Membenahi Keuangan Partai

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mewacanakan kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Wacana tersebut disepakati Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada rapat dengar pendapat yang digelar DPR. 
 
Partai politik mengalami paceklik keuangan akibat gagal menghimpun iuran anggota dan sumbangan publik. Akibat itu, partai membebankan keuangan pada kader yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Walau legal secara hukum, metode pendanaan tersebut memicu persoalan baru salah satunya korupsi. Mengacu pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik, anggota legislatif tingkat nasional dan daerah diwajibkan membayar iuran rutin. 
 
Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 10 hingga 40% dari gaji yang mereka terima sebagai anggota dewan. Iuran tersebut belum termasuk sumbangan apabila partai mengadakan kegiatan seperti musyawarah nasional, ulang tahun, dan pemilu. Jalan pintas untuk menjawab krisis keuangan partai ini disadari Kemendagri dapat memicu kader partai melakukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang menyebut bahwa kasus yang telah inkracht mereka tangani banyak melibatkan kader partai politik. 
 
Menaikkan bantuan keuangan dianggap sebagai cara efektif untuk mulai membenahi partai dan mencegah korupsi. Walau tidak menjamin korupsi oleh kader partai berkurang 100%, cara tersebut dapat menjadi titik potong korupsi politik akibat tingginya biaya keuangan partai. Pembenahan ini juga dapat menjadi pintu masuk pembenahan kaderisasi partai yang kini kuat menimbang isi tas kader. Perlu disadari bahwa korupsi kader partai tidak berangkat dari faktor tunggal. Selain faktor beban keuangan partai yang tinggi, ada faktor lain seperi mengejar keuntungan pribadi. 
 
Karena itu, perhatian Kemendagri sebagai pemerintah terhadap persoalan krusial partai merupakan langkah tepat. Sudah seharusnya negara tidak menutup mata terhadap persoalan yang dapat berdampak buruk pada penyelenggaraan negara. Hal tersebut disebabkan strategisnya peran dan fungsi partai. Bagaimanapun performa partai saat ini, partai merupakan satu-satunya institusi yang diamanatkan oleh konstitusi untuk menyiapkan calon penyelenggara negara. 
 
Partai melalui kadernya di pemerintahan secara langsungdantidaklangsung turut menentukan kebijakan menyangkut penyelenggaraan negara dan kepentingan umum. Pemberantasan korupsi yang efektif pun membutuhkan kontribusi positif partai selaku aktor utama demokrasi perwakilan. 
 
Jangan Setengah Hati 
Persoalan keuangan partai tidak hanya mengenai seretnya penerimaan. Keuangan partai juga berhadapan dengan persoalan tingginya ongkos berpolitik dan akuntabilitas serta transparansi penggunaan keuangan. Persoalan tersebut wajib dijawab oleh negara melalui regulasi tegas agar persoalan keuangan partai terjawab secara tuntas, tidak parsial. 
 
Menjawab persoalan keuangan dengan menaikkan angka bantuan melalui revisi PP Nomor 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik hanya akan menjadi cek kosong yang dikhawatirkan tidak berdampak signifikan pada pembenahan partai. Harapan korupsi oleh kader partai akan berkurang juga akan sulit terealisasi. Pembenahan keuangan partai harus dilakukan secara paripurna, mulai dari uang masuk hingga uang tersebut dikelola dan dipertanggungjawabkan. 
 
Negara harus menjamin bahwa uang yang diberikan negara untuk partai dikelola tepat, sesuai peruntukan. Pencatatan dan pelaporan keuangan partai yang selama ini dikenal buruk juga harus dibenahi. Bukan rahasia bahwa partai selama ini tidak akuntabel dan transparan dalam mengelola keuangannya. 
 
Revisi UU Parpol 
Pembenahan perlu dimulai dengan merevisi regulasi aturan utama keuangan partai, yaitu UU Partai Politik (Parpol). Kelemahan terbesar dalam UU Partai Politik mengenai keuangan adalah tidak ada lembaga yang diberikan wewenang khusus untuk mengawasi keuangan partai. Padahal, pengawasan penting dilakukan terhadap keuangan partai yang minim akuntabilitas, tinggi konflik kepentingan, dan riskan penyalahgunaan. 
 
Tanpa lembaga pengawas dan metode pengawasan yang tepat, berapa pun uang yang dialokasikan negara untuk partai akan berujung pada persoalan yang sama. Memang tidak harus membentuk lembaga baru untuk mengawasi keuangan partai. Negara dapat memaksimalkan peran dari lembaga yang telah ada saat ini seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Partai politik sebagai peserta pemilu legislatif dan pengusung kandidat kepala daerah hingga kepala negara menjadikan institusi tersebut relevan diawasi oleh Bawaslu yang merupakan pengawas pemilu. 
 
Penting bagi negara untuk memastikan pemilu diikuti oleh partai yang bersih dan akuntabel secara keuangan. Selain itu, negara juga perlu memperkuat akuntabilitas keuangan partai melalui mekanisme audit laporan keuangan. Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya melakukan audit terhadap laporan keuangan partai yang bersumber dari bantuan negara. Audit tersebut bahkan hanya merupakan audit kepatuhan atas laporan yang disampaikan partai. 
 
Tidak ada mekanisme verifikasi terhadap realitas penerimaan dan pengeluaran partai politik. Ke depan BPK atau auditor independen yang ditunjuk oleh BPK seharusnya dapat mengaudit seluruh laporan keuangan partai. BPK dapat bersinergi dengan lembaga pengawas keuangan partai untuk memastikan apakah laporan keuangan yang disampaikan partai telah sesuai dengan realitas di lapangan. 
 
Terakhir, UU harus mulai menerapkan sanksi tegas bagi partai. Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah mengaitkan pelanggaran keuangan partai terhadap kepesertaan partai dalam pemilu yang diatur dalam UU Pemilu. Sebagai contoh, apabila ditemukan pelanggaran keuangan partai dalam frekuensi dan tahap tertentu di suatu daerah, partai tersebut dilarang mengikuti pemilu pada daerah tersebut. 
 
Laporan keuangan partai dapat dijadikan sebagai salah satu syarat administrasi partai menjadi partai politik peserta pemilu atau pengusung kandidat peserta pemilu. Pembenahan menyeluruh terhadap keuangan partai ini hanya akan terjadi melalui revisi UU Partai Politik dan mengaitkannya dengan UU lain seperti UU Pemilu dan UU Tindak Pidana Korupsi. 
 
Tentu, langkah ini membutuhkan komitmen kuat dari pihak pemerintah dan DPR selaku penyusun UU. Jangan sampai uang negara untuk partai ditambah tanpa upaya pembenahan yang menyeluruh. 
 
Almas Sjafrina, Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW)
 
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Edisi 13-10-2016 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan