Melihat Lebih Dalam Privatisasi BUMN
Membaca tulisan M. Ikhsan Modjo di koran ini (2/12) yang menggugat program privatisasi bertahap, ada beberapa permasalahan utama privatisasi yang menurut hemat penulis kurang memperoleh perhatian.
Apakah privatisasi dilakukan sekaligus atau bertahap, itu adalah masalah teknis yang lebih banyak bergantung pada daya serap pasar daripada kebijakan strategis tertentu. Umumnya, kontroversi yang timbul di masyarakat seputar privatisasi bukan bersumber dari hal tersebut. Dalam tulisan ini, kami menambahkan beberapa masalah strategis dalam program privatisasi yang perlu mendapatkan perhatian para stakeholders privatisasi.
Pertama, belum adanya konsensus bangsa ini terhadap program privatisasi. Meski setiap tahun APBN selalu memasukkan pos privatisasi sebagai salah satu sumber pendanaan, sering timbul kontroversi dalam pelaksanaannya. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah privatisasi memang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk recovery ekonomi nasional? Atau, apakah privatisasi hanya merupakan kebijakan sesaat pemerintah? Sehingga, ketika terjadi perubahan pemerintahan, akan berubah pula arah serta tujuan privatisasi.
Karena konsensus tersebut tidak ada, akhirnya pelaksanaan privatisasi terpengaruh. Dalam memformulasikan tujuan privatisasi, misalnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN tidak secara tegas berani memasukkan unsur kebutuhan APBN dalam setiap siaran persnya. Hal tersebut mungkin ditujukan menghindari kritik yang lebih tajam terhadap privatisasi.
Contoh lain adalah dua UU yang mengatur tentang privatisasi, yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa pelaksanaan privatisasi hanya perlu konsultasi dengan DPR dan bukan persetujuan tertulis. Namun, dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara disebutkan, pengurangan dan penambahan penyertaan pemerintah memerlukan persetujuan DPR.
Keduanya berada pada level pelaksanaan privatisasi. Salah satu tahap yang sering menimbulkan kontroversi adalah pemilihan metode privatisasi, yakni suatu metode yang dianggap kurang transparan dibandingkan metode lainnya. Metode yang dipraktikkan dalam privatisasi di Indonesia, antara lain, initial public offering (IPO), strategic sales (SS), serta employee and mangement buy out (EMBO).
Initial public offering (IPO) merupakan penjualan saham perusahaan melalui pasar modal. BUMN yang dijual dengan cara ini, antara lain, PT Telkom (1995), PT Timah (1995), PT Aneka Tambang (1997), PT Bank Mandiri (2003), dan PT PGN (2003). Penjualan saham BUMN melalui IPO dinilai memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, terjaganya transparansi dalam transaksi serta cenderung lebih mampu menghindari konsentrasi kepemilikan saham pada investor tertentu.
Namun, metode itu juga mempunyai kelemahan, terutama berkaitan dengan daya serap pasar modal. Apabila pasar modal tidak mampu menyerap jumlah saham yang ditawarkan, harga yang diperoleh rendah. Hal tersebut tentu merugikan negara.
Strategic sales (SS) merupakan penjualan saham kepada mitra strategis dengan alasan-alasan tertentu. Umumnya, alasan yang digunakan pemerintah adalah harga yang ditawarkan investor biasanya lebih tinggi daripada harga pasar. Selain itu, adanya komitmen investor (dalam bentuk kontrak tertulis) untuk mengembangkan perusahaan, baik dari sisi alih teknologi, perluasan jaringan pemasaran, maupun pendanaan untuk investasi. Kelemahannya, metode SS dianggap kurang transparan dalam proses seleksi investor dan tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk membeli saham. BUMN yang dijual dengan cara tersebut, antara lain, PT Socfindo (2001), PT WNI (2002), dan PT Indosat (2002).
Employee and mangement buy out (EMBO) merupakan penjualan saham kepada karyawan dan manajemen perusahaan. Tujuan penjualan saham BUMN dengan cara ini, antara lain, memberikan nilai tambah bagi perusahaan dengan pengoptimalan kemampuan SDM serta loyalitas karyawan. Program tersebut umumnya diterapkan untuk perusahaan-perusahaan yang peran SDM-nya tinggi. Program itu kali pertama dilaksanakan pemerintah pada awal 2004, yaitu terhadap perusahaan kontraktor PT Pembangunan Perumahan dan PT Adhi Karya.
Ketiganya berada pada level hasil akhir (outcome), yaitu kepada siapa BUMN tersebut dijual. Faktanya, terdapat kecenderungan masyarakat yang cepat bereaksi negatif ketika BUMN dijual kepada investor asing.
Untuk masalah tersebut, penulis berpendapat, pada era global ketika dunia usaha sudah melintasi batas-batas negara, sangat tidak rasional bila terjadi dikotomi antara investor asing dan investor dalam negeri.
Dalam kondisi seperti itu, seyogianya nilai yang dikedepankan adalah nilai kompetisi serta daya saing. Apabila menurut kaidah-kaidah bisnis yang lazim dan setelah melalui proses yang transparan ternyata investor asing dinyatakan memenangkan tender penjualan saham BUMN, sudah selayaknya hal tersebut bisa diterima. Selain itu, masuknya investor asing selayaknya dilihat sebagai aliran investasi luar negeri (foreign direct investment) yang menguntungkan perekonomian nasional.
Meski demikian, program privatisasi tersebut sepatutnya mendapatkan pengawasan dari semua komponen bangsa, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi negara pada masa mendatang serta bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Kita belum tahu kelanjutan program privatisasi pada masa pemerintahan SBY ini. Namun, permasalahan yang akan dihadapi pemerintah baru ini, tampaknya, tidak akan terlepas dari tiga masalah utama tersebut. Sepanjang hal itu tidak mampu diselesaikan, program privatisasi yang dijalankan akan tetap berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat.(M. Khoerur Roziqin SE MSc, alumnus FE UI; memperoleh MSc dari International Business and Management Hanze University Groningen, The Netherlands Sitta Izza Rosdaniah ST MSc, alumnus TI ITS; memperoleh MSc dari Business Economics Strachclyde University, United Kingdom)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 27 Desember 2004