Membaca APBN 2006

Tentunya bukan tanpa alasan anggota-anggota parlemen kita yang terhormat mengagendakan pengesahan RAPBN 2006 menjadi UU APBN 2006 pada hari Jumat, 28 Oktober 2005.

Hari tersebut adalah hari efektif terakhir sebelum memasuki masa liburan panjang Lebaran. Rakyat selalu bereaksi keras terhadap pengesahan APBN yang tak pernah mencerminkan kehendak publik. Reaksi lebih keras diprediksi muncul lagi dalam merespons rencana pengesahan RAPBN 2006. Setelah dibebani dua kali kenaikan harga BBM di tahun 2005 (pada bulan April dan Oktober 2005), rakyat kembali harus menanggung beban lebih berat pada tahun 2006 dengan membengkaknya beban biaya birokrasi pejabat-pejabat negeri ini. Dalam RAPBN 2006 (yang telah disahkan menjadi APBN 2006) dianggarkan kenaikan tunjangan untuk anggota DPR serta peningkatan anggaran untuk Kantor Kepresidenan dan Kantor Wakil Presiden.

Untuk itu, dipilihnya tanggal 28 Oktober 2005 adalah demi memperpendek reaksi rakyat yang sebenarnya sudah terakumulasi marahnya dan mengalihkannya dengan kesibukan mudik Lebaran yang memang menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia. Tulisan ini kembali ingin mengingatkan bahwa APBN 2006 yang disetujui secara faith accompli ini masih mengandung banyak kejanggalan yang terus harus dipertanyakan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, format APBN 2006 masih belum memperlihatkan perubahan yang signifikan sebagai state budget yang pro-poor yang seharusnya mengalokasikan secara proporsional anggaran untuk kebijakan penanggulangan kemiskinan lewat penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas pembangunan manusia. Walau berulang kali Pemerintah RI menegaskan komitmen penanggulangan kemiskinan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals), APBN 2006 tidak memberi perhatian prioritas terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat miskin. APBN 2006 sama sekali tidak memberikan komitmen berapa persen penduduk miskin dan pengangguran yang akan dikurangi dan berapa besar anggarannya. Padahal, dengan mencantumkan indikator pengurangan kemiskinan, sangat penting untuk menilai keberhasilan pelaksanaan anggaran.

Secara kasatmata, mata anggaran untuk sektor-sektor yang terkait langsung dengan pembangunan manusia (human development) dan penanggulangan kemiskinan hanya mendapat alokasi minoritas (anggaran untuk pendidikan hanya Rp 10,849 triliun dan untuk kesehatan hanya Rp 37,830 triliun) dibandingkan dengan alokasi belanja rutin pembangunan yang sebagian besar dihabiskan untuk pembiayaan alat-alat birokrasi dan pembayaran utang luar negeri. Bahkan, rakyat makin dibebani dengan pencabutan subsidi BBM yang berimplikasi bukan saja pada kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan beban hidup dan kemerosotan kualitas hidup. Bahkan, dalam APBN 2006, alokasi subsidi BBM makin mengecil. Dengan demikian, pada tahun 2006 tidak ada jaminan bahwa harga BBM tidak dinaikkan lagi.

APBN 2006 ini juga masih mengindikasikan ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Pos anggaran untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri bahkan makin membengkak. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa tidak ada tindakan yang signifikan dari Pemerintah Indonesia dalam hal pengelolaan utang luar negeri. Selama tidak ada kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan utang luar negeri dalam bentuk pengurangan/penghapusan utang, APBN akan terus-menerus terbebani utang luar negeri.

Pos anggaran pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri meningkat tajam pada tahun 2006. Jika pada APBN 2004 sebesar Rp 111,072 triliun dan APBN-P 2005 sebesar Rp 93,954 triliun, maka dalam RAPBN 2006 dianggarkan sebesar Rp 133,853 triliun. Tahun 2006 memang merupakan tahun jatuh tempo untuk pembayaran utang luar negeri. Besarnya pos untuk utang luar negeri juga akibat pendeknya jangka waktu moratorium utang luar negeri yang hanya berdurasi satu tahun. Ini merupakan kegagalan Pemerintah Indonesia dalam merespons tawaran moratorium utang dari beberapa negara donor sebagai bagian dari upaya rekonstruksi Aceh pascatsunami. Dengan tawaran ini, seharusnya Pemerintah Indonesia berani menawarkan debt relief/debt cancellation atau setidaknya mendesakkan jangka waktu yang panjang untuk moratorium utang.

Sebagai sebuah negara yang baru saja meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan memiliki komitmen untuk pencapaian Millennium Development Goals, sudah seharusnya ada perubahan mendasar dalam penyusunan APBN. APBN harus menjadi alat operasionalisasi kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan tetap mempertahankan subsidi untuk pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar serta proteksi untuk sektor pertanian dan pedesaan. APBN juga harus bisa dipakai sebagai pijakan kebijakan redistribusi aset, menggerakkan ekonomi sektor riil, dan penciptaan lapangan kerja.

Alih-alih mengoherensi APBN dengan komitmen-komitmen internasional tersebut, APBN 2006 malahan telah mengingkari konstitusi. Salah satu bukti nyata pengingkaran tersebut adalah pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 19 Oktober 2005 yang telah menetapkan putusan yang mewajibkan Pemerintah RI dan DPR mengalokasikan minimal 20 persen dari total APBN untuk sektor pendidikan. Namun, dalam APBN 2006, alokasi untuk sektor pendidikan hanya berkisar 12 persen. Dengan demikian, Pemerintah RI dan DPR telah bersekongkol melawan konstitusi.

APBN 2006 bahkan makin membebani rakyat dengan menargetkan peningkatan penerimaan dari sektor pajak yang dipungut dari rakyat sebesar 21,4 persen. Target ini memaksa Pemerintah Indonesia memperbesar jumlah wajib pajak. Bahkan, rakyat miskin yang sudah terbebani pencabutan subsidi dan kenaikan harga yang tak terkendali juga tak lepas dari pembebanan pajak. Teorinya, jika rakyat bayar pajak, rakyat berhak mendapat pelayanan dari pemerintah. Namun, dalam kenyataannya, pembebanan pajak ini tidak diimbangi dengan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan