tindakan koruptif aparat penegak hukum. Baru saja tuntutan aneh--tiga tahun penjara untuk kepemilikan 20 kilogram sabu-sabu--dibuat oleh empat jaksa penuntut umum di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Ahmad Djunaidi, terpidana kasus Jamsostek, tiba-tiba menyanyi. Ia mengaku sudah menyerahkan dana ratusan juta rupiah untuk jaksa.
Kenyataan konkret di atas sayang sekali kerap minus fakta hukum. Tak ayal, sulit menyeret aparat penegak hukum ke suatu arena pembuktian bahwa mereka telah melakukan korupsi, karena jejak kejahatannya hampir tidak pernah ditinggalkan. Yang tersisa adalah sumpah serapah para terdakwa, yang meskipun sudah membayar ongkos kebebasan tetap divonis bersalah oleh pengadilan.
Mirisnya, daya dukung optimum yang seharusnya lahir dari kepemimpinan baru di institusi penegak hukum untuk memberantas korupsi, khususnya di lingkungannya sendiri, terasa jauh dari asa. Respons yang datar, bahkan cenderung defensif, ketika menanggapi adanya indikasi pemerasan atau penyuapan yang melibatkan aparatur penegak hukum, kental dengan spirit melindungi korps. Walhasil, pemeriksaan internal terhadap mereka yang tersebut namanya menerima sogokan dalam penanganan perkara dilakukan dengan tertutup, diam-diam, dan lemah akuntabilitasnya. Tak salah jika kemudian muncul istilah kampung maling. Kalimat itu sejatinya hendak menegaskan bahwa institusi penegak hukum sudah sedemikian rusaknya.
Yang perlu menjadi catatan kritis, selama ini instrumen pengawas internal pada masing-masing lembaga peradilan tak kuasa mengikuti kegilaan perilaku koruptif aparat yang demikian kronis. Pendekatan oknum dalam melihat gejala korupsi di institusi penegak hukum sama sekali tidak dapat mengungkap praktek mafia peradilan yang berkembang sangat sistematis. Sebab, perbuatan oleh oknum hanya dapat dialamatkan pada tindak kejahatan yang bersifat individual.
Namun, ketika sebuah kejahatan sudah sedemikian luar biasa, dalam arti telah menjadi ritus dalam napas sehari-hari lembaga penegak hukum karena melibatkan sebagian besar pegawai, cara-cara yang biasa untuk menangkalnya dapat dipastikan tak berdaya. Ini bukan hanya karena cara-cara biasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk menghantamnya, tapi juga lantaran cara-cara biasa nyatanya telah menjadi bagian dari mesin korupsi itu sendiri.
Karena itu, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas internal terhadap orang dalam yang nakal dapat dipastikan berujung kompromi. Satu per satu kasus dilihat sebagai kesalahan prosedur dan administrasi, sehingga mutasi adalah rekomendasi paling keras yang bisa dihasilkan. Mungkin benar kata seorang teman, aparat penegak hukum sangat berani melakukan korupsi karena mereka tahu betul bahwa merekalah yang akan mengadili diri mereka sendiri, bukan orang lain.
Lemahnya political will, mandulnya instrumen pengawasan internal, dan gagapnya aturan hukum dalam merespons kejahatan mafia peradilan menjadi kombinasi faktor yang membuat korupsi di tubuh aparat penegak hukum sulit diberantas. Karena itu, dibutuhkan sebuah gebrakan besar yang mengarah ke upaya untuk menyusun strategi pemberantasan korupsi di peradilan (judicial corruption) dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary).
Pendekatan extraordinary dalam memberantas mafia peradilan harus dimulai dari perubahan pandangan bahwa judicial corruption bukanlah kejahatan individual, biasa, dan sporadis, melainkan sudah sangat masif, sistematis, terus-menerus, dan menyebabkan dampak kerusakan yang luar biasa. Kerusakan itu meliputi hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum, munculnya kebiasaan main hakim sendiri, sulitnya mendapatkan akses keadilan, sulitnya menjerat aktor utama dalam tindak kejahatan (korupsi), tiadanya kepastian hukum, dan runtuhnya makna teks hukum karena apa yang ditulis sangat berbeda dengan apa yang terjadi.
Meskipun demikian, gebrakan untuk melibas mafia peradilan tidak cukup hanya berhenti pada perubahan pandangan, tapi perlu diikuti dengan tindakan dan aksi konkret yang dapat diarahkan ke beberapa aspek strategis kebijakan pemberantasan korupsi. Salah satunya kebijakan yang berhubungan dengan problem struktural. Di ranah kebijakan ini, aparat penegak hukum perlu dibersihkan besar-besaran (sterilisasi) dengan memulai meletakkan ukuran-ukuran yang obyektif (integritas dan profesionalisme) dalam proses rekrutmen, mutasi, dan promosi. Menempatkan orang-orang bermasalah pada posisi strategis karena tidak mempertimbangkan rekam jejaknya hanya akan memperpanjang usia rezim mafia peradilan.
Karena posisi aparat penegak hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan fungsi lembaga negara, setiap cela yang muncul dalam penanganan perkara kejahatan ataupun yang berhubungan dengan ketidaktaatan terhadap kewajiban tidak dapat direduksi hanya sekadar pelanggaran sepele. Di sini letak keteladanan dari pemimpin institusi penegak hukum menjadi sangat menentukan. Karena itu, tindakan tegas untuk mengandangkan aparat penegak hukum bermasalah tidak hanya bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan biasa, tapi perlu keberanian untuk menonaktifkan siapa pun yang sedang diperiksa sebagai wujud dari keseriusan dalam memberantas mafia peradilan.
Semua sudah paham bahwa jejak mafia peradilan nyaris tanpa bekas. Sedangkan konsepsi pemberantasan korupsi yang telah diatur dalam berbagai perundang-undangan saat ini dirasa sangat konservatif karena mandul dalam mengendus dan memidanakan pelaku judicial corruption. Yang paling mungkin untuk melacak adanya perbuatan korupsi dalam penanganan perkara adalah mengukur harta kekayaan yang dimiliki. Sayangnya, mekanisme pelaporan harta kekayaan pejabat negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi belum bisa menjadi instrumen yang efektif untuk meredam perilaku koruptif aparat penegak hukum. Ini karena tidak diikuti oleh sebuah mekanisme bahwa setiap temuan yang mencurigakan dari pelaporan harta kekayaan seharusnya dibuktikan sendiri oleh pemiliknya. Jika fungsi pembuktian secara hukum masih dibebankan kepada penyidik, dapat dipastikan praktek mafia peradilan akan terus berlanjut. Karena itu, penerapan sistem pembuktian terbalik murni--bukan pembuktian terbolak-balik--harus menjadi satu bagian penting dalam memberantas mafia peradilan.
Bagian lain yang tak kalah penting adalah keberadaan saksi. Dalam berbagai kasus mafia peradilan yang terungkap, posisi saksi sangat signifikan. Bisa jadi saksi itu korban atau pelaku. Namun, jika target pemberantasan korupsi diarahkan ke upaya membersihkan institusi penegak hukum, prioritas penanganan kasus harus diarahkan ke aparat penegak hukum itu sendiri. Sebaliknya, saksi harus mendapatkan perlindungan yang maksimal supaya dapat secara bebas membeberkan siapa saja aparat yang terlibat. Namun, jika saksi masih dalam posisi tertekan, bahkan bisa dipidanakan karena pasal pencemaran nama baik, misalnya, mimpi untuk membersihkan kampung maling sulit direalisasi.
Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Mei 2006