Membela yang Benar?

Dari lima berita tentang korupsi di halaman depan harian ini pada edisi Jumat (17/6), salah satunya benar-benar mengusik rasa keadilan kita semua. Hampir-hampir tidak ada reaksi positif terhadap vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.

Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) Nurdin Halid diadili karena dituduh mengorupsi Rp 169,71 miliar. Oleh jaksa penuntut umum ia dituntut hukuman 20 tahun penjara dan membayar ganti rugi Rp 169,71 miliar.

Untuk ukuran rakyat Indonesia yang belakangan ini sering dilanda wabah penyakit, jumlah uang yang diduga dikorupsi itu sangatlah besar. Maka tuntutan hukuman 20 tahun tersebut, menurut banyak kalangan, sudah termasuk wajar.

Coba dibandingkan dengan tuntutan terhadap Farid Faqih, Koordinator Government Watch. Anda masih ingat bagaimana wajah dan tubuh dia babak-belur dipukuli oleh beberapa anggota TNI?

Farid Faqih didakwa melakukan pencurian dengan pemberatan (tak ada uang miliaran rupiah). Dia dituduh mencuri barang-barang bantuan kemanusiaan bencana tsunami di Aceh dan oleh jaksa dituntut hukuman tiga tahun penjara.

Suka atau tidak, Farid Faqih berada di Aceh juga dalam rangka tugas kemanusiaan. Jika vonis bebas korupsi Nurdin Halid dijadikan preseden, setiap orang pasti yakin majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jantho di Banca Aceh semestinya segera membebaskan Farid.

Atau bandingkan dengan kasus penyuapan yang dilakukan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah. Uang suap yang diserahkan Mulyana kepada bebeberapa petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jumlahnya hanya Rp 150 juta-hanya nol koma sekian persen dari Rp 169,71 miliar.

Jadi mestinya Mulyana kelak divonis bebas juga dong?

Minta maaf, ini hanyalah logika seorang awam yang tak memahami apa-apa yang berbau hukum. Minta maaf juga, apa pun yang terjadi kelak, yang penting kita semua menghormati keputusan para hakim di PN Jakarta Selatan.

Bukan bermaksud apa-apa, banyak orang yang berpendapat begitu. Itu yang saya sebut di awal tulisan: kok tidak ada yang bereaksi positif terhadap keputusan bebas tersebut?

Lagi pula vonis bebas itu pasti membuat cengang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan pimpinan Presiden Yudhoyono baru saja memulai langkah awal dalam soal pemberantasan korupsi.

Presiden baru saja membuka nomor SMS (layanan pesan singkat) yang dimaksudkan untuk menampung keluhan dari masyarakat. Saya yakin, lebih dari 50 persen pengaduan tersebut pasti berkaitan dengan kasus-kasus korupsi.

Lebih dari itu, mungkin bagi Presiden Yudhoyono tugas terpenting selama tahun ini tak ada yang lain kecuali membasmi korupsi. Banyak orang yang tak begitu peduli dengan program-program lain karena semua beranggapan bahwa korupsi merupakan muara dari begitu banyak persoalan yang melilit negeri ini.

SITUASI psikologis pascavonis bebas ini amatlah berbahaya. Hal itu menimbulkan kesan setiap orang gede di republik ini mampu mengatur hukum, sebaliknya orang kecil bisanya cuma melempar sepatu ke meja sang hakim ketua.

Banyak yang marah atau kecewa terhadap vonis tersebut. Seseorang lewat surat elektronik menulis, Oh, kalo gitu kita semua korupsi bareng-bareng aja. Toh, kita pasti bebas!

Hukum dan keadilan di negara ini belum tentu selalu sama. Ribuan lembar kitab-kitan hukum pidana ternyata tidak mampu menjelaskan betapa jauhnya jarak dan waktu antara 20 tahun di penjara dan kebebasan yang merdeka.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), ternyata ada 13 kasus korupsi yang terdakwanya dinyatakan bebas atau lepas dari tuntutan di PN Jakarta Selatan. Kasus-kasus korupsi tersebut melibatkan nama-nama yang beken di republik ini.

Keputusan majelis hakim PN Jakarta Selatan itu bisa menjadi preseden buruk. Jika korupsi senilai ratusan miliar rupiah saja bisa divonis bebas, berarti terdakwa dalam sidang-sidang lain lolos dengan mudah dari hukuman berat.

Bisa dibayangkan bagaimana dampak putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan ini terhadap proses penyidikan megakorupsi di KPU yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perjuangan habis-habisan yang dilakukan oleh seluruh jajaran ketua, anggota, dan karyawan KPK langsung bagaikan api yang padam setelah disirami air.

Lagi pula KPK berada di dalam situasi yang benar-benar susah dalam menghadapi orang-orang KPU. Pertama, telah terbukti berulang kali bagaimana sukarnya mendapatkan pengakuan jujur dari orang-orang yang diperiksa.

Juga bisa dibayangkan bagaimana mestinya menghadapi orang-orang yang berpura-pura. Ada yang mengembalikan uang dari KPU, ada juga yang mengaku itu sekadar hadiah dan selama ini cuma disimpan di kamarnya.

Entah sudah berapa kali KPK mengalami tekanan psikologis seperti didesak berbagai pihak agar Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua KPU, atau Mulyana dikenai tahanan kota saja. Atau bagaimana memeriksa anggota KPU lainnya, Anas Urbaningrum, yang mengundurkan diri dan tiba-tiba menjadi pengurus Partai Demokrat.

Vonis bebas tersebut juga berdampak negatif terhadap upaya pemerintah menegakkan supremasi hukum. Salah satu tujuan penting pemerintah saat ini adalah mengundang masuknya modal asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Semua usaha itu menjadi terasa sia-sia. Sekali lagi, Indonesia di mata para pengusaha asing bukan menjadi tempat yang mampu menghormati supremasi hukum serta menjadi pelindung bagi modal mereka.

Juga tidak kalah menarik bagaimana calon pemodal asing menanggapi vonis tujuh tahun penjara yang dijatuhkan kepada Adiguna Sutowo, terdakwa perkara penembakan yang mengakibatkan matinya seseorang. Menurut hakim, vonis hukuman penjara seumur hidup dipotong menjadi tujuh tahun karena yang bersangkutan masih muda.

Selain itu juga karena pemberitaan perkara sang public figure tersebut di media massa sudah merupakan hukuman moral bagi terdakwa dan keluarga. Terserahlah!

Tiba-tiba di kuping saya terngiang lirik lagu patriotis: maju tak gentar, membela yang benar. Atau membela yang...? (e-mail: bas2806@kompas.com)

Tulisan ini merupakan kolom Budiarti Shambazy di Kompas, 18 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan