Meletakkan Substansi Debat MA Vs KY

Satu dua bulan belakangan ini ada dinamika yang begitu intensif di dunia penegakan hukum di Indonesia. Awalnya, tuntutan perubahan hanya menyentuh kepolisian dan kejaksaan, tetapi kini tuntutan itu tengah menerjang lembaga pengadilan.

Tak tanggung-tanggung, elemen yang paling substantif dari Mahkamah Agung (MA), yakni Hakim Agung, yang menjadi sasaran perubahan itu.

Tulisan ini hendak membaca proses dinamika pertarungan gagasan yang terjadi antara MA dan Komisi Yudisial (KY) dari perspektif demokratisasi dan mengusulkan suatu gagasan agar kita lebih bijak dalam mengelola proses perubahan tersebut sehingga semoga tidak terjadi kerusakan yang lebih dahsyat dan hilangnya kehormatan di kedua lembaga yang seharusnya dihormati.

Gelombang demokratisasi yang melanda sebagian besar negara berkembang biasa disebut sebagai proses transisional. Pada proses dimaksud, banyak negara mengadopsi konstitusi baru atau mengamandemen konstitusi lamanya. Konstitusi tersebut dimaknai sebagai kontrak politik baru yang idealnya memuat the whole aspiration of the nation.

Pada proses transisi politik itu terjadilah perubahan struktur dan format kekuasaan yang acapkali juga menyentuh sistem kekuasaan kehakiman. Itu sebabnya, kini kekuasaan kehakiman di Indonesia berpucuk pada MA dan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan hanya MA; dan pembentukan KY merupakan bagian dari kehendak untuk menciptakan saling imbang dan saling kontrol pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dipaksa berubah
Berpijak pada uraian di atas, proses perubahan merupakan suatu keniscayaan. Suatu lembaga yang tidak mampu menangkap substansi perubahan dan tidak mau melakukan penyesuaian atas tuntutan perubahan itu, ada kemungkinan akan dipaksa berubah. Sejalan dengan kecenderungan ini, tuntutan dan ekspektasi publik pada peningkatan pelayanan publik yang juga bebas dari KKN, termasuk di dalamnya terhadap lembaga penegakan hukum, juga harus direspons secara konkret dan tepat.

Pertanyaan yang perlu diajukan, apakah MA tidak melakukan perubahan? Bukankah ada cukup banyak indikasi yang mampu menjelaskan itikad dan proses perubahan yang tengah berlangsung. Setidaknya MA telah mempunyai cetak biru reformasi MA beserta tim pembaruannya yang terdiri dari berbagai unsur di masyarakat. MA juga terus berbenah diri meningkatkan kapasitas kelembagaannya setelah terjadinya penyatuatapan fungsi yudisial dan administrasi peradilan. Pada titik ini, tidaklah fair bila MA dinyatakan tidak melakukan perubahan agar serasi dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan publik untuk mewujudkan peradilan yang independen dan punya akuntabilitas.

Di sisi lainnya, ada juga berbagai fakta yang sulit diingkari, KY menerima banyak informasi yang memperlihatkan bahwa korupsi di lembaga peradilan telah bersifat endemik dan sebagiannya telah begitu sistemik. Ketua MA sendiri telah membuat sinyalemen mengenai fakta ko- rupsi di dunia peradilan sehingga setiap tahapan dalam proses administrasi penanganan perkara potensial terjadi KKN. Bahkan, Ketua Muda Pengawasan MA sampai berani menyatakan bahwa persentase korupsi sudah mendekati 90 persen seperti berulang kali dikutip oleh KY.

Berkenaan dengan hal tersebut, apakah salah jika KY mengajukan suatu gagasan yang diyakininya dapat mempercepat proses pembaruan di MA agar kredibilitas dan kehormatan MA tetap terjaga serta menjadikan MA kian independen dan punya akuntabilitas tinggi? Kendati, secara normatif KY memang tidak punya kewenangan melakukan seleksi ulang.

Bertitik tolak pada uraian fakta di atas, ada dua hal penting yang menarik diajukan: pertama, MA dan KY, ternyata, ada dalam posisi yang sama. Keduanya punya itikad untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kapasitas serta integritas lembaga MA; kedua, MA dan KY juga punya kepentingan yang sama dan mereka mengajukan suatu strategi intervensi untuk mendorong suatu perubahan di lembaga peradilan. Perbedaannya, ternyata, pada pilihan strategi intervensi yang akan digunakan dan bagaimana menyampaikan pilihan strategi tersebut.

Pilihan strategi pembaruan yang bersifat gradual dan sis- temik yang kini tengah dilakukan MA tidaklah dapat serta- merta dituding tidak berhasil, tetapi harus diakui capaian dari pilihan strategi tersebut terkesan lambat karena memang diperlukan suatu proses. Yang mencemaskan, di tengah lemahnya capaian disertai dengan tidak sig- nifikannya peningkatan pelayanan publik di lembaga peradilan, ternyata, KKN di peradilan tidak dapat dikendalikannya secara maksimal dan tuntas, padahal tuntutan untuk mengatasi KKN di peradilan kian menguat.

Mendapat tantangan
Pilihan strategi ini kian mendapat tantangan setelah Probosutedjo membeberkan kasus suap yang dilakukannya serta menuduh dua Hakim Agung dan Ketua MA sebagai pelaku; serta pengaduan Robert pada KY yang menuduh dua hakim agung terlibat KKN yang kelak mesti dibuktikan. Jadi, kendati ada pembaruan, KKN di lembaga peradilan ternyata terus berjalan dengan derajat magnitude yang cenderung makin meningkat.

Selain itu, publik juga merasa risi ketika mengetahui Ketua MA membuat perpanjangan pensiun untuk dirinya sendiri dan juga memperpanjang usia pensiun sembilan Hakim Agung kendati usia pensiunnya baru berakhir satu tahun kemudian.

Fakta tersebut sangat transparan sehingga mudah ditebak motif di balik keputusan itu dan rasanya tak elok bila Ketua MA harus terus berdalih. Bila kedua keputusan itu diteliti lebih jauh, keputusan itu tidak dapat menjelaskan apa yang disebut sebagai prestasi luar biasa yang sudah dilakukan oleh hakim agung yang diperpanjang usianya, keputusan tersebut hanya mengemukakan adanya situasi luar biasa saja.

Berkenaan dengan segenap uraian dan situasi seperti di atas, amatlah sulit untuk menyalahkan gagasan yang diajukan KY untuk mendorong suatu percepatan pembaruan yang berbasis pada sumber daya manusia di MA. Tentu saja, publik juga menuntut KY untuk mengelaborasi gagasannya tersebut karena percepatan pembaruan di MA tidak hanya sekadar soal merekrut hakim melalui seleksi ulang saja, tetapi juga perlu dihormati suatu proses yang didasarkan atas due process of law dan dengan mempertimbangkan sistem bernegara hukum yang baik.

Selain itu, diperlukan juga suatu sistem pengawasan yang komprehensif sehingga mampu memastikan hakim agung yang kelak lolos dari seleksi ulang tidak masuk dalam perangkap KKN lagi; dan juga perlu ada pembaruan atau perbaikan pada birokrasi lembaga MA dan peningkatan renumerasi bagi kesejahteraan hakim. Pendeknya, KY dituntut untuk mengajukan gagasan percepatan pembaruan secara lebih elaboratif serta menjelaskan dan menyampaikannya secara lebih bijak dan elegan.

Semoga saja, itikad untuk mendorong percepatan perubahan dari MA dan KY diletakkan pada persoalan pilihan strategi perubahan dan bukan sekadar duplikasi pengawasan semata.

Semoga juga, kita tidak terjebak pada pilihan aktivisme yang justru menghancurkan kehormatan lembaga MA dan KY itu sendiri. Insya Allah.

Bambang Widjojanto Advokat dan Konsultan Antikorupsi pada Partnership for Governance Reform

Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan