Mayoritas Pemegang HPH/HTI Korupsi [05/08/04]

Selama ini hampir semua perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan alam atau hutan tanaman industri (HPH/HTI) cenderung menerapkan kinerja yang buruk. Ditambah lagi praktik korupsi dan kolusi yang dilakukan dengan berbagai modus operandi sehingga tidak mengherankan bila para pengusaha justru dituding sebagai perusak hutan ketimbang pengelola hutan.

Hal itu mengemuka dalam diskusi publik Korupsi Eksploitasi Kayu di Indonesia yang diselenggarakan oleh Greenomics Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Rabu (4/8).

Kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menuding, hampir semua pengusaha pemegang HPH/HTI melakukan korupsi dan kolusi bisnis dalam eksploitasi hutan, bahkan di luar kawasan konsesi.

Berdasarkan temuan Greenomics, sebanyak 48 dari 68 perusahaan pemegang HTI yang memperoleh izin ternyata memiliki tingkat kepastian kawasan yang buruk terhadap areal konsesi. Sementara, dari temuan ICW setidaknya ada 44 modus operandi yang dimanfaatkan oleh pengusaha pemegang HPH/HTI dalam menjalankan praktik korupsi yang melibatkan oknum pejabat pemerintah dan aparat.

Akibatnya, negara mengalami kerugian triliunan rupiah, dan hutan pun rusak parah. Faktanya memang hampir semua pemegang HPH dan HTI tidak memenuhi kerangka hukum bisnis kehutanan lestari. Hanya 39 persen yang mematuhi kerangka hukum, itu pun hanya sepotong-sepotong. Sisanya, 18 persen hanya berkinerja sedang, kata Koordinator ICW, Teten Masduki.

Sedangkan, menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, indikasi praktik korupsi dalam bisnis di sektor kehutanan secara nyata terlihat dari besarnya nilai tunggakan Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (DR-PSDH) yang mencapai triliunan rupiah.

Menurut Elfian, para penunggak DR-PSDH itu sebenarnya memiliki kemampuan finansial untuk membayar kewajiban. Hanya saja, mereka (pengusaha) lebih memilih menggunakan modalnya untuk bisnis lainnya, di luar sektor kehutanan.

Mereka juga tidak melakukan penanaman kembali. Padahal, hampir semua HPH/HTI juga tidak memiliki kepastian kawasan yang konsesi, sehingga mereka juga menebang di mana saja. Biasanya, tumpang tindih lahan karena ketidakjelasan kawasan konsesi menjadi modus operandi penebangan liar, kata Elfian.

Berdasarkan kajian Greenomics, mayoritas perusahaan pemegang HPH/HTI masih menerapkan kinerja yang buruk dalam pemanfaatan hutan alam maupun pembangunan hutan tanaman.

Greenomics menemukan, tidak kurang dari 53 persen pemegang HPH memiliki kinerja yang buruk, hanya 11,4 persen yang dapat dikatakan memiliki kinerja relatif baik. Sedangkan, yang termasuk dalam kategori pemegang HTI yang buruk kinerjanya mencapai 59,2 persen. Kemudian, 11,8 persen masuk dalam kategori baik, dan sisanya dikategorikan berkinerja sedang dan menuju kinerja buruk. (H-13)

Sumber: Suara Pembaruan, 5 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan