Memberantas Corrupted Mind Wajah Persekolahan
Bagaimana perilaku korupsi, tergambar seperti pengalaman penulis tatkala mendampingi seorang siswa baru di sebuah SMA saat registrasi. Sekolah itu mengharuskan seluruh siswa membeli bahan seragam yang dijual sekolah. Ketika daftar harganya di cek ke toko, dengan harga dari sekolah bisa digunakan membeli tiga potong bahan seragam.
Anehnya, sekolah berdalih sengaja ada keuntungan untuk membeli seragam batik guru. Anggapan mereka sekolah lain lebih parah lagi, lalu mengapa hanya sekolah ini yang ditanyai. Demikian secuil perilaku korupsi di sekolah, apa dan mengapa demikian? Lalu, apa solusi pemberantasannya?
Generasi pilihan masa depan dibentuk melalui pendidikan yang sehat, sebaliknya generasi yang gagal juga dibentuk oleh proses pendidikan yang sekarat. Kini, kelahiran generasi koruptor intelektual merupakan refleksi corrupted mind yang merasuki ranah pendidikan formal. Kegagalan pendidikan yang hampir tak bisa dipercaya tatkala terujar insinuasi Sekolah mencetak Koruptor.
Vonis yang tidak bisa disangsikan, bisa jadi siswa adalah calon koruptor kelas kakap dan kepala sekolah beserta gurunya adalah sosok koruptor. Dengan demikian, apa bedanya dengan orang gila yang di tengah jalan mengatur lalu lintas karena dia yakin betul bahwa dirinya polisi lalu lintas, walaupun sambil bugil? Seandainya bumi ini memiliki neraka penjara, pasti penghuni terbanyak pastilah koruptor terdidik dengan gelar sarjana, master, doktor, sampai profesor.
Berimajinasi korupsi tumbuh subur dalam sektor pendidikan adalah kemustahilan, tetapi bukan sekadar halusinasi. Akan tetapi, itulah kenyataannya. Jika dianalogikan sungai, mulai dari hulu yaitu Depdiknas hingga satuan pendidikan (sekolah) yang menjadi hilirnya secara luas, praktik korupsi terjadi. Pelakunya pun tidak sebatas birokrasi ataupun guru dan kepala sekolah, bahkan juga melibatkan komite sekolah, penerbit buku, kontraktor bangunan, bahkan distributor pakaian. Buku pegangan
Salah satu ilustrasi bagaimana sistematisnya korupsi di sekolah adalah soal penentuan buku pegangan siswa dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Agar bisa mengalokasikan bukunya ke sekolah-sekolah, penerbit mesti melobi pejabat Dinas Pendidikan agar bersedia memberi rekomendasi kepada sekolah. Pada tingkat sekolah mereka menegosiasikan persentase keuntungan dengan kepala sekolah dan guru. Lalu, guru akan mewajibkan siswa membeli buku tersebut. Kasus teraktual, yakni kasus korupsi miliaran rupiah dalam pengadaan buku ajar yang menjadikan Bupati Semarang sebagai tersangka, belum lagi kasus yang semotif di kabupaten/kota lainnya.
Mendasarkan hasil penelitian Ade Irawan dan kawan-kawan, Studi MBS di DKI Jakarta 2009, secara umum ada dua jenis pungutan di sekolah. Pertama, pungutan yang didukung oleh peraturan, baik sekolah maupun Dinas Pendidikan. Pungutan jenis ini termasuk resmi, namun dalam biaya yang dilegalkan ini pun sering terjadi mark up harga. Seragam dan buku sebagai contoh. Ada juga pungutan yang tidak ada dasar aturannya, pungutan jenis kedua ini merupakan pungutan ilegal. Ironisnya, sekolah sering membuat pungutan liar meski berdasarkan keputusan kepala sekolah. Misalnya, iuran pembangunan, pemerintah dengan tegas melarang pungutan jenis ini, tetapi dalam praktiknya sekolah masih memberlakukan.
Banyak kegiatan ataupun barang yang sudah disubsidi pemerintah, tetapi sekolah masih tetap menarik dana dari orangtua siswa. Beberapa tahun ini, pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), termasuk BOS buku, namun beban biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa justru menanjak naik. Lagi-lagi sekolah memiliki alibi bahwa pendidikan berkualitas harus dibayar mahal.
Pembebanan berbagai biaya masih belum menggugah masyarakat untuk tampil kritis memprotes pengelola sekolah. Apalagi di pedesaan yang latar belakang penduduk yang mayoritas tidak bersekolah atau hanya lulusan sekolah dasar menjadikan orangtua siswa bersikap pasrah kepada orang terdidik, bahkan mereka bersikap apriori terhadap kondisi persekolahan. Yang diketahuinya, dengan bersekolah agar menjadi pintar dan bermoral. Padahal, realitanya ada banyak kebusukan dalam sekolah.
Secara formal, untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam manajemen sekolah, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044N/2002 mengenai Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
Dengan manajemen partisipatif, sekolah tidak akan semena-mena menentukan besarnya pungutan karena penentuan jenis pungutan dan besarannya tidak hanya sekolah tetapi juga orangtua siswa. Begitupun transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana sekolah akan menekan praktik korupsi karena masyarakat dapat mengawasi dana yang mereka berikan dan bisa meminta pertanggungjawaban kepada sekolah. Akan tetapi, sejauh ini kenyataannya tidak begitu. Birokrasi pendidikan masih berperan penting dalam pengelolaan sekolah, sedangkan kepala sekolah yang merasa paling berwenang tidak mau melibatkan guru, apalagi orangtua siswa dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah.
Sebenarnya, pola pemberantasan korupsi di sekolah sama dengan korupsi pada bidang lain. Kuncinya adalah ketegasan dan konsistensi, apalagi di Indonesia dengan kompleksitas corrupted mind yang meracuni setiap lini. Mengutip wacana Kwik Kian Gie (buku Pemberantasan Korupsi), salah satu strategi sederhananya, yaitu konsep Carrot and Stick atau Kecukupan dan Hukuman. Keberhasilannya sudah dibuktikan oleh banyak negara, antara lain Singapura dan China.
Carrot adalah pendapatan bersih (net take home pay) untuk pegawai negeri yang mencukupi untuk hidup standar sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, pangkat dan martabatnya. Stick atau arti harfiahnya pentung adalah hukuman kalau carrot sudah dipenuhi dan masih berani korupsi. Mengingat korupsi sudah sedemikan endemik, hukumannya harus seberat-beratnya.
Pengelola sekolah yang terbukti korupsi harus diberi diberhentikan, dipenjarakan, bahkan dihukum mati. Contohlah rasa malu ala Jepang, orang yang terindikasi korupsi segera mengundurkan diri. Beranikah mental bangsa kita berbuat demikian? Tentu tak perlu menunggu jawaban dari rumput yang bergoyang.
Widodo Mahasiswa Program Pascasarjana Prodi Kurikulum dan Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Oktober 2007