Memailitkan Yayasan Pak Harto

Masyarakat terperangah ketika pemerintah melalui Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap mantan Pesiden Soeharto. SKPP itu pun telah resmi diterima keluarga Soeharto. Sebuah drama hukum yang dianggap merobek keadilan.

Keluarnya SKPP bagi Pak Harto dilakukan demi hukum, tepatnya demi kepastian hukum,namun tidak bagi keadilan hukum. Karena SKPP telanjur dikeluarkan, berarti jalur hukum pidana untuk mengadili Pak harto sudah menemui jalan akhir.

Namun demi keadilan masyarakat, masih terbuka kemungkinan jalur di luar pidana, yakni melalui jalur hukum keperdataan. Jalur hukum keperdataan tersebut dimaksudkan untuk mengobati keadilan masyarakat. Muara jalur hukum keperdataan adalah persoalan harta kekayaan. Dengan demikian, hasil gugatan keperdataan itu berupa pembayaran ganti rugi dalam sejumlah uang yang diserahkan kepada negara.

Di antara beberapa jalur hukum dalam rezim hukum keperdataan, terdapat satu instrumen hukum yang bisa sangat efektif untuk mengembalikan dugaan kerugian negara yang dilakukan Pak Harto selama 32 tahun menjabat sebagai presiden. Instrumen hukum tersebut adalah mengajukan kepailitan terhadap yayasan-yayasan yang didirikan dan sekaligus dipimpin Pak Harto.

Yayasan-yayasan tersebut dianggap sebagai mesin uang ketika Pak Harto masih menjabat sebagai presiden. Yayasan-yayasan itu pula diduga memiliki aset ratusan miliar rupiah dan bahkan mencapai triliunan rupiah.

Pengajuan kepailitan terhadap yayasan-yasasan Pak Harto itu dilakukan kejaksaan yang bertindak untuk dan atas nama negara dengan berlandaskan demi kepentingan umum.

Kewenangan institusi kejaksaan tersebut secara tegas diatribusikan UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam pasal 2 ayat 2 UU Kepailitan ditegaskan bahwa permohonan kepailitan dapat diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

Penjelasan pasal tersebut mengatakan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh waktu, atau dalam hal lain menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Kepailitan itu bukan masuk dalam acara pidana, melainkan merupakan wilayah acara bidang keperdataan.

Karena masuk wilayah keperdataan, tujuan akhir proses itu adalah berkaitan dengan nilai finansial atau uang dan tidak berkaitan dengan kepidanaan, seperti kurungan atau penjara.

Beberapa Keuntungan
Terdapat beberapa keuntungan menggunakan jalur kepailitan itu untuk mengembalikan uang negara. Pertama, prosedur kepailitan relatif lebih sederhana dan cepat. Dalam UU ditentukan, proses kepailitan di tingkat pertama pengadilan niaga dibatasi maksimal 60 hari. Demikian pula, di tingkat kasasi juga dibatasi maksimal 60 hari.

Berdasar pengalaman penelitian disertasi doktor saya, tidak pernah ditemukan kasus permohonan pailit yang berlarut-larut putusannya sampai melebihi batas waktu yang ditentukan itu, seperti terjadi dalam gugatan perdata biasa.

Proses pailit tersebut dikatakan sederhana karena pemohon pailit (dalam hal kepentingan umum ini kejaksaan) hanya membuktikan secara sederhana (sumir). Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh tempo serta tidak dibayar. Sederhananya ketentuan UU itu bisa dijadikan alat untuk menakut-nakuti mereka yang suka merugikan pihak lain.

Keuntungan kedua adalah proses yang lebih transparan. Sebab, seluruh pencairan harta pailit akan dilakukan kurator. Kurator yang bisa menangani kepailitan tidak hanya terbatas Balai Harta Peninggalan (BHP) saja, tetapi kurator swasta yang kebanyakan pengacara-pengacara papan atas yang biasa menangani perkara hukum secara lebih profesional.

Kurator inilah yang nantinya bertugas mencairkan harta pailit melalui lelang umum. Hasil dari seluruh pencairan budel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya, termasuk negara dalam kasus Pak Harto itu.

Menguntungkan
Bagi pihak Pak Harto, penyelesaian melalui kepailitan juga lebih menguntungkan. Sebab, secara fisik Pak Harto sudah berumur lanjut yang mungkin kurang membutuhkan harta-harta yayasan tersebut untuk menopang hidupnya, sementara negara sangat membutuhkan harta kekayaan itu untuk menyejahterakan masyarakat mayoritas negeri ini, yakni masyarakat miskin. Demikian pula dari sisi hukum agama, barangkali penyerahan harta-harta tersebut sebagai bekal pahala di kemudian hari.

Pengajuan permohonan kepailitan demi kepentingan umum oleh kejaksaan itu memiliki beberapa tantangan. Misalnya, pihak kejaksaan yang harus benar-benar menguasai wilayah hukum keperdataan, khususnya hukum kepailitan tersebut.

Mengapa? Sebab, banyak hal teknis hukum kepailitan yang kurang dikuasai ahli hukum pada umumnya karena banyak hal baru di dalamnya, terlebih para jaksa hanya terbiasa dengan wilayah hukum kepidanaan.

Tantangan lain adalah resistensi dari banyak pihak karena kepailitan demi kepentingan umum merupakan terobosan baru, kendati sudah diatur dalam UU. Sekarang tinggal kemauan politik dari pemerintah untuk menggunakan jalur kepailitan tersebut sebagai solusi untuk mengompromikan kepastian hukum Pak Harto dengan keadilan hukum masyarakat.

M. Hadi Shubhan SH MH CN, pengajar Fakultas Hukum Unair, sedang menyelesaikan penelitian disertasi doktor tentang hukum kepailitan di Pascasarjana Unair

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan