Melaksanakan Sumpah Jabatan

Ketika dilantik, para pejabat negara, pejabat pemerintah, pegawai negeri sipil (PNS), para profesional, dan lain sebagainya, biasanya terlebih dahulu diambil sumpah atau janjinya di bawah persaksian kitab suci. Intinya adalah ikrar kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan--atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan, dari dalam karena ikatan sumpah yang pernah diucapkannya.

Adalah Pythagoras orang yang pertama kali menggagas dan mempraktikkan sumpah jabatan ini. Pada waktu itu dia meminta kepada seluruh calon politikus dan ilmuwan bersedia diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya secara benar. Semangat yang dibangun di dalamnya adalah menjaga moralitas jabatan, yaitu pengabdian dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian dipraktikkan dari zaman ke zaman--sampai sekarang--dengan semangat yang kurang lebih sama, yaitu menyatakan kesanggupan untuk tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mengabdi kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat luas.

Bagi para pejabat negara, pegawai negeri, profesional, dan lain sebagainya, sumpah jabatan memang sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya, mereka menjadi memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda.

Sebagai misal saja, seorang yang berprofesi sebagai advokat, dengan keunggulan penguasaan ilmu hukumnya, membuat klien banyak bergantung dalam soal penyelesaian sengketa-sengketa atau masalah-masalah hukum yang dihadapinya. Dengan otoritas yang dimiliki inilah seorang advokat--atas nama kebaikan klien--memiliki hak dan kewajiban seperti menahan informasi, menyimpan barang bukti, membuat kesepakatan, dan tindakan-tindakan hukum lainnya. Sebaliknya, seorang klien--demi mencapai tujuan yang diinginkan--mengikhlaskan dirinya diintervensi dan didikte sedemikian rupa.

Begitu pula dengan profesi lainnya, dokter, misalnya. Biasanya, karena keterbatasan ilmu kesehatan yang dimiliki oleh seorang pasien, ia akan menyerahkan sepenuhnya kepada dokter cara-cara menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Dengan otoritasnya inilah seorang dokter kemudian memiliki hak dan kewajiban membuat resep dalam rangka penyembuhan. Dapat dibayangkan akan seperti apa nasib para pasien dan klien jika kepercayaan yang diserahkan itu dikhianatinya. Mereka pasti akan sangat menderita, bahkan celaka. Dampak penyalahgunaan jabatan yang tidak kalah bahayanya lagi adalah yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, baik yang duduk di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Masalahnya mereka dapat menggunakan fasilitas negara atas nama kepentingan publik meskipun sebenarnya untuk kepentingan pribadi maupun kroni.

Di Indonesia, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam sebuah seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya mengandung unsur religiusitas. Hal ini dapat dilihat dari teks yang harus dilafalkan, yaitu diawali dengan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa, Demi Allah, saya bersumpah/berjanji bahwa saya,? Di sinilah sumpah menjadi raison d`etre 'pewahyuan' jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, penting--sebelum pelantikan dilaksanakan--terlebih dahulu dihadirkan para rohaniwan masing-masing agama guna menjelaskan arti, makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri.

Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan tidak memberikan dampak signifikan. Pertama, adalah karena pribadi yang bermasalah. Yaitu kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan sifat-sifat ataupun perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin buruk serta rendahnya kadar moralitas. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak dapat mengantarakan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.

Problemnya adalah ada gejala yang mengisyaratkan bahwa moralitas rendahan itu kurang--bahkan tidak lagi--dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Barangkali, inilah zaman yang oleh Ronggo Warsito disebut zaman edan. Yaitu, sebuah zaman di mana orang-orangnya tidak lagi mengagungkan nilai-nilai luhur demi sebuah pencapaian tujuan. Kedua, sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mendukung. Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di berbagai dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun sektor-sektor yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan konduite perlu diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier berlandaskan sistem merit.

Penetapan kinerja

Kunci komitmen pada sumpah jabatan adalah disiplin. Masalahnya, disiplin bukan merupakan produk instan, tetapi hasil dari sebuah upaya yang panjang. Oleh sebab itu, perlu dilahirkan kerja-kerja yang mendukungnya. Salah satunya adalah dengan penetapan kinerja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya, intensifikasi pencegahan korupsi, peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel.

Berhubungan dengan upaya di atas, saya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 31 M /PAN/12/2004--sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 5 Tahun 2004--yang ditujukan kepada para menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala LPND, sekjen lembaga tinggi negara, para gubernur, dan para bupati/wali kota. Surat edaran ini meminta agar setiap instansi segera menyusun dan menetapkan rencana kinerja yang akan dicapai dalam tahun 2005, mulai eselon II ke atas secara berjenjang sesuai dengan kedudukan, tugas, fungsi, dan kebutuhan instansi serta unit organisasi masing-masing. Dengan demikian, diharapkan program-program kegiatan menjadi rasional, proporsional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga--pada akhirnya--mau tidak mau seorang pejabat harus amanah terhadap jabatan dan komitmen terhadap sumpah yang diucapkan. Tentu saja SE ini akan banyak menemui kendala dan hambatan. Karena itu, kerja sama seluruh pihak sangat dibutuhkan guna tercapainya tujuan yang diinginkan.(Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 12 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan