Memberantas Korupsi, Menyelesaikan Krisis

Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia tak lepas dari masalah khas negara berkembang.

Pengangguran, putus sekolah, kematian bayi, kriminalitas, bencana alam karena pengelolaan SDA yang kurang hati hati, konflik horizontal, kekerasan, penyakit menular, dan masalah lain.

Semua persoalan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan membuat rakyat mudah disulut, mudah menggunduli hutan. Di lain pihak, kemiskinan membuat pemerintah tidak mampu membiayai pelayanan publik dan jaminan sosial yang layak bagi rakyatnya di hampir semua bidang.

Kemiskinan membuat pemerintah tidak bisa membangun dan menstimulus pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kombinasi itu membuat negara kian miskin. Demikian disampaikan Michael Todaro.

Korupsi dan manusia
Makin berkembangnya khazanah ilmu pengetahuan membuat dunia mengidentifikasi sebuah penyakit, korupsi, yang sudah akut terjadi dan berkontribusi besar terhadap kondisi sosial di negara berkembang saat ini.

Membahas korupsi selalu menarik. Sebagai fenomena sosial, kajian tentang korupsi bisa dilakukan dari ilmu sosial apa pun, sosiologi, antropologi, politik, psikologi, dan ekonomi.

Korupsi berusia sama tua dengan sejarah manusia. Ribuan tahun lalu, Kautilya, raja Hindu di India dalam The Arthasastra, menuliskan fenomena korupsi pada zamannya. Tujuh abad lalu, Dante (1235-1321), dalam karyanya menempatkan pelaku korupsi pada neraka paling dalam, menunjukkan kebencian penduduk abad pertengahan pada korupsi. Sejarah reformasi Indonesia mencatat presiden silih berganti karena tuduhan korupsi.

Dari sudut pandang ekonomi sendiri, ada beberapa hal yang menyebabkan korupsi menjadi perhatian global akhir-akhir ini. Selain karena fenomena demokrasi yang memberi ruang luas kepada pers dan LSM untuk memberikan kontrolnya terhadap pemerintah, globalisasi meningkatkan frekuensi hubungan antarnegara, baik negara bersih maupun korup. Dan yang paling penting, kompetisi untuk mencapai proses produksi yang efisien serta memberikan profit maksimal, membuat korupsi sebagai sumber ekonomi biaya tinggi mutlak harus dibasmi.

Korupsi dan ekonomi
Banyak dampak korupsi terhadap perekonomian, di antaranya, pertama, korupsi mengurangi pendapatan investasi (baik dari sisi nominal maupun dari pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan). Hal ini menurunkan minat investor untuk menanamkan investasi. Menarik jika membandingkan penurunan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia dengan peningkatan indeks persepsi korupsi yang dirilis Transparency International (TI) periode 1997-2000, meski harus diakui, bukan hanya masalah persepsi korupsi saja yang membuat nilai PMA kita turun pada periode itu.

Kedua, korupsi mendorong misalokasi pendapatan dan pengeluaran negara. Dimulai dari (potensi) korupsi yang muncul saat pungutan pajak, hingga pengalokasiannya untuk pembelanjaan publik. Mauro (1997) dan Tanzi (2000) menunjukkan keberadaan korupsi akan menghasilkan pembiayaan kesehatan dan pendidikan yang rendah, serta pembiayaan perawatan infrastruktur yang berkurang. Itu sebabnya jamak dijumpai jalan rusak, sekolah dan rumah sakit reyot, yang bukan tidak mungkin terjadi sebagai hasil korupsi berkepanjangan di masa lalu.

Studi Tanzi mengenai korupsi dengan kasus Pakistan menunjukkan, peningkatan anggaran 1,6 persen malah diikuti turunnya PDB 10 persen. Terakhir, korupsi adalah beban ekonomi bagi penduduk miskin. Dikarenakan efek korupsi yang memperlambat pertumbuhan ekonomi, penduduk miskin akan menerima alokasi pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik lain yang buruk (menurut UUD adalah kewajiban negara).

Secara akumulatif, hal itu akan memperlemah kualitas SDM Indonesia di masa datang. Belum lagi ditambahkan kemungkinan korupsi pada program sosial pemerintah bagi rakyat miskin, yang semuanya akan makin menyengsarakan hidup mereka.

Bagaimana Indonesia?
Dalam sidang KTT Negara-negara Benua Amerika (Summit of The Americas) di Mar de Plata, Argentina, bertema Creating Jobs to Fight Poverty and Strengthen Democratic Governence, 4-5 November lalu, Transparency International menyampaikan rekomendasi, Government in The Americas must eliminate corruption to create jobs and reduce poverty. Dengan apik disampaikan dalam sebuah wilayah di mana banyak negara terapung dalam lautan korupsi, tenggelam dalam kemiskinan yang parah, dan kini dihancurkan oleh bencana alam, pemerintah harus terjun dalam perang melawan korupsi dan menjadikannya prioritas utama. Sebuah replika kondisi bangsa Indonesia bukan?

Di lain pihak, dalam tesisnya, Farah Dewi (2000) menunjukkan jika Indonesia mampu menekan tingkat korupsi hingga serendah Jepang, kita akan mencapai pertumbuhan 6,37 persen setahun.

Jadi, korupsi harus diberantas sekarang juga. Bukan hanya karena kita malu dengan predikat jawara korupsi. Juga bukan karena seperti kata Romo Mangun, generasi muda masa kini harus dididik dengan sistem yang jujur dan fair, dengan tidak membodohi mereka dengan kemunafikan dan permainan culas. Namun lebih karena memberantas korupsi bisa jadi adalah awal dari penyelesaian krisis di Indonesia.

Alief Aulia Rezza Pengajar FEUI, Sedang Studi Lanjut di Norwegian University of Life Sciences

Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan