Meluruskan Sesat Pikir E-KTP

Ribut-ribut soal proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sudah agak mereda. Keributan proyek Kementerian Dalam Negeri senilai hampir Rp 5 triliun itu berpuncak pada saat penentuan pemenang tender tersebut. Semua orang mempermasalahkan proses tendernya, yang konon bermasalah. Sang menteri pun sibuk menangkis berbagai tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. Sang menteri dituduh telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tidak melaksanakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai tidak menghiraukan masukan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sang menteri pun tak kurang cerdik menangkis, dengan mengatakan bahwa sudah sejak awal menggandeng Indonesia Corruption Watch (ICW) dan meminta KPK mengawasi proyek ini.

Sungguh aneh ketika semua meributkan proyek e-KTP, dalam substansi proyek itu sendiri sudah ada kekeliruan pemahaman sejak awal. Kementerian Dalam Negeri salah menafsirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 101 undang-undang ini menyebutkan pemerintah memberikan nomor induk kependudukan (NIK) kepada setiap penduduk paling lambat lima tahun.

NIK tentu sangat berbeda dengan e-KTP. NIK adalah nomor identitas setiap individu yang melekat pada setiap penduduk seumur hidup. Sementara itu, e-KTP adalah identitas penduduk dewasa yang telah berumur 17 tahun dalam bentuk kartu elektronik. Sungguh tidak bisa dimengerti apa yang dipikirkan pemangku kebijakan di Kementerian Dalam Negeri ini.

Dengan mengacu pada undang-undang tersebut, jelas negara harus memberikan jaminan kepastian NIK, bukan ramai-ramai membuat proyek e-KTP. Dengan demikian, sebenarnya NIK seharusnya diberikan setelah pencatatan biodata penduduk dan perekaman sidik jari. NIK ini wajib dicantumkan dalam KTP sehingga bisa dipastikan satu NIK satu KTP. Namun kenyataannya sekarang ini satu orang bisa memiliki tiga KTP, yang artinya juga memiliki tiga NIK. Ini terjadi karena pemerintah memang belum membangun infrastruktur pra-e-KTP secara benar. Pemerintah belum mempersiapkan grand design sistem administrasi kependudukan, grand design sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK), dan pemberian NIK juga belum rampung. Namun pemerintah tiba-tiba telah melangkah jauh membangun grand design e-KTP. Sebuah kesalahan pemilihan kebijakan yang memusingkan.

Dalam berbagai kesempatan, pihak-pihak yang berkepentingan dengan proyek e-KTP selalu mengatakan proyek e-KTP justru untuk membersihkan NIK ganda tersebut. Asumsi yang mereka bangun adalah setiap orang yang membuat e-KTP akan direkam sidik jari dan sidik retina matanya untuk kemudian dicocokkan dengan pemilik sah NIK. Namun kebijakan ini juga keliru. Sebab, kalau melihat target pemerintah, yang pada akhir 2011 akan menyelesaikan pembuatan 67 juta lembar e-KTP, ini artinya hanya terjadi pembersihan terhadap 67 NIK pada 2011. Padahal penduduk Indonesia sekarang sudah lebih dari 370 juta. Dengan begitu, jelas rencana pemerintah membersihkan NIK ganda--yang menjadi pangkal kekacauan administrasi kependudukan di Indonesia--tidak akan menjadi kenyataan.

Potensi korupsi

Dengan melihat begitu getolnya Kementerian Dalam Negeri menggenjot proyek e-KTP, kita bisa menilai Kementerian mengejar proyek semata, bukan membangun sistem administrasi kependudukan ini secara tulus. Hal ini tidak menutup kemungkinan menimbulkan banyak penyimpangan.

Program perbaikan sistem administrasi kependudukan sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu. Secara parsial, Kementerian Dalam Negeri sudah menjalankan proyek-proyek pendukung. Pada 1998, program ini dimulai dengan proyek KTP sistem informasi manajemen kependudukan yang gagal. Kemudian pada 2003-2010 juga disusul dengan proyek-proyek sejenis.

Dalam catatan ICW, misalnya, Kejaksaan Agung telah memproses kasus korupsi sistem informasi administrasi kependudukan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kasus yang menyeret Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Cilacap, pejabat Pemerintah Kabupaten Cilacap, dan dua orang rekanan tersebut diperkirakan merugikan negara Rp 1 miliar lebih. Kemudian korupsi pembangunan jaringan komunikasi SIAK online di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 2007 juga telah memunculkan tindak pidana korupsi, dan sudah diproses hingga di pengadilan. Dengan melihat pelanggaran-pelanggaran dalam proyek e-KTP ini, tidak menutup kemungkinan timbulnya pidana korupsi yang lebih besar di kemudian hari.

Proyek berbahaya

Dengan melihat besarnya nilai proyek e-KTP ini, potensi konfliknya juga tidak kecil. Proyek e-KTP sarat akan kepentingan. E-KTP terkait dengan data semua penduduk Indonesia. Maka proyek ini potensial menjadi obyek rekayasa untuk kepentingan politik pada pemilihan umum. Selain itu, ada aspek keamanan yang seharusnya menjadi perhatian negara. Dalam proyek e-KTP ini, negara harus bisa menjamin kerahasiaan data warganya yang tersimpan dalam keping KTP elektronik. Aspek ini harus dipikirkan dalam pemilihan jenis kartu yang dipakai.

Dengan mengedepankan proyek e-KTP juga terlihat program ini hanya berorientasi mengejar pencarian (keuntungan) proyek secara material. Padahal, ketika pemerintah mengutamakan pembangunan infrastruktur sistem administrasi kependudukan dan sistem informasi administrasi kependudukan, KTP tidak harus elektronik. KTP dengan data yang tercantum yang hanya diketik dengan mesin ketik manual pun jadi, asalkan NIK-nya sudah benar dan valid.

Kegagalan mendasar dalam proyek e-KTP adalah tidak berhasilnya mengintegrasikan banyaknya aspek dalam sistem administrasi kependudukan. Dengan mengutamakan pembuatan e-KTP, berarti semakin menjauhkan upaya mengintegrasikan sistem administrasi penduduk dengan sistem perbankan, sistem pajak, sistem jaminan kesehatan, sistem keimigrasian, dan sistem sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Padahal, kalau tidak dilakukan dengan terburu-buru, dan bisa mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan serta pada akhirnya bisa mengintegrasikannya, proyek ini akan jauh lebih efisien. Pada akhirnya juga, proyek ini akan memberi banyak manfaat kepada bangsa dan negara ini. Indonesia pun akan dilihat sebagai negara yang maju dalam sistem administrasi kependudukannya.

Dengan mengedepankan proyek e-KTP juga terlihat program ini hanya berorientasi mengejar pencarian (keuntungan) proyek secara material.
Lais Abid, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan