Membagi Kekuasaan Kehakiman
Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dan kini memasuki tahap pembahasan oleh DPR serta pemerintah. Rancangan ini akan mengubah kekuasaan kehakiman sekarang karena membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman kepada lembaga lain.
Yang pertama-tama harus digarisbawahi adalah independensi kekuasaan kehakiman harus dijaga. Mengapa? Pertama, Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 mengatakan "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan", sehingga lembaga ini perlu dijaga sedemikian rupa, jangan sampai ada pihak lain yang mengintervensi sesuai dengan ajaran Trias Politica-Montesqueu (sistem pembagian kekuasaan negara). Untuk menjaga martabat dan wibawa kekuasaan kehakiman itu, pemerintah telah membentuk sebuah lembaga Komisi Yudisial (KY) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22/2004 tentang KY.
Kedua, Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan "Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK)". Dengan dasar ini, tidak ada landasan hukum sedikit pun bagi pemerintah dan DPR untuk membagikan tanggung jawab kepada lembaga yudikatif (MA) di luar kekuasaan kehakiman. Jika pemerintah berkehendak membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman selain kepada MA dan MK, menurut penulis, ubah dulu Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Diadakannya sistem satu atap lembaga kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung merupakan kesepakatan reformasi untuk mengembalikan kemurnian sifat independensi kekuasaan kehakiman yang mandiri, yang selama ini terabaikan oleh pemerintah. Jika masih ada produk undang-undang lain yang bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang dibawahnya dengan sendirinya akan batal demi hukum atau setidaknya bisa dibatalkan lewat pengajuan materiil ke MK.
Buktinya, untuk memurnikan independensi kekuasaan kehakiman tersebut dari segala campur tangan pemerintah dan legislatif, termasuk pihak lain, presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan umum, tata usaha negara dan agama ke MA. Yang selama ini dipegang oleh Kementerian Kehakiman (Kementerian Hukum dan HAM), kini telah dipegang seutuhnya oleh lembaga yudikatif, yakni MA.
Ada alasan bahwa kekuasaan kehakiman yang ditumpuk pada satu titik di MA membuat beban berat bagi MA dalam manajemen hakim dan perkara. Sehingga, idealnya aspek manajemen hakim dibagi dengan lembaga independen lain untuk mencegah kekuasaan absolut di satu lembaga. Alasan ini haruslah ditolak karena pembagian kekuasaan kehakiman tidak menjamin tidak akan ada lagi masalah di lembaga yudikatif (MA).
Jika kekuasaan kehakiman yang dipegang MA akan dibagi-bagikan kepada lembaga independen lain, apakah lembaga yudikatif, seperti MK, atau lembaga legislatif dan eksekutif akan dibagi-bagikan juga tanggung jawabnya kepada lembaga independen lain? Lembaga mana di Indonesia ini yang administrasi dan manajemennya sempurna 100 persen? Hemat penulis, jika ada kekurangan di MA, bukan berarti lembaganya yang diobok-obok, tapi mari kita berpikir jernih untuk mencari solusi tanpa harus merombak Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan turunannya yang masih berlaku.
Kewenangan kekuasaan kehakiman, baik secara teknis peradilan maupun administrasi peradilan, dipegang MA yang memiliki dasar hukum. Pertama, konstitusi dan UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004. Kedua, putusan MK tertanggal 7 Oktober 2015, yang telah mencabut kewenangan KY di bidang perekrutan hakim pada tingkat pertama.
Jika pemerintah dan DPR berinisiatif mengadopsi semangat pembagian kekuasaan kehakiman, seperti dalam hal perekrutan dan promosi serta mutasi hakim, hemat penulis, campur tangan dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman tersebut justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Dengan demikian, menyangkut pembagian kekuasaan kehakiman dan usia para hakim yang rencananya akan diturunkan dan dilakukan periodisasi sebaiknya tidak perlu dimasukkan ke RUU Jabatan Hakim. Selain perubahan itu akan bertentangan dengan UUD 1945, hal tersebut akan kontradiktif dengan putusan MK terkait dengan dikabulkannya usia hakim pajak, tanpa periodisasi yang telah disetarakan dengan usia hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata usaha negara yang maksimal 67 tahun. Dengan diturunkannya usia para hakim hingga hakim agung akan berdampak bagi perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Peradilan Umum, Agama, Tata Usaha Negara, dan Militer, yang masih menetapkan usia pensiun para hakim tingkat pertama pada 65 tahun, hakim tingkat banding 67 tahun dan hakim agung 70 tahun.
Penurunan usia hakim dan periodisasi setiap lima tahun tidak akan menyentuh persoalan terhadap peningkatan kinerja para hakim. Hal ini justru akan merosotkan kualitas putusan hakim karena keahlian para hakim yang bertugas nantinya mayoritas kurang memiliki kemampuan di bidang teknis perkara. Hemat penulis, yang menjadi fokus pada RUU Jabatan Hakim ini sebaiknya menyangkut kesejahteraan dan keamanan para hakim dan status jabatannya sebagai pejabat negara yang selama ini terabaikan oleh pemerintah.
Binsar M. Gultom, Dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 29 November 2016, dengan judul "Membagi Kekuasaan Kehakiman".