Membendung Skandal Mencari Citra
Sekali lagi, lembaga pemerintahan Indonesia ternoda akibat ulah aktor-aktornya yang tak bertanggung jawab. Setelah beberapa bulan lalu pemerintah dikejutkan dengan laporan tentang tingkat korupsi tertinggi dalam lembaga eksekutif, sekarang giliran lembaga yudikatif harus menanggung beban serupa.
Meski dalam gaya dan kasus yang tak sama, latar belakang perilaku itu sesungguhnya tak menunjukkan perbedaan yang menonjol.
Skandal suap yang melibatkan Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim KY Irawady Joenoes dan Manajer PT Persada Sembada Freddy Santoso pada Rabu (27/09/2007) adalah fakta konkret yang menunjukkan betapa akhir-akhir ini lembaga yudikatif belum mampu untuk sekadar mengontrol anggota-anggotanya dalam ranah hukum.
Tak salah jika KY kurang maksimal mengurusi persoalan masyarakat karena dalam persoalan intern saja KY belum mampu menunjukkan kredibilitasnya sebagai institusi dengan kedudukan tertinggi dalam lembaga hukum Indonesia. Kualitas leadership yang ditunjukkan KY tentunya akan dijadikan sandaran oleh lembaga-lembaga hukum di bawahnya.
Jika dalam tataran praktis KY tidak mampu menjalankan tugas mulia tersebut dengan sebaik-baiknya, secara otomatis lembaga-lembaga lain juga turut melakukan hal serupa. Tidak hanya itu, lumpuhnya kepemimpinan KY akan berdampak pada lemahnya koordinasi penegakan hukum di Indonesia secara umum.
Kasus skandal tersebut merupakan rapor merah bagi kepemimpinan KY yang selama ini hanya memperhatikan objek pengawasan dalam ranah sosial tanpa mau mengevaluasi kinerja bawahan secara intensif.
Dampaknya pun bisa dirasakan saat ini, bagaimana kasus tersebut secara sistemik telah menghapus karisma KY sebagai lembaga tertinggi dalam lembaga hukum di negeri kita.
Tiadanya program kepemimpinan yang holistis dan paradigmatis dalam sistem kelembagaan KY menyebabkan lembaga tersebut harus menanggung beban moral yang amat berat. Artinya, kasus Irawady di atas bukanlah persoalan kecil dalam ranah hukum di Indonesia. Sebab, hal itu menyangkut sosok Irawady sebagai katalisator dalam lembaga hukum tertinggi di Indonesia tersebut.
Dengan demikian, KY belum bisa memaksimalkan kinerja pengawasan secara luas dalam persoalan-persoalan internal lembaga hukum.
Dalam kasus skandal itu dapat diperlihatkan bahwa KY secara tidak langsung telah mengesampingkan konsep clean-government untuk menegakkan hukum dengan cermat.
Jika boleh jujur, kepemimpinan yang mengarah pada pengawasan ke dalam (seperti kerja sama, team work, dan track record) seharusnya lebih diperhatikan daripada kepemimpinan ke luar.
Hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa kasus di negara-negara maju, seperti Singapura, yang lebih memaksimalkan kepemimpinan berorientasi ke dalam daripada kepemimpinan ke luar. Kepemimpinan semacam itu sebenarnya dimaksudkan lebih dulu menjaga stabilitas kepemimpinan intern lembaga hukum, kemudian melanjutkan pada persoalan yang lebih luas, yaitu kepemimpinan ekstern.
Perbedaan dua model kepemimpinan itu sering dilupakan lembaga hukum yang ada, termasuk KY. Tak heran jika Rendy Pahrun Wadipalapa dalam tulisannya di koran ini (2/10/2007) menyebut lembaga hukum di negara kita mengalami krisis legitimasi.
Dalam konteks ini, KY seharusnya secepatnya mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan persoalan intern, kemudian mencari langkah paradigmatis untuk mencegah kasus serupa terulang.
Solusi alternatif yang harus dilakukan KY adalah menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi dari luar demi perbaikan dalam tubuh KY. Dalam hal ini, KY diharapkan mampu membuka diri dan mendiskusikan kasus tersebut dengan para petinggi negara lain. Begitu juga, aspirasi dari masyarakat, aktivis, dan mahasiswa tidak bisa diabaikan dalam upaya merekonstruksi citra KY di mata publik.
KY tidak bisa hanya berpangku tangan dan bersandar diri pada beban moral yang telah lapuk itu dengan meninggalkan sejauh-sejauhnya aspirasi masyarakat luas.
Bagaimanapun, masukan dan kritik dari publik selama ini harus dianggap sebagai upaya mengemas kembali citra KY dalam perspektif yang lebih baru. Untuk melaksanakan solusi tersebut, KY juga harus lebih otokritik dan bersedia untuk mengevaluasi secara cermat dan sistematis.
Dalam mencegah terjadinya kasus serupa, tak ada salahnya KY menengok kembali efektivitas model kepemimpinan yang selama ini diterapkan. Kepemimpinan yang dimaksud tentunya berorientasi ke dalam.
Sudahkah KY melibatkan diri dalam masalah kepemimpinan intern? Apa saja yang menyebabkan KY tidak mampu melihat lolosnya skandal Irawady ke dalam persoalan publik secara luas? Bagaimana KY mengembalikan citra publik sebagai penopang berdirinya KY sendiri?
Sederet pertanyaan itulah yang mesti dijadikan catatan penting dalam evaluasi KY ke depan bahwa tidak selamanya konsep kepemimpinan yang berorientasi ke luar akan mampu menyelesaikan semua persoalan publik secara merata.
Langkah utama yang saat ini memungkinkan untuk dilakukan KY adalah mengembalikan kepercayaan publik.
Achmad Fawaid, mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM Jogjakarta. (E-mail: faaid_achmed@yahoo.co.id)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Oktober 2007