Memacu Keterbukaan BUMN
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan A Djalil mengatakan, salah satu strateginya dalam mengembangkan BUMN ialah memacu peningkatan transparansi pengelolaannya. BUMN yang belum go public pun akan diwajibkan berperilaku seperti perusahaan publik, mengikuti aturan pasar modal.
Semua BUMN, termasuk yang belum mencatatkan sahamnya di bursa, sebetulnya tergolong sebagai perusahaan publik karena dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Karena itulah, semua BUMN akan didorong untuk berperilaku sebagai perusahaan publik yang mengikuti regulasi di pasar modal, kata Sofyan saat menjadi pembicara dalam Indonesia Investor Forum 2 dan Capital Market Expo 2007, Selasa (29/5) di Jakarta.
Artinya, BUMN yang belum masuk pasar modal untuk meraih dana publik akan diwajibkan melaporkan kinerja keuangannya kepada Bapepam. Dengan mengikuti aturan pasar modal, pengelolaan korporasi BUMN akan menjadi lebih transparan, katanya.
Berdasarkan aturan pasar modal, perusahaan tergolong sebagai korporasi publik jika memiliki investor minimal 200 pihak.
Dalam jangka panjang, kata Sofyan, dirinya akan terus mendorong lebih banyak lagi BUMN untuk menjadi perusahaan publik. Dengan menjadi perusahaan publik juga berfungsi memperbaiki struktur kapital dan memungkinkan valuasi BUMN berdasarkan nilai pasar.
Sofyan memaparkan, sebenarnya banyak BUMN yang menyimpan nilai potensial. Namun, potensi nilai tersebut masih sulit direalisasikan selama BUMN belum menjadi perusahaan terbuka.
Dia mencontohkan perbandingan kinerja BUMN perkebunan, yakni PT Perkebunan (PTPN) dengan perusahaan terbuka Astra Agro Lestari (AAL).
Margin bersih AAL pada tahun 2005 mencapai 23,4 persen, sedangkan PTPN hanya 6,7 persen. Sebenarnya, margin pendapatan usaha AAL dengan PTPN tidak jauh berbeda. Namun, pada PTPN terdapat beban operasional yang lebih besar dan aset yang tidak digunakan secara optimal. Apabila kedua hal tersebut dapat direstrukturisasi seperti layaknya korporasi swasta yang sehat, paling tidak tercapai peningkatan nilai 2-3 kali dari nilai BUMN saat ini, katanya.
Pemicu
Saham BUMN selalu menjadi hot issue jika meluncur masuk bursa karena memang selalu ditunggu investor. Kontribusi BUMN terbuka di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sangat signifikan. Sampai akhir tahun 2006, misalnya, kapitalisasi pasar 14 emiten BUMN (termasuk dua BUMN dengan kepemilikan saham pemerintah minoritas) mencapai 40,23 persen dengan nilai Rp 493,26 triliun, dari total nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Angka itu naik hampir dua kali lipat dibandingkan kapitalisasi pasarnya pada tahun 2004 senilai Rp 249 triliun atau 35,8 persen dari total kapitalisasi pasar saham.
Untuk tahun 2007 ada tiga BUMN yang sudah disetujui DPR proses privatisasinya, yaitu Jasa Marga, BNI, dan Wijaya Karya.
Eforia
Selain memacu BUMN masuk bursa (suplai), sisi permintaan di pasar modal juga perlu dibenahi, dalam hal ini semakin banyaknya masyarakat turut mengambil manfaat dari pasar modal.
Memang, eforia pasar modal yang melanda investor ritel di China dan Vietnam belum terasa di Indonesia. Walaupun harga saham terus naik, ternyata tidak terjadi pertumbuhan jumlah investor yang signifikan. China Daily mengutip data dari bursa Shanghai mengatakan, rekening saham di China sudah melewati 100 juta untuk pertama kalinya. Investor China sudah membuka lebih dari 27 juta rekening baru sejak akhir 2006.
Di Indonesia? Jumlah rekening masih seputar 350.000 saja.
Tidak ada pertambahan rekening investor saham secara signifikan, tetapi ada kenaikan pada rekening reksa dana. Kami memang menganjurkan agar investor yang masih tahap belajar berinvestasi melalui reksa dana terlebih dahulu, ujar Direktur Utama BEJ Erry Firmansyah.
Hal ini dibenarkan pula Avi Dwipayana, Direktur Utama Trimegah Securities, salah satu perusahaan sekuritas dengan basis investor ritel yang cukup besar. Menurut dia, harus ada semacam kampanye nasional untuk mengubah paradigma masyarakat dari menabung menjadi berinvestasi. Dahulu keluarga berencana dengan dua anak berhasil karena ada kampanye nasional. Mestinya begitu juga cara mengundang investor ke pasar modal, kata Avi.
Masih ada pandangan bahwa investasi hanya kegiatan orang berduit dan berstatus sosial tinggi sehingga tidak dapat diakses masyarakat kebanyakan. Padahal, berinvestasi seperti di reksa dana bisa dimulai dengan dana Rp 200.000.
Avi mencontohkan Malaysia yang memiliki 4 juta rekening individual dalam waktu sepuluh tahun melalui kampanye nasional. Jumlah yang cukup signifikan dibandingkan penduduk Malaysia yang hanya 25 juta.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmani membagi investor menjadi tiga kelompok. Pertama, investor institusi yang telah memiliki perangkat dan informasi lengkap mengenai pasar modal. Kelompok ini masih sedikit sekali.
Kedua, investor yang telah mengetahui informasi seputar pasar modal. Kelompok menengah ini lebih banyak jumlahnya dari kelompok pertama.
Ketiga, paling banyak, investor yang tidak memiliki banyak informasi. Ini paling rentan terkena isu dan permainan di bursa saham karena tidak memiliki informasi yang benar. Padahal, informasi dapat diakses dari mana-mana, untuk siapa saja. (M Fajar Marta dan Joice Tauris Santi)
Sumber: Kompas, 30 Mei 2007