Membenahi Sektor Kesehatan

Mendahulukan pembangunan sektor kesehatan aksiomanya memang berarti perlu cukup anggaran dan tidak keliru memilih konsep untuk menempuhnya.

Mendahulukan pembangunan sektor kesehatan aksiomanya memang berarti perlu cukup anggaran dan tidak keliru memilih konsep untuk menempuhnya. Anggaran kesehatan kita, kendati terus bertambah dari tahun ke tahun, masih tetap di posisi bukan di peringkat atas. Konsep pembangunan kesehatan kita pun selalu bimbang.

Bimbang lantaran dengan dihalalkannya industri kesehatan terus merasuk ke sektor kesehatan kita dalam satu dasawarsa ini, semakin meminggirkan layanan kesehatan dasar bagi lebih dari dua pertiga masyarakat yang membutuhkan. Di sebelah lain, menumbuhkan kecemburuan sosial pula karena berobat sudah menjadi barang luks bila nyatanya hanya terjangkau bagi yang berkantong tebal.

Padahal bila dicermati, masalah kesehatan kita sejatinya urusan ratusan juta rakyat di pedesaan dan pinggiran kota, bukan milik orang berduit di kota yang mampu berobat sendiri kapan saja. Yang perlu diurus justru masalah kesehatan jalur lambat milik hampir 200 juta rakyat kita, bukan layanan kesehatan jalur cepat sekelompok kecil saja masyarakat yang senantiasa mampu berobat setiap kali sakit.

Di seberang lain, mengendur dan pupusnya layanan kesehatan dasar rakyat banyak yang seyogianya berkonsep primary health care (PHC) nyatanya ikut memperburuk kemampuan bersolusi masalah kesehatan orang banyak. Beragam kasus penyakit dan masalah kesehatan yang tak perlu ada lagi terus bermunculan sekarang ini.

Kekeliruan itu hampir pasti lantaran kita cenderung lagi-lagi hanya mengobati seperti petugas pemadam kebakaran. Kecilnya anggaran yang malah cenderung dialokasikan sering-sering bagi dana Sinterklas, sementara upaya-upaya preventif masih tetap lemah, menambah berat pikulan sektor kesehatan.

Padahal agar terpenuhi pencapaian sehat sebagai hak setiap orang, pilihan konsepnya perlu kembali membangun layanan kesehatan dasar itu. Bentuk layanan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Itu sebabnya, sesungguhnya lebih dibutuhkan kegiatan berkonsep pendekatan sosial ketimbang menghabiskan anggaran buat hanya belanja obat.

Bangladesh adalah contohnya. Dengan anggaran tidak besar, mereka sudah lebih sejahtera hanya karena taat pada konsep layanan kesehatan dasar (PHC). Kita sudah memetik buah pembangunan kesehatan berkonsep PHC dulu, bahkan diteladani negara lain. Namun, kini kegiatan itu semakin pupus dan kian mengendur setelah sekian kali berganti menteri. Peran puskesmas bukan lagi sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan, posyandu pun lesu selain semakin kehilangan banyak fungsi kader kesehatan.
***

Kalau benar peran puskesmas dengan lebih dari sepuluh programnya terfokus membina masyarakat di wilayahnya, dan bukan hanya mengobati sebagaimana yang masih terjadi sekarang ini, masalah kesehatan yang tak perlu terjadi lagi tidak merebak seperti sekarang ini. Harus diakui bahwa dengan pendekatan PHC akan terbangun fondasi untuk banyak kegiatan preventif di masyarakat.

Kasus penyakit lama tak perlu terjadi kalau puskesmas bekerja sebagaimana seharusnya. Demam berdarah, gila anjing, kusta, tuberkulosis, dan kaki gajah yang sekarang bermunculan di sejumlah daerah, sebetulnya tak perlu muncul lagi jika puskesmas secara penuh melakukan perannya yang lebih banyak preventifnya ketimbang kuratifnya. Begitu juga dengan kemunculan busung lapar, kurang gizi, anemia, dan keracunan makanan merupakan kejadian yang mestinya tak perlu ada lagi.

Karena sekarang kita ketiban akibat yang dimunculkan setelah sekian lama masyarakat tidak dibina hidup sehatnya dan pendidikan kesehatan anak sekolah juga lemah saja, anggaran kesehatan banyak tersedot untuk yang tak perlu itu.

Selama penanggulangan masalah kesehatan yang tak perlu ada itu hanya dengan cara memberi ikan, atau sebagai dana Sinterklas seperti kecenderungan sekarang ini, tanpa dibarengi dengan membangun kemampuan hidup sehat (dengan cara komunikasi-informasi-edukasi), masalah kesehatan rakyat agaknya tak kunjung selesai. Yang datang berobat untuk penyakit yang sama akan terus menghabiskan anggaran puskesmas yang tak besar itu hanya buat belanja obat, sedangkan rakyat masih tetap belum disehatkan.

Kesehatan pun bertaut erat dengan pendidikan. Masyarakat berpendidikan rendah (sebagian besar angkatan kerja lulusan sekolah dasar) tak tinggi derajat kesehatannya. Harus kita akui bahwa pendidikan kesehatan sekolah kita pun tidak membekali dan membina anak sekolah untuk mampu hidup sehat. Dua kondisi itu yang menambah berat beban pemerintah sekarang ini karena untuk urusan kesehatan sederhana saja masyarakat tak mampu menolong dirinya sendiri. Kasus mencret, ketidaktahuan memilih makanan bergizi (jajanan mengandung bahan berbahaya, menu harian tak sehat), peliknya mengatasi flu burung, SARS, dan demam berdarah, berakar dari banyaknya ketidaktahuan dan pengabaian masyarakat yang rendah saja wawasan kesehatannya dan minim bekal hidup sehatnya.

Dalam kondisi lemah begitu, bila peran puskesmas yang mestinya melindungi dan membina masyarakat di wilayahnya terus saja mengendur seperti sekarang ini, masyarakat akan terus kehilangan kemampuan mengatasi masalah kesehatannya sendiri. Dan itu yang akan menambah lilitan lingkaran setan dengan bertambah beratnya pikulan hidup. Sekutu kesulitan ekonomi, kurang gizi, dan buruknya sanitasi menjadi beban tak terselesaikan yang harus dipikul kebanyakan masyarakat kita sekarang ini.
***

Untuk itu, revitalisasi puskesmas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Aneka jenis kader kesehatan perlu segera kembali difungsikan, dan posyandu dibangun lagi, selain kegiatan dari, oleh, dan untuk masyarakat seperti dulu pernah ada pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD), yang terorganisasikan lewat Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), perlu dipikir ulang aktivitasnya. Demikian pula dengan bentuk-bentuk kegiatan serupa, seperti Dasawisma, Dokter Kecil, Dana Sehat, dan kegiatan bermanfaat berkonsep PHC yang sudah lama kita abaikan.

Dokter puskesmas bukan lagi hanya mengobati pasien yang datang, melainkan dua pertiga jam kerjanya harus lebih banyak di lapangan membina masyarakatnya. Kalau saja program puskesmas penuh dijalankan dan petugas puskesmas tidak setengah hati bekerja, banyak kejadian kasus kesehatan sebagaimana kita lihat sekarang ini barangkali tak perlu telanjur terjadi.

Lucu kalau di Karawang, daerah lumbung beras, misalnya, sampai ada kasus busung lapar. Atau di mana pun di wilayah sekering apa pun, penyebabnya bukan semata karena ketidakmampuan ekonomi, melainkan ketidaktahuan bagaimana hidup sehat.

Kalau saja di wilayah-wilayah yang rawan terjangkit busung lapar, kurang gizi, atau penyakit menular, kader kesehatan memandu, mestinya selalu ada jalan keluar bagi keluarga kurang gizi.

Dengan kegiatan menanam sayur, buah, dan beternak lele atau belut, seperti dulu ada upaya perbaikan gizi keluarga, penyelesaian masalah gizi (termasuk busung lapar) bukan cuma dengan program pemberian makanan tambahan yang ternyata tidak efektif, dan sampai harus telanjur merawat kasus busung lapar di rumah sakit. Akibatnya, ongkosnya lebih tinggi dibanding bila sejak awal kita menyuluh (komunikasi-informasi-edukasi) keluarga mengatasi sendiri kurang gizinya dengan lebih murah.

Pemberian makanan tambahan dengan dana miliaran rupiah seperti yang dilakukan selama ini terbukti tergolong bertabiat Sinterklas. Soalnya, setelah diberi makanan tambahan beberapa kali, masalah kekurangan gizinya ternyata tidak terobati. Sangat tidak masuk akal memperbaiki gizi keluarga kurang gizi dengan hanya beberapa kali memberi makanan tambahan. Selama keluarga tidak dimampukan memperbaiki kondisi ketidaktahuan pengetahuan gizi (tidak disuluh), mengatasi masalah gizi secara murah, mudah, dan sederhana, belum akan selesai.

Wilayah-wilayah yang terkena busung lapar paling tandus sekalipun bisa diatasi dengan menggiatkan perbaikan gizi keluarga. Dengan memanfaatkan pekarangan rumah, semua kebutuhan sayur dan buah bagi keluarga akan terpenuhi. Kalau bukan dengan tanaman hidrofonik (jika tak punya pekarangan atau tanahnya tandus), beternak belut atau lele di gentong bisa mengatasi kekurangan protein.
***

Masyarakat papa kita kurang diberdayakan untuk itu. Alfin Toffler, tokoh futurology, mengajukan konsep prosumen untuk menjembatani ketidakmampuan sosial secara ekonomi dan rendahnya pengetahuan kesehatan dengan melakukan program mencukupi kebutuhan dasar harian secara mandiri di pedesaan seperti usul di atas.

Kita melihat tanah kita subur. Yang tidak subur dan berlahan sempit dapat memanfaatkan teknologi menanam di atap rumah atau secara hidrofonik. Dulu kita melakukan kegiatan PKMD secara lintas sektoral dengan meminta bantuan berbagai sektor terkait. Misalnya saja sektor pertanian untuk bertanam dan beternak swadaya mencukupi kebutuhan gizi keluarga, selain dari sektor pekerjaan umum untuk air bersih.

Masih banyak yang bisa kita lakukan, tapi belum kita kerjakan untuk menyelamatkan dan menyehatkan ratusan juta rakyat, khususnya mereka yang papa secara ekonomi dan rendah kemampuan hidup sehatnya.

Maka konsepnya saya kira memang harus lebih memberdayakan masyarakat menolong dirinya sendiri, dengan fasilitas seadanya dan anggaran yang masih minim. Untuk itu, perlu gerakan sosial oleh pihak puskesmas dengan konsep PHC-nya, ujung tombak terdepan sektor kesehatan, yang paling dekat dan paling tahu masalah kesehatan masyarakat yang seharusnya dibinanya.

Handrawan Nadesul, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku

tulisan ini disalin dari koran Tempo, 29 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan