Matinya Penghargaan

Bilang sama gubernur dan wali kotamu itu: Mapugada!” Apa tuh Bang, Mapugada? ”Mau penghargaan apa saja gue ada”. Itu sinisme tukang ojek pangkalan, langgananku.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah pimpinan Ahmad Heryawan dan Pemerintah Kota Bandung di bawah Ridwan Kamil  memperlihatkan anomali. Mereka mendapatkan ratusan penghargaan, tetapi banyaknya penghargaan itu tidak ngefek pada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Padahal, mengatasi  kemiskinan, menciptakan lapangan kerja yang banyak dan  berkualitas, serta mempersempit ketimpangan pendapatan berbagai golongan masyarakat merupakan tiga kewajiban dan tugas utama pemerintah.

”Sindikat” pemberi penghargaan
Mengapa seabrek penghargaan itu tidak ngefek? Tulisan ini tidak akan membahas problem inefisiensi dan inefektivitas  belanja-belanja pemerintah dalam program kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.  Yang jadi kepedulian dan keprihatinan adalah praktik pemberian penghargaan yang sudah patologis. Memang tidak semua. Masih ada  beberapa praktik pemberian penghargaan yang kredibel  dan bermarwah tinggi.

Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore menolak penghargaan dari Program Studi Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada  dan Kemendagri yang menobatkannya sebagai  pemerintah daerah peraih Indeks Kondisi Keuangan Terbaik. Ia menolak penobatan dan penghargaan itu selain karena  tidak sesuai dengan kenyataan, juga harus membayar biaya yang cukup mahal untuk seremoni penganugerahan penghargaan tersebut.

Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Mei 2016, pernah menolak pemberian penghargaan sebagai pemimpin terbaik dari sebuah yayasan. Ia menolak penghargaan itu karena menilai   tujuan pemberian penghargaan untuk kepentingan komersial/bisnis yayasan tersebut. Selain itu, metode penilaian yang dikembangkan yayasan itu  juga tidak ajek.

Pada Juli 2016, Forum Orangtua Siswa (Fortusis) melapor kepada Poltabes  Kota Bandung tentang praktik  jual-beli sertifikat penghargaan prestasi olahraga  dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur non-akademik. Mau jadi juara apa saja gampang: tinggal order. Praktik ini sudah menahun. Mungkin terjadi juga di kota lain.

Kita harus membenahi praktik pemberian penghargaan sehingga pemberi penghargaan dan  penerimanya (individu  atau lembaga) benar-benar tepercaya dan  berintegritas. Demikian juga publik akan apresiatif dan puas dengan lembaga pemberi penghargaan serta proses pemberian penghargaan tersebut. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai itu.

Langkah pembenahan
Pemberian penghargaan harus terintegrasi, menjadi bagian dari agenda perubahan yang terencana, terkelola dengan baik, dan berjangka panjang. Proses pemberian  penghargaan harus visioner.

Pertama, supaya ngefek, pemberian  penghargaan sebaiknya dikaitkan  dengan dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan,  program, atau  inisiatif. Pemberian penghargaan sebaiknya bukan pada hasil (out put) atau kegiatan itu sendiri, apalagi  baru digelar atau dirilis lalu suatu kegiatan sudah diganjar dengan penghargaan.

Kedua, pemberian penghargaan harus terintegrasi, menjadi bagian dari agenda perubahan yang terencana, terkelola dengan baik, dan berjangka panjang. Proses pemberian  penghargaan harus visioner. Tata kelola lembaga pemberi penghargaan harus ajek, transparan, akuntabel, dan partisipatoris. Demikian juga proses penilaiannya harus transparan, akuntabel, dan partisipatif. Jadi, memberikan penghargaan itu bukan karena dorongan impulsif.

Ketiga, penguatan kontrol publik dalam proses pemberian penghargaan. Publik perlu mengawasi lembaga pemberi penghargaan, proses pemberian penghargaan, dan dampak dari penghargaan terhadap kualitas subyek  yang diberi penghargaan.

Kontrol publik ini penting untuk memperbaiki kelembagaan pemberi penghargaan dan proses pemberian penghargaan, baik untuk lingkungan domestik maupun lintas negara. Pernah terjadi, ada kepala daerah yang mendapatkan predikat sebagai wali kota terbaik sedunia, padahal baru menjabat delapan bulan. Bagaimana mungkin? Bagaimana proses penilaiannya? Fortusis di Kota Bandung sudah menjalankan peran kontrol ini dengan baik. Pengalaman Fortusis melakukan ini bisa ditularkan kepada yang lain.

Keempat, mengajekkan penegakan hukum. Kalau ada unsur tindak pidana/kejahatan  dalam proses pemberian penghargaan (pemalsuan, penipuan, atau mengelabui publik), maka  aparat penegak hukum perlu mengungkap dan mengadili ”sindikat” pemberi penghargaan. Selain untuk memulihkan hak-hak  korban, penegakan hukum juga penting  untuk mencegah jangan sampai korban lain berjatuhan. Apakah Sri Mulyani, yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik sedunia, juga korban sindikat pemberian penghargaan? Entahlah!

Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti-Corruption

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 13 Maret 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan