Meluruskan Dunia Peradilan [18/08/04]

Berita di sebuah harian nasional tertanggal 9 Juli 2004 membuat saya terkejut. Dalam berita itu disebutkan bahwa suatu majelis hakim diperiksa atas perintah lisan dari Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Pemeriksaan dilakukan setelah majelis tersebut memutuskan lepas dari tuntutan seorang terdakwa. Berita itu juga menyebut adanya instruksi Mahkamah Agung bahwa perkara yang menarik perhatian masyarakat perlu dikonsultasikan dengan atasan hakim terlebih dahulu. Juga digambarkan bahwa selama pemeriksaan, para anggota majelis hakim diisolasi di ruang perpustakaan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang dikunci dari luar.

Luar biasa! Saya menggeleng-gelengkan kepala membaca berita itu. Apa yang terjadi hampir tak bisa dipercaya, tapi setelah mendapat informasi dari berbagai pihak yang kompeten, kabar itu memang benar adanya. Yang membuat saya tidak habis pikir, apakah dibenarkan adanya in-struksi lisan Ketua Mahkamah Agung untuk memeriksa seorang ketua pengadilan tinggi. Lalu, apakah perlu para hakim yang diperiksa harus diisolasi dalam sebuah ruang terkunci?

Sepanjang yang saya tahu dan saya alami, kepada para hakim di Indonesia selalu ditanamkan sikap untuk mandiri dan percaya diri. Berkali-kali tokoh teladan hakim Indonesia almarhum Prof. Dr. Asikin Kusumaatmadja dalam setiap pembekalan kepada para hakim mengatakan adalah tabu bagi seorang hakim untuk berkonsultasi dengan atasan.

Lembaga peradilan jelas tidak seperti lembaga kejaksaan yang bersifat een en ondeelbaar; satu dan tak dapat dipisahkan. Di lembaga kejaksaan dikenal prosedur yang disebut rentut, akronim dari rencana tuntutan. Dengan prosedur ini, sebuah tuntutan oleh jaksa harus dikonsultasikan dulu kepada atasan. Ini berlaku di tingkat kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi, serta Kejaksaan Agung.

Tapi jaksa bukan hakim. Bagi seorang hakim, begitu ia mendapat limpahan berkas dari pimpinan pengadilan dalam hal ini ketua atau wakil ketua, sejak itu pula ia bertanggung jawab sepenuhnya dan diwajibkan menangani perkara tersebut secara profesional. Tentu saja secara akademis ia boleh berdiskusi dengan rekan-rekan sejawatnya untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas dan keyakinan dalam rangka pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan. Tapi, saat mengambil keputusan, ini sepenuhnya harus dia lakukan berdasarkan hukum dan keyakinannya, berdasarkan pengolahan kemampuan intelektual dan hati nuraninya. Ia tidak bisa memutus berdasarkan hukum saja atau berdasarkan keyakinan saja, dua-duanya harus merapat sebagai pisau bermata dua.

Seorang hakim bukanlah seorang superman yang serba sempurna. Sebagai manusia dia sudah tentu memiliki titik kelemahan yang boleh jadi membuat keputusannya melenceng. Tapi koreksi terhadap putusan hakim dapat dilakukan melalui upaya hukum yang tersedia seperti banding, kasasi, peninjauan kembali, ataupun eksaminasi, bukan dengan pemanggilan ataupun pemeriksaan bak memeriksa seorang terdakwa.

Kepada para hakim Indonesia memang haruslah banyak diberikan bimbingan, pembekalan, agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai hakim Indonesia yang sejati. Tapi ini tidak berarti mereka harus diberi pengarahan yang justru membuat mereka kehilangan keberanian, kemandirian, dan hanya berani mengambil keputusan yang sesuai dengan pesan sponsor.

Imunitas seorang hakim dijamin oleh undang-undang. Mahkamah Agung juga sudah membuat surat edaran yang mempertegas imunitas tersebut. Maka, suka atau tidak suka, keputusan seorang hakim haruslah dihormati. Tentu saja, bila dalam keputusan hakim tercium adanya norma yang tidak sedap, bau telah terjadi sogok-menyodok, suap-menyuap, pe-merasan, dan sebagainya, harus di-lakukan tindakan.

Tindakan tak pandang bulu terhadap para hakim ini pernah terjadi medio tahun 70-an. Betapa ngeri dan ketar-ketirnya kami para hakim pada saat-saat itu, melihat kenyataan tindakan-tindakan yang tegas diberikan kepada para hakim, sanksi yang diberikan sampai pada tingkat ketua pengadilan tinggi. Koreksi terhadap para hakim tingkat pertama dan tingkat banding bisa dan boleh saja terjadi, namun harus bersifat mendidik dan pemberian pembekalan yang dahulu sering pada era Senoadji, Asikin Kusumaatmadja, dan Indroharto.

Di masa itu, kami, para hakim, sering dikumpulkan untuk diberi pembekalan bagaimana mencari jalan keluar secara profesional, atau membahas cara mengolah suatu perkara yang kemungkinan bisa terjadi di lapangan. Pertanyaannya, apakah hal seperti itu masih berlangsung sekarang.

Tindakan terhadap para hakim di tingkat pertama atau tingkat banding mungkin saja dilaksanakan. Tapi bagaimana tindakan terhadap putusan hakim di Mahkamah Agung yang kemungkinan juga bersifat kontroversial dan jauh dari rasa keadilan, seperti sering dipaparkan di media massa? (Benjamin Mangkoedilaga, adalah Wakil Ketua Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung)

Tulisan ini diambil dari Majalah Tempo, No. 25/XXXIII/16 - 22 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan