Melindungi Korupsi dengan Inpres

Di tengah gencarnya usaha memberantas korupsi, Departemen Dalam Negeri merancang instruksi presiden tentang penanganan kasus korupsi.

Diharapkan, inpres itu mampu memberdayakan auditor internal dalam penanganan kasus korupsi. Menurut Mendagri, inpres ini dibuat agar tidak ada fitnah dalam dugaan korupsi, tetapi harus ada bukti awal.

Informasi awal yang mengatakan seseorang melakukan korupsi sebaiknya ditindaklanjuti dulu oleh aparat internal. Aparat internal itulah yang menyimpulkan seberapa jauh yang bersangkutan melanggar. Jika ditemukan pelanggaran, akan diserahkan kepada kepala daerah atau penegak hukum.

Inpres ini merupakan tindak lanjut pemerintah atas keluhan gubernur, bupati, dan wali kota yang terganggu atas pemeriksaan dirinya karena dugaan korupsi.

Bertolak belakang
Kebijakan pemerintah itu amat bertolak belakang dengan aturan yang ada. Untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, bangsa ini memiliki beberapa aturan, antara lain, Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Tindak lanjut ketentuan itu adalah dibuat Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN, UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang diperbarui dengan UU No 20/2001, dan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi.

Maka, niat pemerintah untuk mengeluarkan inpres penanganan korupsi jelas bertentangan dengan berbagai aturan itu. Inpres akan membuat penyelenggara negara terlindungi dari kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 disebutkan, definisi Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugasnya terkait penyelenggaraan negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Penyelenggara Negara meliputi: a) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c) Menteri; d) Gubernur; e) Hakim; f) Pejabat Negara lain sesuai ketentuan yang berlaku; dan g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis terkait penyelenggaraan negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Pertentangan mendasar adalah dalam asas-asas penyelenggaraan negara. Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: 1) Asas Kepastian Hukum; 2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3) Asas Kepentingan Umum; 4) Asas Keterbukaan; 5) Asas Proporsionalitas; 6) Asas Profesionalitas; dan 7) Asas Akuntabilitas.

Pemberian perlindungan kepada gubernur, bupati, dan wali kota seolah tidak memahami perbedaan antara persoalan pidana dan administrasi negara. Amat jelas, persoalan administrasi negara terkait pelanggaran yang sifatnya administrasi negara. Tetapi, bila perbuatan yang telah dilakukan para gubernur, bupati, dan wali kota diduga sudah mengandung unsur pidana, maka ketentuan hukum pidanalah yang berlaku.

Kaitannya dengan persoalan pidana secara jelas disebutkan dalam Pasal 6 UU No 8/1881 tentang Hukum Acara Pidana bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Pemberian wewenang terhadap internal lembaga terkait untuk melakukan penyidikan (bahwa ada atau tidaknya unsur kerugian negara) akan menimbulkan kesan tidak transparannya pemeriksaan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut. Hal ini tentunya akan membuka peluang terjadinya kerja sama antara internal auditor dan pihak- pihak yang diduga terlibat kasus korupsi. bila hal ini terjadi, maka akan semakin maraklah korupsi di kalangan penyelenggara negara.

Selain itu, proses penanganan internal akan membuat tidak efisiennya penanganan kasus korupsi karena semakin panjangnya jalur pemeriksaan. Hal ini tentunya akan menambah biaya baru terhadap penanganan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara. Toh, pada akhirnya ketika kasus dugaan korupsi tersebut ditemukan unsur kerugian negara akan dilaporkan kepada aparat penegak hukum

Peran serta masyarakat
Salah satu alasan mendasar Departemen Dalam Negeri ingin mengeluarkan inpres ini adalah untuk menghindari fitnah terhadap pejabat negara. Alasan ini kelihatan terlalu dipaksakan keberadaannya. Padahal, aturan hukum telah mengatur dengan jelas bahwa kepada setiap orang yang melakukan pencemaran nama baik orang lain akan diberikan sangsi.

Jadi, alasan itu sangat mengada-ada. Dalam realitanya, kebanyakan orang yang melaporkan adanya dugaan kasus korupsi sering dijadikan tersangka dengan alasan pencemaran nama baik, sementara kasus dugaan korupsi sendiri berjalan dengan lambat.

Dampak dari pemberian perlindungan terhadap para pejabat negara yang diduga melakukan korupsi tentunya akan membuat peran aktif masyarakat untuk melapor kepada aparat penegak hukum semakin melemah. Padahal, dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan, masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.

Kita menyadari tanggung jawab dari penyelenggara negara tidak ringan. Hal ini diperburuk lagi oleh tunjangan yang diberikan negara belum sesuai dengan harapan yang ada. Namun, karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh negara, maka kita harus menggunakan anggaran yang ada dengan sebaik-baiknya agar tepat sasaran.

Pengalaman telah membuktikan bagaimana korupsi merajalela ketika peran serta masyarakat sangat rendah untuk turut serta membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

Bila Departemen Dalam Negeri tetap bersikeras untuk mengeluarkan inpres tersebut, maka hal ini akan membuat para pejabat negara tidak takut lagi melakukan korupsi. Oleh sebab itu, masyarakat perlu kritis melihat hal ini. Usaha pemerintah untuk memberantas korupsi akan menjadi sia-sia seiring dengan melemahnya peran serta masyarakat dalam upaya memberantas korupsi.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari belum adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para pelapor dugaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Sementara itu, para pejabat negara yang diduga melakukan korupsi akan mendapat perlindungan dengan inpres. Semoga kebenaran tidak terkubur di negeri ini. Amin!

Agus Purnomo Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS

Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan