Membela Integritas KPPU

PEKAN ini, media cetak dan elektronik diramaikan oleh penangkapan M. Iqbal, salah seorang anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Billy Sindoro, mantan Presdir PT First Media, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Aryaduta (Selasa, 16 September 2008). Keduanya tertangkap tangan saat melakukan transaksi uang di hotel tersebut.

Pasca penangkapan itu, berbagai komentar bermunculan terkait dengan KPPU. Ismet Hasan Putro, ketua Masyarakat Profesional Madani, menyatakan bahwa putusan KPPU yang dalam proses sebelum dan sesudah kelahirannya dibumbui aroma transaksional atau suap seharusnya dianulir. Hal tersebut harus dilakukan guna melindungi kepentingan negara dan masyarakat (Koran Jakarta, Kamis 18 September 2008).

Sofyan Wanandi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa yang terjadi itu membuat dirinya tidak percaya lagi pada putusan-putusan KPPU. Kalau dunia usaha sudah tidak percaya pada KPPU, dia menanyakan urgensi lembaga tersebut (Media Indonesia, Jumat 19 September 2008).

Bahkan, Fraksi PDIP yang diwakili anggotanya, Hastyo Kristyanto, berniat melakukan berbagai kajian terkait dengan putusan-putusan KPPU.

Putusan KPPU

Putusan KPPU bukanlah sesuatu yang bersifat final. Pihak yang merasa dirugikan oleh putusan KPPU bisa mengajukan keberatan ke pengadilan negeri (pasal 44 ayat (2) UU No 5/1999). Dalam proses keberatan di pengadilan negeri tersebut, KPPU adalah pihak yang beperkara, sehingga kedudukannya sejajar dengan pihak terlapor (Peraturan Mahkamah Agung No 01/2003).

Dengan demikian, seyogianya jelas bagi kita, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan KPPU dapat mengajukan keberatan dan melanjutkan proses pencarian keadilan di pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung.

Bila beberapa pengamat atau praktisi kemudian menganggap bahwa putusan-putusan yang dikeluarkan KPPU seakan-akan cacat, anggapan tersebut harus diluruskan. Masih ada proses hukum yang cukup panjang untuk menyatakan bahwa putusan KPPU tersebut salah secara substansi.

Jadi, pihak-pihak yang ingin berkomentar tentang KPPU, termasuk kalangan dunia usaha dan pers, seyogianya memahami porsi putusan KPPU dalam hukum beracara di Indonesia. Dengan begitu, sistem hukum persaingan usaha yang perlahan mulai dirintis tidak runtuh.

Kalaupun akan diadakan kajian lebih jauh terhadap putusan-putusan KPPU, seyogianya itu dilakukan oleh lembaga yang benar-benar independen. Dan yang terpenting, metode yang digunakan haruslah metode penelitian hukum murni yang mendasarkan diri pada mekanisme peraturan perundang-undangan. Bukan menggunakan metode penelitian sosial seperti analytical hierarchy process atau metode lain yang cenderung menguantitatifkan data-data kualitatif.

Mengapa? Sebab, ada hal yang mendasar pada putusan KPPU sebagai sebuah produk hukum yang merujuk pada peraturan-peraturan yang telah ada terkait dengan dasar hukum, konsistensi, koherensi putusan yang dilakukan dengan berbagai peraturan lain, baik berupa UU maupun aturan-aturan yang bersifat sektoral.

Putusan KPPU bukanlah kebijakan yang termasuk putusan tata usaha negara, sehingga putusan tersebut bukanlah objek tata usaha negara. Dengan demikian, tidak bisa diperkarakan di pengadilan tata usaha negara.

Integritas KPPU

Sejak 2000 hingga saat ini, KPPU telah mengeluarkan sekitar 80 putusan dan berbagai masukan kepada pemerintah (baca instansi terkait) dalam bentuk positioning paper. Berbagai output yang dikeluarkan KPPU adalah hasil institusi/lembaga, bukan merupakan produk pribadi.

Semua itu, termasuk daftar perkara yang ada, dimuat dalam website KPPU (www.kppu.go.id) dan bisa diakses setiap saat, termasuk salinan putusannya. Masa ini adalah periode kedua keberadaaan lembaga tersebut. Bahkan, KPPU adalah lembaga penegak hukum yang ''tidak mempunyai'' daya paksa selayaknya KPK atau penegak hukum lain. Namun, bisa kita lihat betapa berbagai kalangan, termasuk dunia usaha, parlemen, atau kalangan akademisi, sangat respek terhadap keberadaannya.

Masih segar di ingatan kita bagaimana tokoh reformasi Amien Rais menyematkan penghargaan kepada KPPU (11 Desember 2007). Kala itu, Amien mewakili Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) Jakarta, Perhimpunan Jurnalis Indonesia, dan Komite Nasional Penyelamat Industri Strategis atas keberanian KPPU mengeluarkan putusan yang menyatakan Temasek bersalah atas monopoli PT Indosat dan PT Telkomsel.

Kejadian di Aryaduta, Selasa lalu, tidak berarti runtuhnya integritas KPPU secara keseluruhan. Quick survey kecil-kecilan yang dilakukan penulis menunjukkan, budaya jujur penuh wibawa masih dijunjung tinggi oleh institusi yang dipenuhi mantan aktivis mahasiswa tersebut.

KPPU, KPK, dan Budaya Bangsa

Kehidupan berbangsa dan bernegara republik ini berada dalam ancaman. Satu per satu sendinya roboh. Sederet kasus yang melibatkan pejabat negara merupakan cermin kita semua. Banyak kalangan berpendapat bahwa Indonesia sedemikian parah dengan terbukanya berbagai kasus korupsi.

Namun, bila kita melihat masa lalu, akan tampak di hadapan kita masa depan Indonesia yang gilang-gemilang. Bukankah terbongkarnya begitu banyak kasus korupsi menunjukkan semakin banyak dan kuatnya anak bangsa yang antikorupsi?

Bukan hanya individu, tentunya berbagai institusi milik pemerintah maupun masyarakat bahu-membahu untuk bersama memberantas para koruptor. Perlahan namun pasti, kekuatan antikorupsi bertambah kuat. Biarkanlah KPPU sebagai institusi layaknya KPK atau PPATK melaksanakan tugas dan fungsinya. Integritas lembaga-lembaga independen tersebut harus tetap kita bela dan tegakkan.

Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah belum jelasnya kelembagaan KPPU. Hal tersebut tentu berpengaruh pada penetapan anggaran, honor (bukan gaji) para pegawainya, serta kemampuannya untuk melengkapi segala sarana dan prasarana. Dibutuhkan juga kepedulian lebih untuk masalah kelembagaan KPPU itu agar tidak lagi terombang-ambing oleh anggaran seperti delapan tahun perjalanan yang telah dilaluinya.

Akhirnya, bila memang M. Iqbal melakukan tindak tercela, KPPU secara institusi dan putusan-putusannya tidaklah batal atau cacat secara hukum. Demi persaingan yang sehat di republik ini, demi kesejahteraan rakyat, mari kita bela integritas KPPU!

* Moh. Firdaus Rumbia, peneliti di Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu)

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan