Melihat Dampak Korupsi di Kampung Bandan

Ketika tiba di sini, saya berpikir, inilah akibat dari korupsi. Jika tidak ada korupsi, keadaan seperti ini pasti tidak akan terjadi. Sebab, sejatinya Indonesia adalah negara yang amat kaya.”

Demikian disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar sesaat setelah tiba di Sekolah Darurat Kartini di kawasan Jakarta Gudang, Kampung Bandan, Jakarta Utara, Kamis (6/11).

Selama sekitar 90 menit, pukul 10.00-11.30, Antasari berada di sekolah yang pantas disebut sebagai wajah nyata di balik kemewahan Jakarta ini untuk memberikan pembekalan antikorupsi dan motivasi.

Sebutan itu muncul karena sekolah tersebut sama sekali tidak mencerminkan kemewahan Jakarta. Ruangan sekolah yang berdiri di tanah milik PT Kereta Api itu hanya seperti teras beratapkan asbes berukuran 6 x 40 meter. Tidak ada sekat atau dinding yang membatasi masing-masing ruangan untuk belajar serta antara sekolah itu dan kawasan di luar sekolah.

Kondisi itu membuat 10 guru dan sekitar 550 siswa, dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga SMA, yang bersekolah di tempat itu, seperti berada dalam satu ruangan. Proses belajar-mengajar di sekolah itu juga dapat dilihat masyarakat sekitar.

Atap dari asbes, lokasinya yang dekat pantai, dan tungku di tengah ruangan yang dipakai menanak nasi atau memasak sayuran untuk murid membuat udara di sekitar sekolah itu amat panas.

Namun, tantangan saat belajar di sekolah itu tidak hanya udara yang panas dan kotor khas Jakarta, tetapi juga suara kereta api yang berkali-kali melintas di depan mereka dan truk dari belakang mereka. Posisi sekolah itu memang diapit oleh rel kereta api dan kompleks pergudangan.

”Baru setahun kami di sini. Kami ada di sini karena diusir dari tempat sebelumnya, yaitu di kolong jalan tol dan kebun sayur,” ujar Rossy, pengelola sekolah yang menjadi tempat anak-anak keluarga kurang mampu di sekitar itu untuk belajar dan membangun harapan.

Yang terjadi di sekolah itu seperti antitesa dari penampilan tersangka atau terdakwa korupsi yang selama ini ditangani KPK, yang umumnya berpenampilan menawan dan didampingi pengacara profesional.

Bahkan, jumlah uang yang dipakai untuk membeli baju atau merias wajah para tersangka atau terdakwa koruptor itu mungkin belum pernah dilihat oleh para siswa Sekolah Darurat Kartini. Untuk membayangkan tarif pengacara atau jumlah uang yang diduga mereka korupsi, para murid sekolah itu bahkan sulit melakukannya.

Sebaliknya, para tersangka atau terdakwa koruptor itu mungkin juga sulit membayangkan, di Jakarta, ada tempat menuntut ilmu dengan 550 siswa, seperti yang terjadi di Sekolah Darurat Kartini.

Padahal, dua hal itu sebenarnya terkait erat. ”Jika uang yang dikorupsi itu digunakan sebagaimana seharusnya, pemandangan seperti di Sekolah Darurat Kartini tak akan terjadi. Sebab, kondisi di sekolah itu merupakan dampak korupsi,” kata Antasari.

”Namun, tidak tertutup kemungkinan, kelak dari kalian ada yang menjadi menteri atau bahkan presiden. Sebab, bukan tempat yang menjadi masalah, namun semangat yang akan membuat Anda berhasil,” kata Antasari kepada siswa sekolah itu.

Karena itu, budaya luhur seperti antikorupsi juga harus ditanamkan di tempat seperti Sekolah Darurat Kartini.

Namun, yang lebih penting, perhatian seperti yang diperlihatkan KPK juga harus lebih banyak dilakukan. (M HERNOWO)

Sumber: Kompas, 7 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan