Melacak Jejak Pro-Kontra SKP3 Soeharto

Menegakkan rule of law dalam konstelasi kehidupan bangsa memang tidak mudah. Ia membutuhkan seperangkat energi tambahan, yang tidak hanya meletakkan aturan-aturan main dalam penegakan rule of law, tetapi juga keberanian melihat berbagai fakta yang berserakan di ranah publik.

Berbagai fakta itulah yang kemudian mendorong saya untuk menuntaskan kasus mantan Presiden RI, Haji Mohammad Soeharto (HMS). Penyelesaian kasus HMS memang bisa menjadi simbol keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan melahirkan penyelenggara negara yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Seperti kita tahu, pihak yang mendorong dan mendesak agar kasus HMS diselesaikan secara hukum didasarkan pada pandangan bahwa kebenaran (truth) harus benar-benar dijabarkan sehingga sejarah mencatat sebuah fakta baru yang perlu dijadikan acuan bagi masa depan dan kehidupan berbangsa. Termasuk di dalamnya sebagai pengaktualisasian prinsip pokok rule of law, yaitu persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).

Sementara di sisi lain, pihak yang menolak peradilan HMS didasarkan pada pertimbangan yang bersangkutan sudah tua, sakit-sakitan, dan banyak berjasa bagi bangsa dan negara. Pertimbangan ini lebih disandarkan pada sisi-sisi humanisme, sudut kemanusiaan dan hubungan antarmanusia. Tentu saja sebagai penegak hukum, saya tidak ingin terjebak dan terbawa arus dalam gelombang pro dan kontra itu, apalagi karena sakitnya HMS adalah juga masalah hukum seperti pendapat Mahkamah Agung (MA).

Sebuah koinsidensi, HMS kemudian kesehatannya terganggu sehingga perlu dirawat secara intensif di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Sejak saat itu, komentar yang bernada pro dan kontra diadilinya HMS bermunculan di media cetak dan elektronika, terlebih lagi setelah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas perintah saya menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006.

Putusan MA RI
Jejak rekam persidangan HMS bisa dilacak sejak tanggal 31 Agustus 2000 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan terakhir berpuncak pada MA RI dengan Putusan No 1846/K/Pid/2000 tanggal 2 Februari 2001 dengan amar yang menyatakan bahwa penuntutan terhadap HMS tidak dapat diterima dan memerintahkan jaksa untuk melakukan pengobatan sampai sembuh atas biaya negara dan setelah sembuh dihadapkan ke persidangan.

Putusan MA ini membuka babak baru dari proses peradilan HMS, di mana Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 21 Februari 2001 (sebagai eksekutor) meminta Tim Dokter RSCM melaksanakan putusan MA tersebut, yaitu mengobati dan melakukan observasi terhadap HMS. Tim Dokter yang diketuai oleh Prof Dr Ichramsyah A Rachman SpOG KPEK selanjutnya menyimpulkan hasil pemeriksaan sebagai berikut: Dengan memperhatikan usia pasien yang telah lanjut, kelainan multiple infark di otak yang bertambah luas dan kelainan jantung yang tidak dapat diperbaiki, maka berdasarkan disiplin ilmu kedokteran disimpulkan bahwa prognosis penyembuhan kondisi fisik dan mentalnya adalah buruk atau dengan kata lain tidak dapat diharapkan sembuh dengan metoda pengobatan yang ada pada saat ini. Hasil pengobatan dan observasi Tim Dokter ini dilaporkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 29 Oktober 2001 kepada MA (sebagai institusi peradilan tertinggi).

Dalam menanggapi laporan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, MA melalui suratnya tertanggal 11 Desember 2001 memberikan pendapat hukum, Karena menurut Tim Dokter, terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka ia tidak dapat diajukan ke persidangan. Berkaitan dengan pendapat hukum MA tersebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tanggal 26 Februari 2002 meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar membuka kembali persidangan perkara HMS. Permintaan ini didasarkan bahwa sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai dengan putusan MA, berkas perkara masih tetap berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di samping itu, persidangan perlu dibuka kembali untuk menghindari berlarutnya penyelesaian perkara mengingat kondisi terdakwa tidak dapat disembuhkan.

Berdasarkan permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan melalui suratnya tertanggal 8 Maret 2002 bahwa pemeriksaan berkas perkara terdakwa HMS an sich telah final dan dapat dihadapkan ke persidangan apabila terdakwa sembuh. Tetapi fakta yang ada, Tim Dokter Independen telah menyatakan terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka terdakwa tidak dapat diajukan persidangan.

Memasuki 4 Juni 2002, untuk kedua kalinya, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan meminta Tim Penilai Kesehatan melakukan observasi terhadap HMS. Tim Penilai Kesehatan yang diketuai oleh Dr dr Akmal Taher kemudian menyimpulkan terdakwa HMS belum mampu menyentuh pengertian sembuh seperti dinyatakan dalam putusan MA No 1845K/Pid/2000 tertanggal 2 Februari 2001. Dengan demikian, pengadilan mengalami jalan buntu.

Mengoyak rasa keadilan
Memaksa menghadirkan terdakwa yang sakit dan tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat panjang lebih dari empat kata merupakan pelanggaran terhadap standar internasional tentang hak asasi manusia. Pasal 14 (3) (d) dari International Covenant of Civil and Political Rights menyebutkan, ... In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality... To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing; .... Pasal ini yang dipergunakan Hakim Chilean Supreme Court Alberto Chaigneau del Compo dkk pada putusannya 1 Juli 2002 sebagai salah satu acuan untuk memutuskan tidak menghadirkan Pinochet karena alasan sakit.

Namun di sisi lain, sebagai penegak hukum pun kita harus peka membaca aspirasi, harapan, dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Dengan perkataan lain, impunity (mengecualikan atau melindungi seseorang dari proses hukum) terhadap mantan Presiden Soeharto tidak boleh terjadi di Indonesia. Karena impunity merupakan kebijakan yang mengoyak rasa keadilan masyarakat dan merusak sendi dan kewibawaan hukum itu sendiri. Ini tentu saja sejalan dengan pepatah impunity always invites to greater crimes (impunitas semper ad deteriora invitat).

Dalam mencari solusi hukum yang tepat (appropriate), kejaksaan dihadapkan pada tiga kewenangan, yaitu (1) menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan); (2) deponeering dengan menggunakan hak oportunitas Jaksa Agung; (3) menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3).

Penerbitan SKP3 sebagaimana diatur dalam Pasal 140 Ayat (2) a, b, c, dan d KUHAP merupakan pilihan kebijakan yang tepat karena memerhatikan kepentingan kepastian hukum, perlindungan hak asasi terdakwa maupun masyarakat luas. Mengapa? Karena SKP3 bukan merupakan bentuk penghapusan penuntutan ataupun pengampunan.

Pasal 140 Ayat (2) d memungkinkan penuntut umum membuka kembali perkara ini apabila terdakwa HMS dinyatakan sembuh dan sehat untuk menghadiri persidangan. Penggunaan alasan ditutup demi hukum adalah alasan paling appropriate karena kedua alasan lainnya, yaitu tidak terdapat cukup bukti dan bukan merupakan tindak pidana, adalah alasan yang tidak tepat karena kejaksaan yakin pengajuan terdakwa HMS didasarkan pada bukti yang cukup sebagai perkara tindak pidana korupsi. Terdakwa HMS tidak dapat diajukan karena secara medis tidak dapat dihadirkan dengan alasan sakit. Standar internasional HAM dan nurani aktivisme HAM saya memaksa saya menerbitkan SKP3 ini.

Saya ingin mengingatkan bahwa SKP3 ini hanya berlaku untuk kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan tujuh yayasan Soeharto yang mulai diajukan ke persidangan oleh kejaksaan pada tanggal 8 Agustus 2000.

Pada titik inilah pertanyaan tentang bagaimana nasib orang- orang yang dilanggar HAM-nya semasa HMS menjadi presiden tidak relevan diajukan untuk kasus ini. Karena, memang kasus pelanggaran HAM yang berat Soeharto belum pernah diajukan ke pengadilan karena belum pernah ada keputusan politik dari DPR yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berkenaan dengan kasus retroaktif.

Gagasan pengadilan in absentia (melaksanakan proses pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa) juga banyak dimunculkan oleh komunitas hukum. Konsep in absentia itu sendiri adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah (Pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Sedangkan dalam kasus HMS, alasan tidak hadir di persidangan adalah alasan sah yang dikemukakan oleh Tim Dokter Independen yang ditunjuk oleh penegak hukum.

Pada akhirnya saya ingin mengatakan: kasus HMS sekali lagi memberikan bukti bahwa menegakkan prinsip-prinsip dasar HAM memang bukan hal yang mudah. Anda harus siap untuk disalahmengertikan.

Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung Republik Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan