Melihat Pemberantasan Korupsi di Era Baru

Hari Kamis, 20 Oktober 2005, tepat satu tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Hingga sembilan bulan pertama, pemerintahan Yudhoyono-Kalla tertolong dengan kinerja lembaga penegak hukum dalam menegakkan hukum.

Jajak pendapat Kompas yang dilakukan untuk merekam persepsi publik pada sembilan bulan pemerintahan Yudhoyono-Kalla menunjukkan 63,6 persen responden menyatakan kepuasan atas upaya pemerintah menegakkan hukum. Angka itu naik 10 persen dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Belum diketahui bagaimana tingkat kepuasan responden pada satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla, 20 Oktober 2005.

Pemberantasan korupsi adalah maskot yang selalu dibawa Yudhoyono-Kalla. Saat kampanye, Yudhoyono bahkan menjanjikan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, yang lalu dituangkan dalam agenda 100 hari pemerintahannya.

Relatif tingginya kepuasan publik terhadap penegakan hukum sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga independen dengan kewenangan besar itu konsisten membongkar korupsi. Masyarakat terkejut saat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sukses melaksanakan Pemilu 2004 ditangkap dan diadili.

Padahal, jika melihat janji Yudhoyono sebagai presiden, garda terdepan pemberantasan korupsi tentunya Jaksa Agung. Sebab KPK berada di luar struktur eksekutif yang tak bisa diintervensi oleh presiden.

Untuk wilayah yang masuk dalam lingkungan kewenangannya, Presiden sebenarnya sudah menerbitkan sejumlah instruksi. Misalnya, ada Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, disusul Keppres No 11/2005 yang membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Hendarman Supandji sebagai ketua.

Apa yang sudah dikerjakan Jaksa Agung? Menjelang satu tahun pemerintahan Yudhoyono, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menggelar jumpa pers melaporkan ke publik apa yang telah dilakukannya. Tiada hari tanpa kasus! katanya, pekan lalu.

Pernyataan itu merujuk pada laporan bahwa sejak Oktober 2004 hingga September 2005, kejaksaan sudah menuntaskan 465 perkara. Data lengkapnya adalah, sisa perkara tahun 2004 mencapai 811 perkara, tambahan tahun 2005 mencapai 525 perkara, dilimpahkan ke penuntutan 450 perkara, dan dihentikan karena kurang bukti 15 perkara. Adapun yang tertunggak 871 perkara

Puaskah Abdul Rahman dengan kinerjanya? Kalau adat orang timur, jangan memuji diri sendiri, katanya berkelit.

Namun, bagi beberapa kalangan, kejaksaan justru dinilai gagal mengemban misi memberantas korupsi. Berbagai sorotan dan kritik ketidakpuasan meluncur ke arah Jaksa Agung.

Ketua Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi Romli Atmasasmita menilai, kejaksaan gagal menerjemahkan program pemberantasan korupsi. Padahal, Presiden sudah mengeluarkan Instruksi Presiden No 5/2004 tanggal 9 Desember 2004, yang isinya antara lain, Jaksa Agung harus mengoptimalkan penyidikan dan penuntutan terhadap pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.

Peraturan Presiden No 7/ 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 juga menyebut pembenahan sistem hukum nasional dan politik hukum sebagai prioritas. Disebutkan, penegakan hukum yang tidak tegas, tidak adil, dan tidak diskriminatif masih menjadi persoalan. Tapi kejaksaan tidak punya visi dalam pemberantasan korupsi. Ini disorientasi, kehilangan visi. Kejaksaan gagal! Penegakan hukum masih carut-marut! tegas Romli.

Penilaian serupa dilontarkan mantan Ketua MPR Amien Rais bahwa pemberantasan korupsi masih hit and run, tak ada prioritas. Kejaksaan tidak punya mapping, peta korupsi dan bagaimana prioritas penanganannya. Yang dilakukan adalah ada korupsi, baru dikejar, katanya.

Upaya Wakil Jaksa Agung Basrier Arief memburu harta hasil korupsi di luar negeri juga belum memperoleh hasil signifikan.

Jangankan memburu hasil korupsi di luar negeri. Menagih uang pengganti kasus korupsi yang sudah divonis pun, kejaksaan tidak mampu. Kejaksaan mengakui, ada Rp 6,67 triliun uang pengganti pidana korupsi yang belum tertagih.

Emerson Juntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch menuturkan, sebagian uang pengganti ini merupakan beban Jaksa Agung sebelumnya. Tapi Abdul Rahman Saleh harus segera membereskan, katanya.

Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menilai Kejaksaan mandul. Semangat Presiden memberantas korupsi mestinya didukung jaksa yang berani, kata Trimedya yang mengkritik keras penangguhan penahanan tiga mantan direktur BNI.

Maju dan berhenti

Sepanjang kepemimpinan Abdul Rahman Saleh, beberapa kasus korupsi yang menarik perhatian publik memang sudah diajukan ke pengadilan, namun tidak sedikit juga yang tersendat.

Korupsi dana haji, misalnya, telah diajukan ke pengadilan. Kasus korupsi pengucuran kredit Bank Mandiri juga telah mendudukkan mantan direksi Bank Mandiri, yakni ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M Sholeh Tasripan di kursi terdakwa di pengadilan. Namun, tanda tanya muncul karena pemilik PT Lativi Media Karya Abdul Latief tidak pernah diperiksa.

Perkara lain yang menimbulkan tanda tanya adalah dugaan korupsi pemberian tantiem PT PLN. Sejak disidik Desember 2004, Kejagung belum juga menetapkan tersangka, malah dikaji ulang. Alasannya, ada masukan dari Menteri Negara BUMN bahwa kasus itu tidak menyebabkan kerugian negara. Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, pemberian tantiem merugikan dan memboroskan keuangan negara.

Keinginan Presiden Yudhoyono membersihkan lingkungan rumahnya sendiri lingkungan Sekretariat Negara dan Kantor Kepresidenan belum membuahkan hasil. Pasalnya, BPK belum juga selesai mengaudit.

Rencana mengkaji ulang perkara yang dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) juga banyak dipersoalkan. Dari 21 perkara yang dihentikan penyidikannya, satu di antaranya yang menarik perhatian adalah korupsi proyek Technical Assistance Contract antara Pertamina dengan PT Ustraindo Petro Gas.

Agar terlihat obyektif, Kejagung meminta tenaga ahli Jaksa Agung untuk mengkaji dan memberikan rekomendasi. Namun, setelah tenaga ahli memberi rekomendasi, saya dengar Jaksa Agung tak mau menuruti rekomendasi. Ada apa, tanya Romli.

Di mata Trimedya sikap Jaksa Agung membuktikan adanya diskriminasi perkara di kejaksaan. Penanganan korupsi tersendat-sendat, penegakan hukum tidak maksimal. Ada diskriminasi di kejaksaan, entah dengan alasan politik atau ekonomi, katanya.

Mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto berpendapat, citra kejaksaan yang dikenal lamban menangani perkara masih kental. Di kejaksaan ada orang mapan yang sulit diubah. Kalau mau mengubah orang, ubah semuanya, saran Adi Andojo.

Apalagi Komisi Kejaksaan Sebagai salah satu program 100 hari Kabinet Yudhoyono belum juga dibentuk. Praktis tak ada lembaga pengawas kinerja kejaksaan.

Bagi Romli, Tim Tastipikor yang secara khusus dibentuk presiden, tidak ada bedanya dengan kejaksaan lama yang pilih-pilih tebu menangani perkara. Hanya perkara korupsi Dana Abadi Umat yang sudah selesai. Lainnya mana? tanya Romli.

Trimedya ragu Tim Tastipikor mampu menuntaskan tugas Presiden dalam masa kerjanya yang dua tahun, terutama menangani korupsi di empat departemen, 16 BUMN, dan tiga swasta.

Meski demikian, praktisi hukum Bambang Widjojanto berpendapat, Tim Tastipikor masih bisa diharapkan, walaupun kerjanya belum maksimal.

Hendarman Supandji mengaku belum puas dengan usahanya memberantas korupsi. Sumber daya manusia yang lambat menjadi kendala terbesar.

Dengan prestasi yang belum bisa menjawab keinginan publik, pantaslah jika ada pihak yang sangsi akan terjadi akselerasi pemberantasan korupsi di tangan kejaksaan.

Padahal, sudah sangat lama masyarakat merindukan Indonesia yang bersih dari korupsi. Negeri ini masihkah surga buat koruptor? [Dewi Indriastuti]

Sumber: Kompas, 18 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan