Memantau Anggaran Publik
Secara umum, anggaran baik anggaran perusahaan, anggaran negara, anggaran daerah atau anggaran lembaga-lembaga lainnya dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijaksanaan untuk suatu periode masa yang akan datang. Anggaran bagi sektor publik meliputi anggaran bagi sebuah negara, suatu daerah otonom atau badan usaha milik negera atau akan lebih mudah disebut dengan anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu.(1)
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara atau daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan datang, namun karena sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah. Selain itu karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.(2)
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat sendiri. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak.(3) Bagi Indonesia dan bagi daerah-daerah kabupaten atau kota dan propinsi di Indonesia prioritas anggaran publiknya hingga 70-80%-nya digunakan untuk membiayai gaji dan fasilitas birokrasinya sedangkan yang kembali kepada rakyat dalam bentuk anggaran pembangunan baru 30-20% saja. Selain itu mengingat anggaran publik adalah pernyataan sebuah power relation antara kekuatan-kekuatan politik maka ada kemungkinan terjadi politik uang dalam penyusunan anggaran. Oleh karena itu sangat strategis peran pemantauan anggaran yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang ada.
Kondisi yang berubah
Di era otonomi daerah ini penyusunan anggaran (APBD) menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa orde baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas mengalokasikan sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan sekitar 20% bagi daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang ini wewenang untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD sepenuhnya menjadi otoritas daerah.
Bila pada masa orde baru otoritas penyusunan APBD lebih besar ditangan eksekutif, maka di era otonomi daerah ini otoritas penyusunan APBD sepenuhnya ditangan DPRD. Perubahan kondisi ini menimbulkan banyak masalah pertama sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. APBD 2001 harus dijalankan per Januari 2001 namun hingga sekarang besarnya dana perimbangan dari pusat yang akan diberikan kepada daerah belum ditentukan. Diperkirakan DPR dan Pemerintah pusat baru akan menyelesaikannya awal Desember 2000, bila demikian maka daerah akan kesulitan untuk menyusun APBD 2001 secara lebih hati-hati, kedua, bila waktunya sempit sementara tahapan yang harus dilalui dalam menyusun anggaran cukup lama maka dimana kehati-hatian dan partisipasi rakyat dapat dilakukan. Tahapan penyusunan anggaran adalah tahap penyusunan yang dilakukan oleh eksekutif untuk anggaran pemerintah daerah dan oleh legislatif untuk anggaran DPRD. Penyusunan ini memerlukan waktu 6 bulan. Setelah disusun, RABPD pemerintah daerah disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD untuk selanjutnya dibahas dan disahkan. Periode pembahasan dan pengesahan ini memerlukan waktu hingga 3 bulan selanjutnya setelah disahkan menjadi Peraturan daerah baru APBD resmi berlaku hingga satu tahun mendatang untuk dipertanggungjawabkan kepada DPRD.
Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Porsi belanja itu pun tidak meningkat banyak dibandingkan pada masa orde baru dahulu. Bagi daerah kaya seperti Riau, Kaltim atau Papua kemungkinan peningkatan belanja hingga 20% namun bagi daerah miskin seperti DI Yogyakarta dan lain-lain paling banyak hanya naik 3-5% saja. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Sementara itu pemerintah daerah selaku eksekutif memiliki kemampuan dan jajaran birokrasi untuk melakukan penyusunan anggaran daerah. Mekanisme yang selama ini dilakukan oleh eksekutif adalah melalui Rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) dari tingkat propinsi hingga ke desa. Mekanisme ini masih jauh dari konsep partisipasi publik dan apalagi transparansi serta akuntabilitas. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 800% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri. Hal ini tentu saja sama berbahayanya dengan jerat utang luar negeri yang melanda pemerintah pusat.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan pertama, adanya jargon dari pemerintah-pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Struktur PAD yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil BUMD dan lain-lain yang sah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorsi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun. Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada. Selain itu melihat kondisi masyarakat yang sedang kesulitan karena subsidi-subsidi dihapus maka akan lebih baik bila ekstensifikasi pajak dilupakan terlebih dahulu. Kecenderungan kedua adalah, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk dirinya sendiri, namun tidak ada pengawasan yang sistematis dari manapun kecuali rakyat berkesadaran untuk melakukannya. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
Bagaimana Memantau
Dengan melihat perubahan diatas maka memantau anggaran adalah strategis paling tidak untuk dua hal pertama memantau efektifitas prioritas kebijakan yang dipilih oleh pemerintah. Tentu saja kebijakan akan semakin efektif jika semakin sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kedua, memantau penyimpangan yang mungkin terjadi dalam setiap tahap penganggaran dalam siklus anggaran. Namun sebelum melakukan pemantauan, penting bagi kita untuk mengetahui struktur APBD/APBN. Dengan dua tujuan pemantauan diatas maka terdapat dua strategi besar pemantauan anggaran publik yaitu public argument dan budget process monitoring.
Dengan perspektif bahwa anggaran publik adalah power relation antar kekuatan dalam masyarakat maka public argument adalah strategi yang harus diambil untuk memberikan prioritas alternatif yang dibutuhkan oleh rakyat dalam anggaran. Argumen prioritas menurut rakyat ini bisa hasil riset kecil-kecilan di daerah mengenai pertama komparasi antara pengeluaran rutin untuk menggaji dan memfasilitasi birokrasi dengan pengeluaran pembangunan untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat, kedua mengajukan usulan atas pajak yang lebih adil misalnya Pajak Penerangan Jalan yang ada di tiap Kabupaten dan Kota yang ternyata tarif untuk rumah tangga lebih mahal dari pada tarif untuk industri atau instansi pemerintah. Atau pajak kendaraan bermotor yang diatur oleh Permendagri 2/1996 dimana insentifnya dibagikan kepada aparat pemungut dan DPRD padahal pajak ini adalah captive market sehingga tidak perlu insentif dalam pemungutannya. Ketiga mengajukan usulan atas perbaikan fasilitas publik dengan mempertimbangkan pendapatan yang didapat dan kualitas pelayanan publik yang tersedia. Misalnya pendapatan dari pajak penerangan jalan hanya 28-33% saja yang digunakan untuk membiayai fasilitas penerangan jalan padahal kualitas penerangan jalan di desa-desa buruk dan semua pelanggan listrik wajib membayarnya. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya untuk mempengaruhi prioritas yang diambil oleh DPRD bersama pemerintah.
Pada era otonomi daerah ini, kecenderungan meningkatkan PAD dengan melakukan eksetensifikasi pajak sangat sering dilakukan oleh pemerintah daerah. Kecenderungan ini berbahaya karena akan lebih membebani rakyat. Pengingkaran negara terhadap rakyat sudah banyak dengan ditiadakannya subsidi-subsidi seperti BBM, pendidikan, beras, minyak goreng dan lain-lain. Oleh karena itu ekstensifikasi pajak akan lebih membebani rakyat. Untuk itu strategi meningkatkan PAD yang dapat dilakukan oleh daerah adalah dengan melakukan ekstensifikasi pajak atas BUMN milik pusat yang beroperasi di daerah dan menggunakan sumber-sumber daerah. Misalnya Perum Pegadaian, kontribusi pendapatan perum ini terhadap APBD sangatlah kecil namun sangat besar artinya bagi daerah. Oleh karena itu DPRD di Indonesia perlu berjaringan untuk mengalihkannya menjadi milik daerah.
Sedangkan strategi budget process monitoring dapat dilakukan dengan memantau setiap tahapan dalam siklus anggaran. Pemantauan ini paling mudah adalah memantau rapat anggaran di DPRD mulai dari tahap penyusunan yang biasanya berlangsung dari bulan Mei-Oktober setiap tahunnya, tahap pengesahan mulai Oktober-Desember setiap tahunnya, tahap pelaksanaan mulai Januari-Desember dan tahap pertanggungjawaban antara Januari-Maret. Pemantauan oleh masyarakat sipil dilakukan pada setiap titik kritis diatas.
Tentu saja upaya pemantauan ini perlu didahului dengan menjadikan anggaran sebagai isu publik sehingga semua warga masyarakat merasakan urgensi anggaran publik bagi kesejahteraannya. Upaya ini tentu saja harus dilakukan melalui kampanye publik yang masif dan jejaring yang kuat antara sesama elemen masyarakat sipil. Barangkali yang lebih baik untuk dilakukan pertama kali adalah membentuk jaringan pemantau kebijakan publik antara elemen masyarakat sipil di setiap kabupaten atau kota. Hal ini disebabkan karena kebijakan-kebijakan publik yang ada seringkali memiliki kendala struktural seperti untuk mengubah sebuah peraturan daerah harus mengubah dulu peraturan pemerintahnya.
Oleh: Rinto Andriono(Pengamat, email: idea@yogya.wasantara.net.id)
--------
Footnote
1)John F. Due, Keuangan Negara, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975
2) Revrisond Baswir, Akuntansi Pemerintahan Indonesia, BPFE, 1997
3) John Samuel (ed), Understanding Budget: As if people mattered, National Centre for Advocacy Studies, Pune, India, 1998. The budget is an articulation of the existing power relations in society.