Memberantas Korupsi tanpa Transparansi

Problem korupsi yang begitu akut di negeri ini adalah buah dari proses penyelenggaraan kekuasaan yang tanpa memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Berbicara tentang pemerintahan di Indonesia sejauh ini sama artinya dengan berbicara tentang sistem birokrasi yang tertutup dan eksklusif. Publik mempunyai akses yang sangat terbatas untuk mengetahui kinerja lembaga publik, ihwal lahirnya kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, serta akuntabilitas pejabatnya.

Para pejabat publik begitu leluasa menyelewengkan anggaran, menyalahgunakan jabatan, dan kolusi karena yang mereka hadapi adalah regulasi, prosedur, dan kultur yang memungkinkan proses pemerintahan berjalan dalam sebuah isolasi, tanpa kontrol efektif dari publik.

Dalam konteks ini, upaya pemberantasan korupsi tak mungkin dilakukan tanpa terlebih dulu menegakkan prinsip-prinsip transparansi dan hak publik atas informasi (right to know). Hingga 100 hari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, belum terlihat langkah-langkah terobosannya untuk melembagakan prinsip transparansi dan hak publik atas informasi dalam perundang-undangan.

Prinsip transparansi dan hak publik atas informasi secara komprehensif telah terakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP). Legislasi RUU KMIP ini pada pemerintahan yang lalu telah mencapai taraf yang hampir final. Pada Agustus 2004, DPR telah selesai merumuskan drafnya dan secara resmi menyerahkannya kepada pemerintah. Sesuai dengan prosedur yang berlaku, Presiden semestinya segera mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) tentang pembahasan RUU KMIP kepada kementerian terkait, Menteri Komunikasi dan Informasi. Tanpa keluarnya amanat tersebut, proses legislasinya praktis akan berhenti di tengah jalan.

Namun, hingga Januari 2005 ini, Presiden belum juga mengeluarkan amanat itu. Data dari Panitia Anggaran DPR menunjukkan, Menteri Komunikasi dan Informasi telah mengajukan anggaran legislasi perundang-undangan, tapi bukan untuk RUU KMIP, melainkan untuk RUU Cyber Media. Meskipun proses pembahasannya telah lebih lama berlangsung dan posisinya sangat urgen bagi upaya pemberantasan korupsi, RUU KMIP tidak mendapat prioritas memadai dari pemerintah.

Pemerintah justru lebih bersemangat mengkampanyekan pentingnya institusionalisasi rahasia negara, meskipun RUU KMIP sesungguhnya telah secara komprehensif mengatur klausul-klausul kerahasiaan informasi. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Komunikasi dan Informasi menegaskan pentingnya RUU Kerahasiaan Negara dan mengusulkan pembahasannya disatukan dengan RUU KMIP. Lebih jauh, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Nomor 7 Tahun 2004 yang melarang jajaran Departemen Dalam Negeri membuka rahasia negara yang kontraproduktif bagi upaya pemberantasan korupsi.

Namun, definisi dan ruang lingkup rahasia negara itu sendiri tidak cukup tegas dan jelas. Ini sama saja dengan memberikan pasal-pasal karet yang dalam implementasinya sangat tergantung pada subyektivitas pejabat bersangkutan. Perlu dipertanyakan pula, bagaimana dengan informasi-informasi yang tidak termasuk dalam kategori rahasia negara? Mengapa Menteri Dalam Negeri tidak menginstruksikan jajarannya untuk membuka informasi-informasi itu kepada publik?

Tampak pemerintah lebih peduli terhadap bahaya pembocoran rahasia negara, meskipun fakta menunjukkan bahwa yang sering terjadi justru praktek penyembunyian informasi dengan akibat yang jauh lebih merugikan kepentingan umum. Pemerintah seakan-akan lupa bahwa problem kita saat ini pertama-tama bukanlah tidak adanya perlindungan memadai bagi rahasia negara, tapi justru sebaliknya, budaya kerahasiaan yang masih mendominasi praktek pemerintahan, sehingga tidak pernah jelas benar mana perkara yang harus dibuka kepada publik dan mana yang bisa dirahasiakan.

Dalam tiga bulan pertama pemerintah Presiden Yudhoyono belum terlihat perkembangan positif berkaitan dengan penghargaan pejabat publik terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan simpatik Presiden telah menginstruksikan kepada pejabat tinggi negara untuk menyerahkan daftar kekayaan pribadinya kepada KPK. Namun, hingga hari yang telah ditentukan oleh Presiden (21 November 2004), masih ada tujuh menteri dan pejabat setingkat menteri yang belum melaporkan kekayaan mereka. Hingga hari yang sama, 243 anggota DPR dan DPD juga belum memberi laporan kekayaan kepada KPK.

Kasus yang tak kalah memprihatinkan adalah ketika beberapa departemen teknis dan gubernur menolak audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pada mulanya ada kegusaran Departemen Keuangan karena dana pembangunan nonfisik Rp 3,47 triliun tak dapat dipertanggungjawabkan berbagai departemen teknis pada 2003. Setelah ditelusuri, kebanyakan adalah dana dekonsentrasi: dana pembangunan nonfisik yang diberikan pemerintah pusat ke daerah melalui beberapa departemen teknis. Sekadar contoh, dana dekonsentrasi untuk penguatan dan pengembangan potensi kesejahteraan sosial di Departemen Sosial Rp 39,5 miliar sama sekali tak ada laporan pertanggungjawabannya.

Menteri Keuangan Boediono kemudian meminta BPKP untuk melakukan audit dana dekonsentrasi 2003 dan 2004 Rp 79 triliun yang tersebar di tujuh departemen teknis. Namun, departemen teknis (Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Perhubungan) serta dua gubernur (Lampung dan Sulawesi Tengah) dengan berbagai alasan yang kurang mendasar menolak rencana tersebut.

Fakta-fakta di atas tentu saja menjadi preseden buruk bagi upaya pemerintah memberantas korupsi. Pemerintahan baru semestinya datang dengan moralitas yang baru pula. Apakah pemerintah Yudhoyono telah mengambil langkah-langkah terobosan untuk memperbaiki moralitas itu, katakanlah berkaitan dengan prinsip transparansi dan hak publik atas informasi?

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi batu uji yang baik di sini. Berbeda dengan kasus-kasus di atas, kenaikan harga BBM berdampak langsung dan seketika terhadap hajat hidup orang banyak, sehingga prinsip kehati-hatian mestinya lebih diperhatikan.

Mengapa harga BBM terus naik? Mengapa Pertamina terus merugi? Karena harga BBM yang rendah atau karena mismanajemen, inefisiensi, atau korupsi? Sebelum kenaikan harga diberlakukan, publik semestinya mendapat penjelasan memadai tentang hal-hal ini. Dengan bahasa yang bisa dipahami oleh publik, perlu dijelaskan struktur biaya untuk produksi BBM, standardisasi mutu, distribusi, dan lain-lain yang mendasari kenaikan harga.

Namun, inilah yang selalu terjadi: pemerintah merasa cukup jika sudah menggelar konferensi pers untuk menjelaskan alasan kenaikan harga BBM itu tanpa mempertimbangkan terbatasnya informasi yang bisa disampaikan media dan betapa terbatasnya segmen masyarakat yang mengakses media massa.(Agus Sudibyo, Peneliti Institut Studi Arus Informasi, Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 2 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan