Melengkapi Pakta Integritas

Komisi Pemilihan Umum dan Bank Mandiri adalah dua lembaga yang kini tengah mendapatkan sorotan paling tajam karena para petingginya disangka melakukan korupsi.

Komisi Pemilihan Umum dan Bank Mandiri adalah dua lembaga yang kini tengah mendapatkan sorotan paling tajam karena para petingginya disangka melakukan korupsi. Yang mengherankan, dua lembaga tersebut sebelumnya sudah mengikrarkan diri untuk menerapkan pakta integritas, khususnya untuk pengadaan barang/jasa, sebagai bentuk penerapan prinsip good (corporate) governance.

Tapi, apa mau dikata, ikrar pakta integritas yang sudah tertera dalam Surat Keputusan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, misalnya, tak menyisakan bekas. Bahkan kini Nazaruddin dan kawan-kawan meringkuk di penjara karena diduga menerima dana taktis rekanan KPU.

Demikian pula tanda tangan Neloe, Direktur Utama Bank Mandiri, yang telah tergores dalam nota kesepahaman dengan Transparency International-Indonesia (TII), pupus oleh sangkaan korupsi.

Tak dapat dimungkiri, pendekatan pakta integritas sebagai sebuah metode untuk meminimalisasi praktek korupsi sekaligus membuka ruang bagi kelompok masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan--terutama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah--kerap mendapat kritik. Kritik atau lebih tepat dikatakan sebagai kekhawatiran itu terutama diarahkan pada mudahnya pendekatan pakta integritas jatuh pada praktek seremonial belaka jika pihak-pihak yang hendak diajak untuk berkomitmen menerapkan pakta integritas tidak dipilih secara selektif.

Semua sudah mafhum bahwa semua pilar kepemerintahan di Indonesia tak luput dari praktek korupsi. Tapi semua juga berkeinginan dan berkepentingan untuk tidak disebut sebagai koruptor. Karena itu, pada titik ini, pakta integritas justru bisa berbalik arah untuk sekadar dijadikan sebagai tameng, sekaligus sarana untuk membersihkan citra buruk seseorang yang di mata publik sudah sangat tercemar integritasnya.

Memang, kasus yang terjadi di KPU dan Bank Mandiri tidak bisa dijadikan ukuran untuk menilai, apalagi memberikan generalisasi, bahwa pendekatan pakta integritas sulit diterapkan. Hal ini mengingat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, penerapan pakta integritas bisa memaksa semua kalangan yang berkepentingan dalam pengadaan barang/jasa mematuhi aturan main serta prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas secara nyata.

Namun, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa semua itu tak luput dari kuatnya komitmen politik kepala daerahnya untuk secara sungguh-sungguh menerapkan ikrar tersebut. Ini berarti prosedur yang selektif untuk memilih dan menentukan kalangan mana yang bisa diajak bekerja sama menerapkan pakta integritas akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya ikrar itu diimplementasikan.

Kita tentu masih ingat bagaimana Kamar Dagang dan Industri Indonesia telah mengadopsi pendekatan pakta integritas dengan mengampanyekan pakta antisuap di kalangan masyarakat bisnis. Namun, sampai hari ini, kegiatan usaha, khususnya yang menggunakan anggaran negara, tak luput dari ancaman suap.

Dari penilaian banyak pihak, tingkat kerawanan paling tinggi terhadap praktek korupsi tetap ada di pengadaan barang/jasa pemerintah. Catatan Indonesia Corruption Watch pada 2004 juga menunjukkan bahwa dari semua kasus korupsi yang terdata, 40 persennya merupakan kasus di sektor pengadaan barang/jasa.

Sinyalemen itu juga ditangkap oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsinya untuk memberikan prioritas pada pembenahan sektor pengadaan barang/jasa untuk menekan tingginya tingkat kebocoran anggaran negara.

Sekaligus menyambung lontaran Sri Mulyani, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang akan segera melakukan reformasi di sektor pengadaan barang/jasa, cukup beralasan jika salah satu usul yang bisa diajukan adalah agar pakta integritas diadopsi secara penuh dalam sistem pengadaan barang/jasa yang baru. Hal ini supaya pakta integritas tidak berbunyi di ruang kedap hukum, tapi menjadi afirmasi semua lembaga pemerintah untuk melaksanakannya dengan memberikan sanksi yang tegas bagi siapa pun yang tidak menerapkannya.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 14 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan