Membangun Zona Bebas Korupsi

Indonesia betul-betul menjadi negeri para koruptor.

Indonesia betul-betul menjadi negeri para koruptor. Setidaknya, melihat perkembangan pembongkaran kasus-kasus korupsi dalam beberapa waktu terakhir, rasanya hampir tidak ada institusi publik yang bebas dari (indikasi) praktek korupsi.

Secara horizontal, praktek korupsi menyebar ke semua ranah kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sementara itu, secara vertikal, praktek korupsi terjadi dari tingkat pusat sampai level paling rendah di daerah. Bahkan banyak gejala memperlihatkan bahwa praktek itu juga terjadi pada institusi publik yang nonnegara.

Salah satu kasus korupsi di institusi publik yang paling banyak mendapat sorotan adalah kasus korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kasus korupsi KPU menarik karena indikasi korupsi dilakukan oleh oknum yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan birokrasi. Dengan perbedaan latar belakang itu, kasus korupsi KPU memperlihatkan bagaimana kolaborasi antara cendekiawan, aktivis, dan birokrat dalam korupsi. Kolaborasi itu semakin luas karena uang panas KPU juga mengalir sampai ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Contoh lain kekuasaan yang cenderung korup juga dapat dibuktikan dari terungkapnya kasus penggunaan Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama. Kasus DAU memperlihatkan betapa bobroknya mentalitas pejabat di negeri ini. Pejabat dengan begitu gampangnya menggunakan dana umat untuk kepentingan pribadi. Selain karena aji mumpung, tidak ada alasan yang dapat membenarkan pejabat menggunakan DAU untuk menunaikan ibadah haji. Sama dengan kasus korupsi KPU, berdasarkan hasil penyidikan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dana haji ini mengalir sampai ke DPR (Koran Tempo, 22/6).

Tidak hanya contoh di atas, praktek korupsi yang terjadi di institusi penegak hukum juga menarik untuk disimak lebih jauh. Setidaknya kasus tertangkap tangannya Tengku Syaifuddin Popon, pengacara Abdullah Puteh, dapat menjelaskan bagaimana permainan uang dalam proses peradilan.

Bagi kalangan yang intens mencermati perkembangan dunia peradilan kita, kasus Popon sekadar memperkuat sinyalemen selama ini bahwa penyelesaian kasus korupsi justru membuka ruang terjadinya praktek korupsi baru. Artinya, institusi penegak hukum (polisi, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara) tidak dapat dikatakan bebas dari praktek korupsi. Dalam banyak kasus, faktor nonhukum sering menegasikan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat. Bisa jadi faktor itu pula yang menyebabkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Nurdin Halid.

Selain di tingkat pusat, praktek korupsi di daerah tidak kalah hebatnya. Selama tiga tahun terakhir, kepada kita selalu disajikan berita tentang meluasnya praktek korupsi. Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah tidak sepenuhnya memberikan nilai positif dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Penguatan peran DPRD yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan horizontal melalui mekanisme checks and balances terperangkap dalam pola hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif. Hubungan yang demikian menyebabkan pemegang kekuasaan daerah kehilangan kepekaan dalam menyahuti kepentingan publik yang lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, masih adakah harapan untuk memberantas praktek korupsi? Sekalipun sudah begitu meluas, saya optimistis, praktek korupsi masih bisa diberantas. Optimisme ini tidak hanya karena prinsip jangan pernah menyerah untuk memberantas korupsi, tapi lebih kepada dasar pemikiran bahwa selalu ada cara dan celah untuk memberantas korupsi.

Salah satu cara yang patut dipertimbangkan untuk menghambat laju praktek korupsi adalah membangun zona (jejaring) antikorupsi di setiap institusi negara. Pembangunan itu didasari pemikiran bahwa masih ada individu yang tidak ingin melakukan korupsi.

Salah satu institusi negara yang paling potensial membangun zona bebas korupsi adalah DPR. Dasar pemikirannya, sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR menjadi titik sentral pusaran mekanisme ketatanegaraan. Dalam pandangan Jeremy Pope (2003), sebagai badan pengawas, parlemen adalah pusat perjuangan untuk mewujudkan dan memelihara tata kelola pemerintahan yang baik untuk memberantas korupsi. Dalam konteks itu, DPR amat mungkin menggunakan jenjang ketinggian otoritas lembaga mereka untuk memerangi koruptor.

Sebagai wakil rakyat, semestinya anggota DPR menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi, karena secara moral mereka harus menjadi yang pertama untuk terikat dengan semua produk hukum yang telah dihasilkan. Apalagi setelah dilakukan amendemen UUD 1945. Dalam kerangka normatif-konstitusional dan praktek ketatanegaraan, posisi DPR menjadi jauh lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika otoritas yang demikian digunakan secara positif, posisi dominan wakil rakyat menjadi sangat potensial untuk memerangi praktek korupsi.

Apalagi selama ini publik yakin bahwa tidak semua anggota DPR terlibat dan mau melakukan korupsi. Sayangnya, mereka yang tidak terlibat belum pernah bergabung dalam sebuah kelompok yang secara kolektif menyuarakan antikorupsi (voice of anticorruption) dari dalam DPR.

Sampai sejauh ini, Individu-individu yang antikorupsi tersebut gagal mengembangkan kesalehan personal menjadi kesalehan sosial. Akibatnya, publik sulit membedakan secara jelas antara anggota DPR yang korup dan anggota DPR yang antikorupsi.

Pembentukan zona bebas korupsi tidak hanya memudahkan publik mengidentifikasi perilaku korupsi di DPR, tapi juga dapat menjadi forum untuk menjaga idealisme agar tidak terpengaruh individu yang korup.

Biasanya orang yang berbeda dari kecenderungan yang berlaku umum akan kesepian atau tersingkir dari komunitas mayoritas. Kalau individu-individu yang antikorupsi terhimpun dalam sebuah wadah, mereka akan punya kekuatan untuk mengembangkan agenda pemberantasan korupsi dan membangun jaringan dengan lembaga lain.

Melihat luasnya praktek korupsi di negeri ini, zona bebas korupsi tidak cukup hanya dibangun di lembaga perwakilan rakyat. Di jajaran eksekutif, misalnya, janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi dapat dijadikan sebagai titik berangkat untuk membentuk zona bebas korupsi.

Hal yang sama dapat dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan proses penegakan hukum, misalnya membentuk kaukus hakim antikorupsi, kaukus jaksa antikorupsi, dan kaukus polisi antikorupsi.

Kalau di semua institusi publik terdapat zona antikorupsi, semua zona segera membentuk jejaring untuk menghadapi para koruptor. Artinya, dengan jejaring itu kita masih bisa optimistis bahwa praktek korupsi masih bisa dilawan.

Saldi Isra, Analis dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 25 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan